Pro-Kontra Ekspor Pasir Laut, Pengamat Ingatkan Penambangan Jangan Jor-joran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keputusan pemerintah yang kembali membuka pemanfaatan pasir laut untuk ekspor menuai pro dan kontra. Salah satu yang menjadi sorotan adalah dampaknya terhadap lingkungan.
Kebijakan ekspor pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pengamat yang juga Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman berpendapat, penerbitan PP tersebut sudah tepat namun belum sempurna.
Menurut dia, proses pendangkalan laut atau sedimentasi di beberapa lokasi di Selat Malaka faktual terjadi setiap hari. Pasir dan lumpur yang membuat pendangkalan tersebut datang dari sungai-sungai di pantai timur Sumatera akibat erosinya sangat tinggi.
"Kalau penambangan pasir itu dilakukan secara selektif dan terbatas maka harusnya bisa berdampak positif buat Indonesia, asal penambangan jangan jorjoran alias tidak direncanakan dengan baik dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia (MPI), Selasa (30/5/2023).
Meski begitu, Yusri menekankan bahwa konsultasi publik dengan semua stakeholder khususnya nelayan dan penduduk di sekitar pulau-pulau kecil penting dilakukan. Pasalnya, setiap kegiatan penambangan mineral dan batuan pasti berdampak terhadap lingkungan.
"Tergantung kebijakan yang dibuat harus meminimalkan dampak negatif, sehingga mengacu pada UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, sebagai dasar pembuatan Perda Provinsi Kepri terkait Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) harus senafas dengan PP 26 tahun 2023," tandasnya.
Sementara itu, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati menilai, apa yang dilakukan oleh pemerintah semata-mata hanya untuk kepentingan bisnis.
"Lagi kan alasannya sedimentasi tapi kok ujung-ujungnya ekspor gitu. Ini kan kita tahu sebenarnya arahnya ke mana, investasi sih sebenarnya. Jadi bukan semata-mata sedimentasi doang yang menjadi kegelisahan pemerintah, orientasinya bisnis," tukasnya.
Susan menyayangkan keputusan pemerintah yang tiba-tiba menerbitkan peraturan yang dianggap akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Padahal, kata dia, dari awal menjabat presiden, Jokowi selalu membanggakan bahwa Indonesia adalah poros maritim dunia.
"Padahal kalau kita telaah kembali, poros maritim dunia seharusnya tidak akan pernah membiarkan lautnya itu menjadi rusak. Negara maritim seharusnya orientasinya nelayan sejahtera dong," tandasnya.
Sebagai informasi, dalam PP yang telah berlaku sejak 15 Mei 2023 tersebut, ekspor pasir diatur dalam beleid pada Bab IV, pasal 9 nomor 2 huruf b, tentang pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut.
"Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tulis pasal 9 dalam aturan tersebut.
Adapun pelaku usaha yang akan melakukan ekspor laut wajib memiliki perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor dari Kementerian Perdagangan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
Selain itu, perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor sebagaimana diterbitkan setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Nantinya, terdapat bea keluar sesuai denan peraturan yang berlaku.
“Perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor diterbitkan setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri dan dikenakan bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Pasal 15 ayat (4).
Sebagai informasi, sebelumnya ekspor pasir dihentikan sementara dalam rangka mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau, serta belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura.
Kebijakan penghentian ekspor pasir laut sementara itu diatur melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Eskpor Pasir Laut.
Kebijakan ekspor pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pengamat yang juga Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman berpendapat, penerbitan PP tersebut sudah tepat namun belum sempurna.
Menurut dia, proses pendangkalan laut atau sedimentasi di beberapa lokasi di Selat Malaka faktual terjadi setiap hari. Pasir dan lumpur yang membuat pendangkalan tersebut datang dari sungai-sungai di pantai timur Sumatera akibat erosinya sangat tinggi.
"Kalau penambangan pasir itu dilakukan secara selektif dan terbatas maka harusnya bisa berdampak positif buat Indonesia, asal penambangan jangan jorjoran alias tidak direncanakan dengan baik dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia (MPI), Selasa (30/5/2023).
Meski begitu, Yusri menekankan bahwa konsultasi publik dengan semua stakeholder khususnya nelayan dan penduduk di sekitar pulau-pulau kecil penting dilakukan. Pasalnya, setiap kegiatan penambangan mineral dan batuan pasti berdampak terhadap lingkungan.
"Tergantung kebijakan yang dibuat harus meminimalkan dampak negatif, sehingga mengacu pada UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, sebagai dasar pembuatan Perda Provinsi Kepri terkait Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) harus senafas dengan PP 26 tahun 2023," tandasnya.
Sementara itu, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati menilai, apa yang dilakukan oleh pemerintah semata-mata hanya untuk kepentingan bisnis.
"Lagi kan alasannya sedimentasi tapi kok ujung-ujungnya ekspor gitu. Ini kan kita tahu sebenarnya arahnya ke mana, investasi sih sebenarnya. Jadi bukan semata-mata sedimentasi doang yang menjadi kegelisahan pemerintah, orientasinya bisnis," tukasnya.
Susan menyayangkan keputusan pemerintah yang tiba-tiba menerbitkan peraturan yang dianggap akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Padahal, kata dia, dari awal menjabat presiden, Jokowi selalu membanggakan bahwa Indonesia adalah poros maritim dunia.
"Padahal kalau kita telaah kembali, poros maritim dunia seharusnya tidak akan pernah membiarkan lautnya itu menjadi rusak. Negara maritim seharusnya orientasinya nelayan sejahtera dong," tandasnya.
Sebagai informasi, dalam PP yang telah berlaku sejak 15 Mei 2023 tersebut, ekspor pasir diatur dalam beleid pada Bab IV, pasal 9 nomor 2 huruf b, tentang pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut.
"Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tulis pasal 9 dalam aturan tersebut.
Adapun pelaku usaha yang akan melakukan ekspor laut wajib memiliki perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor dari Kementerian Perdagangan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
Selain itu, perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor sebagaimana diterbitkan setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Nantinya, terdapat bea keluar sesuai denan peraturan yang berlaku.
“Perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor diterbitkan setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri dan dikenakan bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Pasal 15 ayat (4).
Sebagai informasi, sebelumnya ekspor pasir dihentikan sementara dalam rangka mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau, serta belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura.
Kebijakan penghentian ekspor pasir laut sementara itu diatur melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Eskpor Pasir Laut.
(ind)