Pembukaan Kembali Ekspor Pasir Laut Terus Menuai Polemik
loading...
A
A
A
"Langkah-langkah yang memadai dan strategi kompensasi harus ada untuk memastikan perlindungan hak-hak mereka dan alternatif ekonomi yang berkelanjutan," ujarnya.
Rizal mengatakan, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai SDGs, yang mencakup tujuan terkait pelestarian lingkungan, mata pencaharian berkelanjutan, dan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab.
"Keputusan untuk mengizinkan ekspor pasir laut harus dievaluasi dengan mempertimbangkan komitmen tersebut. Penting untuk mempertimbangkan apakah kebijakan ini sejalan dengan aspirasi negara untuk pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan jangka panjang rakyatnya," katanya.
Untuk memastikan akuntabilitas dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, penting bagi pemerintah untuk melibatkan proses yang transparan dan melibatkan pemangku kepentingan yang relevan, termasuk organisasi lingkungan, masyarakat pesisir, dan para ahli di bidang tersebut. Evaluasi yang kuat, studi ilmiah, dan konsultasi publik harus menjadi dasar bagi keputusan tersebut untuk mengurangi dampak negatif potensial dan melindungi lingkungan.
Rizal menegaskan, keputusan untuk mencabut larangan ekspor pasir laut selama 20 tahun adalah kontroversial. Penting untuk menemukan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan jangka panjang ekosistem pesisir Indonesia.
"Analisis komprehensif yang mencakup data dan informasi akurat dari sumber yang kredibel harus menjadi pedoman bagi kebijakan di masa depan untuk memastikan pelestarian lingkungan, melindungi masyarakat pesisir, dan mendorong pembangunan berkelanjutan," tutup Rizal.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan penerbitan Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut akan melindungi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman aktivitas pengambilan pasir laut secara ilegal. Menurut Trenggono selama ini belum ada kebijakan yang mengatur terkait pengelolaan sedimentasi laut dan pasir laut.
"Berarti ngambil (pasir laut) bebas dari pantai, dari pulau-pulau. Ini yang kita atur. Dari mana saya bisa tahu seperti itu? Ketika Ditjen PSDKP kita operasi pengawasan. Contoh di Pulau Rupat, hampir habis itu pulau disedotin pasirnya. Kemudian di Pulau Bawah, banyaklah di daerah Batam dan sebagainya. Itu kita stop dan kita segel," ujar Menteri Trenggono dalam keterangan tertulis, Rabu (7/6/2023).
Trenggono menambahkan, penggunaan pasir laut untuk kegiatan reklamasi juga menjadi lebih tertata dengan terbitnya PP tadi. Ke depan material yang boleh dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan reklamasi adalah hasil sedimentasi, bukan pasir laut yang diambil dari sembarang lokasi.
Dalam PP itu disebutkan hasil sedimentasi di laut berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran. Hasil sedimentasi yang dapat dimanfaatkan bisa berupa lumpur maupun pasir laut.
Rizal mengatakan, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai SDGs, yang mencakup tujuan terkait pelestarian lingkungan, mata pencaharian berkelanjutan, dan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab.
"Keputusan untuk mengizinkan ekspor pasir laut harus dievaluasi dengan mempertimbangkan komitmen tersebut. Penting untuk mempertimbangkan apakah kebijakan ini sejalan dengan aspirasi negara untuk pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan jangka panjang rakyatnya," katanya.
Untuk memastikan akuntabilitas dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, penting bagi pemerintah untuk melibatkan proses yang transparan dan melibatkan pemangku kepentingan yang relevan, termasuk organisasi lingkungan, masyarakat pesisir, dan para ahli di bidang tersebut. Evaluasi yang kuat, studi ilmiah, dan konsultasi publik harus menjadi dasar bagi keputusan tersebut untuk mengurangi dampak negatif potensial dan melindungi lingkungan.
Rizal menegaskan, keputusan untuk mencabut larangan ekspor pasir laut selama 20 tahun adalah kontroversial. Penting untuk menemukan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan jangka panjang ekosistem pesisir Indonesia.
"Analisis komprehensif yang mencakup data dan informasi akurat dari sumber yang kredibel harus menjadi pedoman bagi kebijakan di masa depan untuk memastikan pelestarian lingkungan, melindungi masyarakat pesisir, dan mendorong pembangunan berkelanjutan," tutup Rizal.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan penerbitan Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut akan melindungi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman aktivitas pengambilan pasir laut secara ilegal. Menurut Trenggono selama ini belum ada kebijakan yang mengatur terkait pengelolaan sedimentasi laut dan pasir laut.
"Berarti ngambil (pasir laut) bebas dari pantai, dari pulau-pulau. Ini yang kita atur. Dari mana saya bisa tahu seperti itu? Ketika Ditjen PSDKP kita operasi pengawasan. Contoh di Pulau Rupat, hampir habis itu pulau disedotin pasirnya. Kemudian di Pulau Bawah, banyaklah di daerah Batam dan sebagainya. Itu kita stop dan kita segel," ujar Menteri Trenggono dalam keterangan tertulis, Rabu (7/6/2023).
Trenggono menambahkan, penggunaan pasir laut untuk kegiatan reklamasi juga menjadi lebih tertata dengan terbitnya PP tadi. Ke depan material yang boleh dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan reklamasi adalah hasil sedimentasi, bukan pasir laut yang diambil dari sembarang lokasi.
Dalam PP itu disebutkan hasil sedimentasi di laut berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran. Hasil sedimentasi yang dapat dimanfaatkan bisa berupa lumpur maupun pasir laut.