Jogja Fashion Week Resmi Dibuka, Sri Sultan Harap Akulturasi Batik Tetap Dijaga

Kamis, 25 Agustus 2016 - 00:47 WIB
Jogja Fashion Week Resmi Dibuka, Sri Sultan Harap Akulturasi Batik Tetap Dijaga
Jogja Fashion Week Resmi Dibuka, Sri Sultan Harap Akulturasi Batik Tetap Dijaga
A A A
YOGYAKARTA - Jogja Fashion Week (JFW) ke-11 resmi dibuka Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X di Jogja Expo Center (JEC) pada hari Rabu (24/8/2016). Pembukaan gelaran yang akan berlangsung hingga Minggu (28/8) ditandai dengan fashion show para pejabat Pemerintah Yogyakarta bersama istri serta kepala-kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan dilanjutkan para busana para model dari berbagai desainer.

Sri Sultan berpesan agar ajang tahunan ini selalu tidak lepas dari budaya yang ada di Yogyakarta, yaitu batik. Apalagi batik kini tak sekadar kekayaan warisan nenek moyang bangsa Indonesia, tetapi dengan penganugerahan batik sebagai warisan budaya dunia maka batik harus tetap eksis agar anugerah dari UNESCO tersebut tetap melekat.

"Jangan sampai batik kehilangan ruhnya sehingga anugerah dari UNESCO akan dicabut," tutur Sri Sultan.

Menurut Raja Keraton Ngayogyakarta ini, batik memiliki nilai yang sangat adiluhung. Goresan lekukan dari motif batik memiliki makna dari kehidupan manusia turun temurun. Motif batik yang berbeda satu sama lain harus selalu diangkat untuk menunjukkan keragaman budaya yang ada di Nusantara. Karena batik sudah menjadi ciri khas Nusantara.

Gelaran JFW ini juga momen yang sangat tepat bagi khasanah mode batik di Indonesia. Karena sebentar lagi akan ada parade yang sama dengan level dunia dan diselenggarakan di China. JFW yang sudah menjadi barometer mode batik di Tanah Air harus mencerminkan nilai-nilai tradisi yang luhur dan siap untuk mendunia di ajang apapun

Selain itu, Sultan mengingatkan agar JFW selalu mengangkat unsur kedaerahan terutama di Yogyakarta dengan pedesaan sebagai pintu gerbangnya. Ia mencontohkan dua sentra batik yang ada di Yogyakarta yaitu Desa Giriloyo Bantul dan Gedangsari Gunungkidul. Giriloyo dekat dengan makam Raja Imogiri yang merupakan makam Kerajaan Solo dan Yogyakarta. Sementara Gedangsari dekat dengan Bayat Klaten Jawa Tengah yang notabene juga dipengaruhi gaya Solo.

"Artinya batik di dua desa tersebut adalah akulturasi atau campuran gaya Solo dan Yogya. Dan inilah warisan budaya Kerajaan Mataram Islam, sehingga batik pantas disebut sebagai heritage," paparnya.

Dan heritage alias warisan ini bisa dijadikan tren di dunia mode. Kendati demikian, Sri Sultan mengingatkan agar tren batik selalu menonjolkan motif dan pewarnaan alami. Warna-warna cerah dengan padu padan desain atau corak batik tidak boleh lepas dari unsur alami. Karena batik memiliki misi tentang alam yang memiliki keseimbangan.

Dan industri batik sendiri memiliki potensi yang luar biasa untuk mengangkat citra suatu daerah. Nilai keekonomian dari batik akan sangat tinggi jika mampu dikemas dengan sangat baik. Karena itu, ia menginginkan agar JFW bisa menjadi batu loncatan desainer di Tanah Air untuk mendunia.

JFW harus menjadi barometer fashion di kota dan negaranya sendiri tanpa meninggalkan unsur budaya setempat. "Batik harus mampu berbicara di kancah dunia," tandasnya.

Kepala Balai Besar Kerajinan Batik Yogyakarta, Isananto Winursito mengklaim JFW sekarang sudah tumbuh menjadi barometer ekonomi kreatif di Yogyakarta. Selain batik, ekonomi kreatif memiliki potensi yang cukup besar. Pada 2015 lalu, ekonomi kreatif Indonesia mampu memberikan kontribusi sebesar Rp642 triliun atau 7% terhadap Produk Domestik Bruto nasional.

"Kontribusi fashion mencapai 27,9% atau Rp179 triliun. Ini sangat besar, karena itu barometer-barometer perkembangan fashion harus terus dipupuk," terangnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3728 seconds (0.1#10.140)