Ketika Para Pelaku UMKM Berkisah: Penjualan Daring Hanya untuk Menjaga Eksistensi

Senin, 27 Juli 2020 - 16:51 WIB
loading...
Ketika Para Pelaku UMKM Berkisah: Penjualan Daring Hanya untuk Menjaga Eksistensi
Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pelaku usaha muda megap-megap dihajar pandemi Covid-19. Omzet turun drastis. Pemasaran via daring pun tak mampu mendongkrak penjualan.

Usaha Nurman Farieka Ramdhani berjalan normal-normal saja kala Covid-19 telah merebak di Tiongkok dan beberapa negara lain pada awal tahun ini. Memasuki Maret, penjualan sepatu berbahan dasar kulit ceker ayam itu mulai menurun. Di bulan-bulan berikutnya hingga kini, penjualan sepatu dengan brand Hirka itu terseok-seok.

“Setelah pandemi masuk, ada penurunan-penurunan setiap bulannya. Paling parah itu 30%. Siasat kami sekarang, mengubah strategi hingga 180 derajat. Produksi kami kembali ke sistem pre-order. Istilahnya, enggak stok banyak-banyak,” ujarnya kepada SINDOnews, Sabtu (25/7/2020).

Nurman menerangkan, sebelum pandemi melanda Indonesia, penjualan sepatu Hirka bisa mencapai 100-150 buah per bulan. Nah di awal tahun, Hirka mulai memasang target penjualan sebanyak 200 buah per bulan. Tak dinyana, pandemi merontokkan mimpi itu.

“Sangat terdampak. kerja di rumah (WFH) dan jaga jarak itu bikin susah gerak. Tim produk kami jadi terhambat. Biasanya mereka bekerja 8-9 jam di workshop, sekarang lima jam. Dari segi supplier untuk material, ada beberapa toko yang tutup,” tuturnya.

Hirka juga harus menghadap situasi ketika harga bahan baku utama, ceker ayam, melonjak drastis. Dalam keadaan normal, harganya sekitar Rp22.000 per kilogram (kg). sekarang, harganya mencapai Rp35.000 kg.

Selama pandemi Covid-19 ini para penjual ayam tidak banyak memotong. Hal itu disebabkan daya beli masyarakat yang masih rendah. Dengan jumlah yang sedikit hukum pasar pun berlaku: harga meroket. Meski harga bahan mahal, Hirka tidak menaikkan harga jual.

SINDOnews melihat situs resmi Hirka, ada enam model sepatu yang ditampilkan dengan nama Jokka dan Tafiaro. Harganya berkisar Rp490.000-540.000 per pasang. Nurman dan tim menahan memproduksi model baru untuk sementara ini. “Untuk inovasi sudah terlalu over. Kami sudah terlalu mencolok kalau dari sisi inovasi produk,” ucap Nurman.

Hal serupa dilakukan pelaku usaha lain, Ahmad Arief Budiman. Arief mengibarkan brand Lamgo Souvenir untuk pesta pernikahan dan seminar. Dia menjelaskan sementara waktu tidak melakukan inovasi karena itu membutuhkan biaya.

“Inovasi di bidang souvenir saat ini agak mubajir. Kami melakukan effort yang terlalu tinggi dan riset bagaimana pun jatuhnya ngebakar uang banyak. Cost-nya tidak seimbang. Beda lagi kalau finansialnya kuat, itu mau diskon atau apa pun,” ujarnya kepada SINDOnews, Minggu (26/7/2020).

Arief mengatakan usaha seperti itu pun tidak akan berdampak signifikan karena situasi pasar yang tidak menentu. Pria lulusan Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, sekarang penjualan hanya dilakukan melalui daring. Namun, itu tidak mendongkrak penjualan. ( Baca juga:UMKM Butuh Solusi Konkrit dan Pengawalan Khusus Saat Pandemi )

Berdasarkan survei Forum Ekonomi Dunia, ada sekitar 31% wirausaha muda yang mengandalkan internet di masa pandemi untuk meningkatkan pendapatan. Koresponden survei itu 68.574 orang dan dilakukan di enam negara ASEAN.

Sejak berdiri tahun 2012, Lamgo sebenarnya sudah mengandalkan penjualan daring, baik via situs maupun media sosial (medsos). Menurutnya, dalam situasi pandemi ini, penjualan via daring tidak ada yang berubah. Keaktifan di medsos hanya untuk menjaga eksistensi di mata konsumen.

“Saya pribadi fokusnya untuk eksis dulu. Strategi masih memakai yang lama karena sudah keluar kebijakan sampai akhir tahun tidak ada acara besar. Kami menjaga klien-klien agar mereka aware Lamgo Souvenir masih ada,” terangnya.

Dalam jualan souvenir, Arief memiliki dua brand untuk menyasar dua pasar berbeda. Lamgo untuk kelas atas, sedangkan IF Souvenir untuk kelas menengah ke bawah. Perilaku konsumen di medsos pada masa pandemi Covid-19 ini berubah.

Berdasarkan data, menurutnya, mereka kebanyakan hanya mengunjungi medsos tanpa melakukan kontak. Ada juga konsumen yang bertanya-tanya mengenai produk dan harga. Namun, belum bisa menentukan kapan akan melakukan pembelian.

Bisnis souvenir pernikahan pasti luluh lantak mengingat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan pemerintah. Acara pernikahan dan seminar yang mengundang kerumunan orang dilarang karena dikhawatirkan akan menjadi titik penyebaran virus Covid-19.

Sebelum pandemi, penjualan Lamgo dan IF Souvenir itu 70%-nya dilakukan melalui medsos dan pasarnya sudah menjangkau seluruh Indonesia. Omzet Lamgo dan IF Souvenir bisa di atas Rp50 juta per bulan. Saat ini untuk mendapatkan Rp10 juta saja sulit. Pernah hanya dapat Rp5 juta per bulan.

Hirka pun tidak melakukan pemasaran yang besar-besaran melalui daring. Nurman mengungkapkan pihaknya hanya memposting konten-konten untuk kampanye Hirka dan tentu saja, berharap menarik pembeli karena penasaran. Beberapa waktu lalu, Hirka mengunggah ular di instagramnya.

Menurutnya, itu membuat orang-orang bertanya-tanya kepada Hirka. Banyak yang menebak Hirka akan menggunakan ular sebagai bahan dasar. Ternyata, itu bentuk sindiran bagi produsen yang masih menggunakan kulit ular.

“Kami tidak besar-besaran untuk budget marketing, semampunya saja. Niat April lalu mau gede-gedean endorsement dan lain-lain, juga advertising. Karena pandemi ini, ada beberapa pogram yang di-hold, seperti rilis artikel dan kolaborasi dengan beberapa brand,” tuturnya.

Saat ini Hirka lebih mengedepankan pelayanan kepada konsumen. Misalnya, konsumen yang sudah membeli satu bulan produk masih bisa meminta perubahan warna. Namun, ini tidak akan berlaku selamanya. Setelah skala bisnisnya besar, ada beberapa pelayanan yang dikurangi.

Pengamat ekonomi Mohammad Faisal mengatakan para pelaku usaha mau tidak mau harus lebih gencar melakukan pemasaran produk melalui daring dan inovasi. Selain itu, mereka harus menurunkan harga untuk sementara waktu agar menarik minat pembeli.

“Daringnya, tidak hanya melalui marketplace, seperti Bukalapak dan Tokopedia, tapi manfaatkan juga medsos. Untuk menengah ke bawah bisa melalui jalur ini. promosinya digencarkan sambil melihat selera dan kebutuhan konsumen,” terangnya.

Para pelaku usaha muda, menurutnya, sudah paham dan familiar dengan promosi melalui medsos. Yang masalah, banyak pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lain yang gagap dengan teknologi dan internet. “Itu ruangnya masih banyak, terus genjot. Sebelum pandemi sudah tinggi, sekarang harus lebih gencar lagi,” ucapnya.

Di tengah situasi seperti ini, para pelaku usaha berharap pemerintah segera turun tangan. Nurman meminta membantu para pelaku usaha industri kreatif, misal menurunkan harga untuk pengiriman barang ke luar negeri.

Dia mengungkapkan ada kenaikan 2-3 kali lipat untuk mengirim barang ke Malaysia. Biasanya Rp80.000, sekarang bisa Ro160.000. Sementara itu, Arief mendesak pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang jelas sehingga para pelaku usaha bisa merancang strategi bisnisnya ke depan.

Faisal mendesak pemerintah memberikan bantuan modal kepada para pelaku usaha. Di sisi lain, pemerintah harus menstimulus dan mendongkrak daya beli masyarakat. Dia mengusulkan pemerintah melakukan pengadaan barang dan jasa dengan membeli produksi dari pelaku usaha menengah- kecil.

“Mereka ada tambahan pasar. Kalau pemerintah bisa memperluas dari sisi pembelian barang dan jasa, itu akan sangat membantu,” pungkasnya.

(Fahmi Bahtiar)
(uka)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0975 seconds (0.1#10.140)