Dukung Pencapaian NZE 2060, PLN Terus Kembangkan Pembangkit EBT
loading...
A
A
A
JAKARTA - PT PLN (Persero) terus meningkatkan kapasitas pembangkit berteknologi bersih untuk memenuhi kebutuhan konsumsi listrik serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Komitmen tersebut telah ditegaskan PLN pada Conference of Parties (COP) 26, untuk mencapai nol emisi karbon atau Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Untuk itu, jelas Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Warsono, BUMN energi tersebut telah menyusun strategi pengurangan emisi jangka pendek dan jangka panjang. Strategi tersebut disesuaikan dengan komitmen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) 2030 dan aspirasi NZE 2060 Pemerintah Indonesia.
"Jangka pendek dalam RUPTL, kami telah berkomitmen membangun pembangkit listrik 20,9 GW, melakukan dedieselisasi untuk mengurangi penggunaan BBM di pembangkit. Untuk mengurangi batu bara pada pembangkit kami melakukan co-firing dengan biomass. Saat ini sudah ada 52 coal power plant yang sudah menggunakan co-firing. PLN juga melakukan efisiensi, menggunakan PLTGU sebagai transisi dan sedang mengkaji terkait fossil plant retirement," kata Warsono dalam webinar DETalk bertema "Energi Nasional Terus Melaju Untuk Indonesia Maju", Selasa (15/8/2023).
Untuk strategi jangka panjang, lanjut Warsono, PLN akan meningkatkan lebih lanjut penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Untuk itu PLN sudah melakukan kajian untuk mengimplementasi terkait hydrogen co-firing. "Kami juga sudah melakukan kajian terkait CCU/CCUS dan bagaimana implementasinya ke depan. Coal retirement juga menjadi salah satu pertimbangan untuk mengurangi karbon, termasuk di antaranya penggunaan teknologi nuklir," paparnya.
PLN, ujar dia, berinisiatif melakukan upaya tersebut melalui RUPTL Paling Hijau yang menekankan upaya dekarbonisasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil dan pengembangan EBT. Dalam hal ini PLN sudah melakukan dekarbonisasi pembangkit listrik berbahan bakar fosil, pembatalan PPA PLTU batu bara, mengganti PLTU dengan pembangkit gas yang lebih ramah emisinya, uji coba karbon trading. "Yang tidak kalah pentingnya adalah roll out smart grid di beberapa pulau," katanya.
Untuk itu, PLN juga telah merancang tiga skenario transisi energi dengan total pendanaan modal yang dibutuhkan sebesar USD50-130 miliar dengan potensi pendanaan JETP sebesar USD20 miliar. Dengan demikian, kata dia, ada kekurangan kebutuhan pendanaan sebesar USD30-USD110 miliar sampai tahun 2040. Warsono mengatakan, pendanaan multiplatform transisi energi memberikan fleksibilitas untuk mendapatkan pendanaan yang kompetitif. "Berbagai macam funding yang memungkinkan perlu kita bangun untuk menggapai akselerasi transisi energi," jelasnya.
Sementara, Kepala Biro Perencanaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya mengatakan, pemerintah telah menyusun roadmap untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat. Di antaranya, di sisi suplai dengan pengembangan EBT termasuk hidrogen dan nuklir, dan early retirement PLTU, CCU/CCUS.
"Transisi energi menuju energi bersih tentu saja tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah atau Kementerian ESDM sendiri, diperlukan peranan dari multistakeholder, baik instansi pemerintah, swasta, BUMN, akademisi, organisasi, serta masyarakat atau dikenal dengan pentahelic untuk tercapainya NZE pada 2060 atau lebih cepat," kata Chrisnawan.
Untuk itu, jelas Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Warsono, BUMN energi tersebut telah menyusun strategi pengurangan emisi jangka pendek dan jangka panjang. Strategi tersebut disesuaikan dengan komitmen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) 2030 dan aspirasi NZE 2060 Pemerintah Indonesia.
"Jangka pendek dalam RUPTL, kami telah berkomitmen membangun pembangkit listrik 20,9 GW, melakukan dedieselisasi untuk mengurangi penggunaan BBM di pembangkit. Untuk mengurangi batu bara pada pembangkit kami melakukan co-firing dengan biomass. Saat ini sudah ada 52 coal power plant yang sudah menggunakan co-firing. PLN juga melakukan efisiensi, menggunakan PLTGU sebagai transisi dan sedang mengkaji terkait fossil plant retirement," kata Warsono dalam webinar DETalk bertema "Energi Nasional Terus Melaju Untuk Indonesia Maju", Selasa (15/8/2023).
Untuk strategi jangka panjang, lanjut Warsono, PLN akan meningkatkan lebih lanjut penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Untuk itu PLN sudah melakukan kajian untuk mengimplementasi terkait hydrogen co-firing. "Kami juga sudah melakukan kajian terkait CCU/CCUS dan bagaimana implementasinya ke depan. Coal retirement juga menjadi salah satu pertimbangan untuk mengurangi karbon, termasuk di antaranya penggunaan teknologi nuklir," paparnya.
PLN, ujar dia, berinisiatif melakukan upaya tersebut melalui RUPTL Paling Hijau yang menekankan upaya dekarbonisasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil dan pengembangan EBT. Dalam hal ini PLN sudah melakukan dekarbonisasi pembangkit listrik berbahan bakar fosil, pembatalan PPA PLTU batu bara, mengganti PLTU dengan pembangkit gas yang lebih ramah emisinya, uji coba karbon trading. "Yang tidak kalah pentingnya adalah roll out smart grid di beberapa pulau," katanya.
Untuk itu, PLN juga telah merancang tiga skenario transisi energi dengan total pendanaan modal yang dibutuhkan sebesar USD50-130 miliar dengan potensi pendanaan JETP sebesar USD20 miliar. Dengan demikian, kata dia, ada kekurangan kebutuhan pendanaan sebesar USD30-USD110 miliar sampai tahun 2040. Warsono mengatakan, pendanaan multiplatform transisi energi memberikan fleksibilitas untuk mendapatkan pendanaan yang kompetitif. "Berbagai macam funding yang memungkinkan perlu kita bangun untuk menggapai akselerasi transisi energi," jelasnya.
Sementara, Kepala Biro Perencanaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya mengatakan, pemerintah telah menyusun roadmap untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat. Di antaranya, di sisi suplai dengan pengembangan EBT termasuk hidrogen dan nuklir, dan early retirement PLTU, CCU/CCUS.
"Transisi energi menuju energi bersih tentu saja tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah atau Kementerian ESDM sendiri, diperlukan peranan dari multistakeholder, baik instansi pemerintah, swasta, BUMN, akademisi, organisasi, serta masyarakat atau dikenal dengan pentahelic untuk tercapainya NZE pada 2060 atau lebih cepat," kata Chrisnawan.