Fenomena Yahudi dan India dalam Dunia Bisnis Global: Mencengangkan!

Kamis, 24 Agustus 2023 - 11:43 WIB
loading...
Fenomena Yahudi dan India dalam Dunia Bisnis Global: Mencengangkan!
Silicon Valley menjadi kawasan bisnis yang mempertemukan pengusaha Yahudi dan CEO India. Foto/Reuters
A A A
JAKARTA - Ada dua fenomena mencengangkan dalam dunia bisnis global. Pertama, kaum Yahudi yang banyak memiliki raksasa bisnis dan menguasai jajaran orang kaya dunia, dan satu lagi orang India yang merajai jajaran petinggi perusahaan multinasional.



Awal Februari kemarin, Forbes mengungkap ada 267 orang Yahudi yang masuk dalam daftar orang terkaya di dunia. Mereka berasal dari berbagai negara dan juga bidang usaha.

Miliarder Yahudi "paling miskin" memiliki kekayaan USD1 miliar atau sekitar Rp15 trilun (kurs Rp15.000). Sedangkan yang paling tajir, kekayaannya menembus USD102,9 miliar atau Rp1.543,5 triliun.

Jika ditotal, harta kekayaan pengusaha Yahudi itu menembus USD1.802,85 miliar. Kalau dirupiahkan sekitar Rp27.000 triliun. Sekali lagi, jumlah itu mengacu pada data Forbes yang rilis di Februari, bukan real time billionaire list.

Kebanyakan orang kaya Yahudi itu didominasi warga Amerika Serikat. Dari 10 yang masuk daftar teratas, tujuh di antaranya bermukim di AS. Tiga orang lagi di Inggris dan Perancis.

Orang-orang super kaya Yahudi memiliki beberapa perusahaan global. Sebut saja, Larry Ellison yang merupakan pemilik Oracle dan mengantongi kekayaan sebesar USD102,9 miliar atau Rp1.543,5 triliun. Lalu ada Larry Page yang mendirikan Google dengan kekayaan USD85,2 miliar atau Rp1.278 triliun.

Nama-nama lain yang tak kalah mentereng dan menjadi pemilik perusahaan global adalah Michael Bloomberg, Michael Dell (Dell Technologies), dan Mark Zuckerberg (Facebook/Meta).

Selalu muncul pertanyaan, mengapa bangsa atau orang-orang Yahudi banyak yang sukses, terutama di bidang bisnis? Zerry Z. Muller, professor sejarah di Catholic University of America, dalam tulisannya yang dimuat di Project Syndicate dengan judul "Why Do Jews Succeed?" menjelaskannya panjang lebar.

Pada intinya, menurut Jerry, ada beberapa faktor yang membuat mereka sukses di dunia bisnis. Pertama, melek huruf sehingga berdampak pada pengetahuan dan pendidikan orang-orang Yahudi. Kedua, pengalaman berdagang.

Selanjutnya, tekanan historis yang dihadapi mereka menjadi inspirasi untuk menciptakan peluang pasar, mulai dari bekerja sebagai pedagang keliling, menciptakan produk baru, atau bentuk pemasaran baru.

Orang-orang Yahudi juga memiliki jejaring sosial yang mendunia, karena tersebar di berbagai negara. Jadi mereka lebih sadar akan peluang yang ada, memiliki lebih banyak kontak internasional, dan lebih aktif dalam perdagangan internasional.

Fenomena kedua terkait orang India yang menjadi CEO di perusahaan global, terutama yang bergerak di bidang teknologi. Mengutip MINT setidaknya ada 30 orang India yang menjadi petinggi perusahaan global dengan penghasilan yang fantastis.

Mereka di antaranya adalah Satya Nadella (Microsoft), Sundar Pichai (Alphabet /Google), (Sundar Pichai), Vasant Narsimhan (Novartis), Shantanu Narayan (Adobe), Arvind Krishna (IBM).

Selanjutnya masih ada Laxman Narsimhan (Starbucks), Reshma Kewalramani (Vertex Pharmaceuticals), Sanjay Mehrotra (Micron Technology), Anirudh Devgan (Cadence Design System), Nikesh Arora (Palo Alto Networks), Rangarajan Raghuram (VMware), dan masih banyak lagi.

Ada tiga faktor yang membuat orang-orang India bisa menjadi petinggi perusahaan-perusahaan global. Persaingan yang keras adalah faktor pertama. R Gopalakrishnan, mantan direktur eksekutif Tata Sons dan salah satu penulis The Made in India Manager, dikutip dari Sinaumedia, pernah mengatakan “Tidak ada negara lain di dunia yang ‘melatih’ begitu banyak warganya dengan cara gladiator seperti India,”

“Tumbuh besar di India mendidik setiap individu untuk menjadi pejuang alami, mulai dari mendapatkan akta kelahiran hingga akta kematian. Mulai dari masuk sekolah hingga mencari pekerjaan, dari kurangnya infrastruktur hingga kapasitas yang tidak memadai” .

Persaingan dan kekacauan membuat orang India secara naluriah mampu beradaptasi dalam memecahkan masalah. Itu berdampak pada cara kerja masyarakat India yang kerap mengedepankan profesionalisme dibandingkan urusan pribadi. Tentu saja itu sangat cocok diterapkan dalam budaya perkantoran Amerika yang mendorong setiap orang untuk melakukan banyak pekerjaan.

Faktor kedua, faktor pendidikan. Sejak tahun 1960an, India telah melakukan perubahan bertahap dalam kurikulum pendidikannya yang menekankan pengetahuan matematika, sains, dan teknologi. klaster pengetahuan ini dikenal dengan STEM, yaitu Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika.

Tidak lupa untuk menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pendidikan di India yang memungkinkan mereka mengakses berbagai literatur ilmu pengetahuan terkini dari Eropa dan Amerika. Kemudian juga memudahkan lulusan perguruan tinggi teknologi India untuk bersaing di luar negeri, baik Eropa maupun Amerika.

Kebijakan pengetatan imigrasi Amerika yang memprioritaskan pekerja profesional sejak tahun 1960-an juga memberikan kemudahan bagi alumni perguruan tinggi teknologi di India untuk mendapatkan izin kerja di Amerika. Kebijakan ini ibarat ucapan selamat datang kepada para alumni institut teknologi di India yang menguasai bidang STEM dan sejalan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja kelas atas di Amerika Serikat.

Terakhir, revolusi budaya kerja dan sikap mental. Budaya kerja menjadi salah satu isu yang mendominasi permasalahan perusahaan teknologi di Silicon Valley. Seperti yang dilakukan Satya Nadella, CEO asal India yang mengambil alih jabatan CEO Microsoft pada Februari 2014.

Ia mewarisi budaya beracun di perusahaan yang dianggap sebagai dinosaurus teknologi. Bill Gates, sang pendiri, dikenal sering mencaci-maki karyawannya, dan Steve Ballmer, yang menggantikan Gates, melanjutkan taktik bisnis keras.

Sebagai CEO asal India, Nadella memberikan contoh dengan tidak pernah meninggikan suara atau menunjukkan kemarahan secara terang-terangan kepada karyawan atau eksekutif. Tidak pernah menulis email berisi kemarahan, dia terus berupaya menciptakan lingkungan yang lebih nyaman.



Langkah serupa dilakukan oleh Sundar Pichai. Pichai mengubah budaya kerja ketika hubungan seksual antara eksekutif puncak dan karyawan menciptakan ketegangan internal. Dengan sikap Indianya yang lembut dan rendah hati, Pichai mengarahkan tim perusahaan ke suasana yang lebih tenang dan mengatur ulang etika tempat kerja.

(uka)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1667 seconds (0.1#10.140)