Greenback Makin Perkasa di Tengah Gaung Dedolarisasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gerakan dedolarisasi oleh BRICS dan juga sejumlah negara, ternyata tak menggoyahkan mata uang Amerika Serikat. Hari ini, greenback justru berada dalam level tertinggi dalam sepuluh bulan terakhir terhadap sejumlah mata uang utama dunia, seperti euro, poundsterling, yuan, dan yen.
Mengutip, Reuters, Selasa (26/9/2023), salah satu penopang penguatan dolar adalah imbal hasil obligasi AS yang mencapai puncaknya dalam 16 tahun. Kombinasi data ekonomi yang tangguh, retorika The Fed yang hawkish, dan defisit anggaran yang dibiayai dengan pinjaman, membuat imbal hasil Treasury AS 10 tahun naik lebih dari 45 basis poin (bps) pada September menjadi 4,5%. Itu adalah kenaikan untuk pertama kalinya sejak 2007.
Pasar memperhitungkan risiko kenaikan suku bunga The Fed yang hampir sebesar 40% pada tahun ini--dibandingkan dengan peluang yang lebih kecil untuk kenaikan suku bunga lagi di Eropa--telah membantu menopang dolar yang banyak orang perkirakan akan segera turun ketika The Fed memberi isyarat untuk mengakhiri kenaikan suku bunga.
Euro menahan penurunan 0,5% pada hari Senin kemarin (25/9/2023) dan berada pada level terendah enam bulan di USD1,0584. Nilai tukar ini diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 3% pada kuartal ini, yang merupakan persentase kerugian kuartalan terburuk dalam setahun.
Sterling juga diperkirakan akan menghentikan kenaikan tiga perempatnya, dengan penurunan sebesar 3,8% selama tiga bulan hingga September. Semalam mata uang ini jatuh ke level terendah dalam enam bulan di USD1,2195 dan diperdagangkan hanya sedikit di atas level tersebut di sesi Asia.
Indeks dolar AS menyentuh level tertinggi sejak November di 106,1 pada hari Senin dan berada di 106,03 pada hari Selasa.
"Dari sini indeks dolar mengincar level di sekitar 107,20. Hanya sedikit mata uang yang akan menolak isu ketahanan makro dolar yang bullish, dan euro serta yuan China terlihat lebih rentan dibandingkan kebanyakan mata uang lainnya," kata seorang analis di Westpac Bank Australia.
Mengutip XE.com, sepanjang tahun ini mata uang China terus mengalami pelemahan terhadap dolar. Di awal Januari 1USD sama dengan 6,7 yuan, hari ini dolar sudah seharga 7,3 yuan.
Padahal, China terus mendorong gerakan dedolarisasi dengan tujuan memposisikan yuan sebagai mata uang cadangan. Bank sentral China telah meningkatkan kepemilikan yuan sehingga porsi mata uang tersebut terhadap cadangan global sekitar 2,5%.
Sami mawon dengan rubel. Mata uang Rusia itu sepanjang tahun ini juga melemah terhadap dolar. Di awal tahun 1 dolar sekitar 66,4 rubel, kini naik menjadi 96 rubel per dolar.
Semestinya, jika gerakan dedolarisasi membuahkah hasil, maka dolar tentu menjadi tak berharga lantaran dibuang dan tak digunakan. Ternyata, malah sebaliknya, dibuang tapi nilainya kian menjulang.
Ternyata, ada faktor lain yang membuat gerakan dedolarisasi BRICS belum sempat menggoyahkan dolar. Salah satunya adalah skala kekuatannya.
"BRICS kekuatannya masih kecil untuk menantang dolar. Sejauh ini baru gertakan politik, belum ada langkah konkret, misalnya membuat mata uang bersama BRICS. Selama tidak ada mata uang bersama, maka bargaining power melawan dolarnya tetap lemah," kata Bhima Yudhistira, ekonom Celios.
Dari dalam negeri sendiri, rupiah semakin keok terhadap dolar. Sempat perkasa pada Mei di kisaran Rp14.600, pelan tapi pasti, rupiah terpuruk terhadap dolar. Per hari ini, rupiah sudah hampir menyentuh Rp15.500.
Padahal, belum lama ini pemerintah terus menggencarkan sejumlah strategi untuk menopang mata uang garuda. Seperti membuat kebijakan terkait devisa hasil ekspor.
"Serapan DHE dari total nilai ekspor masih rendah. Perlu didorong lagi eksportir simpan DHE. Bank harus perbaiki layanan untuk menarik minat simpanan valas domestik. Kemudian ada ganjalan dari biaya pelayaran ekspor impor yang masih gunakan dolar, jadi kapal-kapal berbendara asing masih sulit terima mata uang selain dolar. Akibatnya pengusaha tetap perlu stok dolar," jelas Bhima.
Bahkan Bank Indonesia pun tak mau kalah dalam urusan menjaga rupiah. Bank Indonesia teah mengeluarkan sekuritas rupiah bank Indonesia (SRBI) untuk menyerap valas atau dolar sehingga bisa menopang rupiah.
SRBI yang beberapa hari lalu diluncurkan sukses menyerap valas senilai Rp12 triliun. Saking diminatinya, surat utang ala BI itu mengalami kelebihan penawaran hingga Rp45 triliun. Tapi, sayangnya rupiah tetap melemah.
Mengutip, Reuters, Selasa (26/9/2023), salah satu penopang penguatan dolar adalah imbal hasil obligasi AS yang mencapai puncaknya dalam 16 tahun. Kombinasi data ekonomi yang tangguh, retorika The Fed yang hawkish, dan defisit anggaran yang dibiayai dengan pinjaman, membuat imbal hasil Treasury AS 10 tahun naik lebih dari 45 basis poin (bps) pada September menjadi 4,5%. Itu adalah kenaikan untuk pertama kalinya sejak 2007.
Pasar memperhitungkan risiko kenaikan suku bunga The Fed yang hampir sebesar 40% pada tahun ini--dibandingkan dengan peluang yang lebih kecil untuk kenaikan suku bunga lagi di Eropa--telah membantu menopang dolar yang banyak orang perkirakan akan segera turun ketika The Fed memberi isyarat untuk mengakhiri kenaikan suku bunga.
Euro menahan penurunan 0,5% pada hari Senin kemarin (25/9/2023) dan berada pada level terendah enam bulan di USD1,0584. Nilai tukar ini diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 3% pada kuartal ini, yang merupakan persentase kerugian kuartalan terburuk dalam setahun.
Sterling juga diperkirakan akan menghentikan kenaikan tiga perempatnya, dengan penurunan sebesar 3,8% selama tiga bulan hingga September. Semalam mata uang ini jatuh ke level terendah dalam enam bulan di USD1,2195 dan diperdagangkan hanya sedikit di atas level tersebut di sesi Asia.
Indeks dolar AS menyentuh level tertinggi sejak November di 106,1 pada hari Senin dan berada di 106,03 pada hari Selasa.
"Dari sini indeks dolar mengincar level di sekitar 107,20. Hanya sedikit mata uang yang akan menolak isu ketahanan makro dolar yang bullish, dan euro serta yuan China terlihat lebih rentan dibandingkan kebanyakan mata uang lainnya," kata seorang analis di Westpac Bank Australia.
Mengutip XE.com, sepanjang tahun ini mata uang China terus mengalami pelemahan terhadap dolar. Di awal Januari 1USD sama dengan 6,7 yuan, hari ini dolar sudah seharga 7,3 yuan.
Padahal, China terus mendorong gerakan dedolarisasi dengan tujuan memposisikan yuan sebagai mata uang cadangan. Bank sentral China telah meningkatkan kepemilikan yuan sehingga porsi mata uang tersebut terhadap cadangan global sekitar 2,5%.
Sami mawon dengan rubel. Mata uang Rusia itu sepanjang tahun ini juga melemah terhadap dolar. Di awal tahun 1 dolar sekitar 66,4 rubel, kini naik menjadi 96 rubel per dolar.
Semestinya, jika gerakan dedolarisasi membuahkah hasil, maka dolar tentu menjadi tak berharga lantaran dibuang dan tak digunakan. Ternyata, malah sebaliknya, dibuang tapi nilainya kian menjulang.
Ternyata, ada faktor lain yang membuat gerakan dedolarisasi BRICS belum sempat menggoyahkan dolar. Salah satunya adalah skala kekuatannya.
"BRICS kekuatannya masih kecil untuk menantang dolar. Sejauh ini baru gertakan politik, belum ada langkah konkret, misalnya membuat mata uang bersama BRICS. Selama tidak ada mata uang bersama, maka bargaining power melawan dolarnya tetap lemah," kata Bhima Yudhistira, ekonom Celios.
Dari dalam negeri sendiri, rupiah semakin keok terhadap dolar. Sempat perkasa pada Mei di kisaran Rp14.600, pelan tapi pasti, rupiah terpuruk terhadap dolar. Per hari ini, rupiah sudah hampir menyentuh Rp15.500.
Padahal, belum lama ini pemerintah terus menggencarkan sejumlah strategi untuk menopang mata uang garuda. Seperti membuat kebijakan terkait devisa hasil ekspor.
"Serapan DHE dari total nilai ekspor masih rendah. Perlu didorong lagi eksportir simpan DHE. Bank harus perbaiki layanan untuk menarik minat simpanan valas domestik. Kemudian ada ganjalan dari biaya pelayaran ekspor impor yang masih gunakan dolar, jadi kapal-kapal berbendara asing masih sulit terima mata uang selain dolar. Akibatnya pengusaha tetap perlu stok dolar," jelas Bhima.
Bahkan Bank Indonesia pun tak mau kalah dalam urusan menjaga rupiah. Bank Indonesia teah mengeluarkan sekuritas rupiah bank Indonesia (SRBI) untuk menyerap valas atau dolar sehingga bisa menopang rupiah.
SRBI yang beberapa hari lalu diluncurkan sukses menyerap valas senilai Rp12 triliun. Saking diminatinya, surat utang ala BI itu mengalami kelebihan penawaran hingga Rp45 triliun. Tapi, sayangnya rupiah tetap melemah.
(uka)