Larangan Mudik untuk Cegah Sebaran Covid-19 Memukul Sektor Transportasi

Kamis, 30 April 2020 - 07:19 WIB
loading...
Larangan Mudik untuk Cegah Sebaran Covid-19 Memukul Sektor Transportasi
Imbauan pemerintah yang melarang mudik untuk mencegah penyebaran virus corona memukul usaha di sektor transportasi. Foto: dok/SINDOnews/Hasan Kurniawan
A A A
JAKARTA - Pandemi corona (Covid-19) telah memukul semua sektor, tak terkecuali bidang transportasi. Angkutan penumpang, angkutan barang dan logistik, hingga angkutan sewa atau carter terkena dampak langsung yang cukup signifikan.

Kebijakan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah per 24 April 2020 lalu secara langsung telah berdampak langsung pada perusahaan transportasi di Indonesia. Imbasnya sudah berefek pada pemutusan hubungan kerja (PHK), mempekerjakan sebagian pegawai di rumah, atau diminta cuti di luar tanggungan perusahaan.

Kalangan usaha bus angkutan darat yang tergabung dalam Organisasi Gabungan Angkutan Darat (Organda) hanya berharap ada kejelasan kepada pemerintah sampai kapan penanganan Covid-19 bisa selesai.

Sekretaris Jenderal Organda Ateng Arryono mengatakan, penanganan Covid-19 menghasilkan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). “PSBB menyebabkan larangan mudik yang tentu saja imbasnya sangat, sangat besar, untuk sektor ini. Nah, ini juga harus diikuti sejauh mana stimulus yang bisa diberikan kepada kami,” ucapnya di Jakarta kemarin.

Di DKI Jakarta awak angkutan umum yang terdampak Covid-19 sudah lebih dari 150.000 orang. Angka tersebut ditegaskan Ketua DPD Organda DKI Shafruhan Sinungan, yaitu 62.000 di antaranya adalah angkutan orang yang sudah tidak beroperasi. “Dampak wabah Covid-19 sudah dirasakan penurunannya oleh angkutan orang sejak Januari 2020 dan pada Februari 2020 sudah mencapai 100% penurunannya untuk sektor angkutan pariwisata,” ungkapnya.

Organda DKI sudah mengajukan berbagai relaksasi kepada pemerintah meliputi restrukturisasi kredit terhadap perbankan dan lembaga kredit lain. Bagi Shafruhan, langkah tersebut bukan hal mudah. “Terutama jika leasing yang modalnya dari luar negeri karena membutuhkan proses yang memakan waktu. Ada operator yang memang menggunakan jasa keuangan luar negeri,” ujar Shafruhan.

Sementara itu, para pelaku usaha bus antarkota antarprovinsi (AKAP) menyatakan ”sudah mati mesin” sejak 24 Maret 2020. “Sejak larangan mudik, kami sudah mendapat imbauan untuk tidak berangkat,’’ kata Direktur PO SAN, Kurnia Lesani Adnan, yang mengaku sebagai ”pemain” bus AKAP trayek jarak jauh seperti Riau ke Jawa Timur atau akrab menghubungkan pulau Sumatera dan Jawa.

Meski ada larangan tersebut, dia meminta aparat mewaspadai jalan tikus. Menurut dia, biasanya di malam hari di Pelabuhan Merak masih ada PO lain yang membandel. "Kami mohon penegasan Korlantas,” ucapnya.

Dia mengaku semua sektor angkutan darat, terutama yang beroperasi di sektor AKAP, pada dasarnya menaati peraturan yang dikeluarkan pemerintah. “Kami nahan perut aja, tidak ada pemasukan, opsinya ya merumahkan awak bus sampai waktu normal kembali. Namun, kami memohon pemerintah memberikan para awak angkutan dan pelaku usaha angkutan umum jaminan ketenangan untuk mempertahankan hidup sampai wabah Covid-19 ini selesai dan bangkit kembali. Ini tugas kita bersama,” tuturnya.

Berbeda halnya dengan sektor angkutan udara. Sebagai sektor padat modal, para ”pemain” di sektor ini cukup beragam meliputi maskapai, ground handling, pengelola bandara, serta usaha lain yang berada di fasilitas bandara yang beraneka. Indonesia National Air Carrier Association (INACA) mencatat hampir seluruh maskapai di seluruh dunia harus menelan kerugian sebagai dampak pembatasan transportasi karena Covid-19. Larangan terbang ini telah terjadi sejak awal tahun ini.

Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja mengatakan, dalam tiga bulan terakhir total kerugian maskapai domestik mencapai USD812 juta dan maskapai internasional mencapai USD749 juta. Totalnya sekitar lebih dari USD1,5 miliar atau setara dengan Rp23,3 triliun. "Sebenarnya untuk maskapai ini kerugian sudah dimulai sejak penerbangan dari dan ke China dan Arab dilarang beberapa bulan kemarin," kata Denon.

Dia merincikan, pada empat bandara besar meliputi Jakarta, Bali, Medan, dan Surabaya, terdapat penurunan jumlah penumpang domestik 44% dan 45% penumpang internasional. Penurunan ini disebabkan anjuran pemerintah untuk tetap di rumah mencegah penyebaran virus korona. "Lalu secara nilai pendapatan (revenue) maskapai jika dibandingkan dengan tahun 2018, terdapat penurunan yang cukup tajam. Per Februari 2020, jika dibandingkan dengan Februari 2018, revenue turun 9%. Lalu Maret, turun 18% dan April turun 30%," bebernya.

Kegiatan maskapai juga menurun 25% akibat pandemi ini. Sebenarnya, pada awal masuknya korona ke Indonesia pihak maskapai masih yakin dapat memaksimalkan potensi domestik. Ternyata, penerbangan domestik sama terpukulnya. Dia menambahkan, ada biaya parkir pesawat yang tidak beroperasi menambah beban maskapai. Imbasnya, karyawan maskapai harus dirumahkan, meskipun belum sampai ke tahap PHK. "Diharapkan penanganan Covid-19 bisa tepat agar kegiatan maskapai yang mendukung wisatawan bisa kembali seperti semula," paparnya.

Namun, Ketua INACA Denon Prawiraatmadja mengatakan, dalam situasi pandemi Covid-19 ini banyak pengaturan yang coba diterapkan pemerintah. Karena itu, semua pihak, terutama maskapai, diminta bersabar untuk tidak mengoperasikan penerbangan rute domestik sebagaimana larangan pemerintah. “Saya kira kita harus bersabar semua, karena Kemenhub bersama BNPB sedang membuat formulasi yang tepat bagaimana Permenhub bisa jalan dengan pengecualian-pengecualian dalam rangka menjaga industri ini bertahan,” ujarnya.

Utang Jatuh Tempo Garuda

Maskapai nasional Garuda Indonesia juga punya masalah yang cukup besar. PT Garuda Indonesia (Persero) meminta bantuan keuangan dan relaksasi kebijakan dari pemerintah untuk bertahan. Pasalnya, saat ini perseroan dihadapkan pada utang yang akan jatuh tempo bulan Juni mendatang. "Kami (butuh) relaksasi keuangan, ini punya sedikit masalah, Juni ini jatuh tempo USD500 juta sehingga kami membutuhkan bantuan keuangan dan relaksasi," ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR di Jakarta kemarin.

Selain itu, kata Irfan, pihaknya kini juga tengah melakukan negosiasi leasing pesawat terbang yang menjadi beban keuangan. Salah satunya negosiasi pesawat Boeing 777 yang saat ini pembayarannya mencapai USD1,6 juta. "Kami sudah coba negosiasikan dari lama, bahwa ini sudah terlalu mahal. Hari ini kami punya kesempatan yang sangat bagus untuk negosiasi karena harga pasar hanya USD800.000 per bulan. Kami punya 10 unit, jadi basically bayar dua kali lipat dari harga market," paparnya.

Perseroan juga telah melakukan efisiensi dengan memotong gaji dan tunjangan direksi, komisaris, hingga pegawai. "Kami juga restructuring mencari rute jadwal yang lebih bagus, menghentikan rute-rute merugikan," tambah Irfan.

Beda dengan itu, maskapai Lion Air menyatakan masih tetap beroperasi normal dengan batas-batas protokol kesehatan yang ketat. Corporate Communications Strategic of Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro, mengatakan, Lion Air menyatakan tetap beroperasi khusus untuk penerbangan domestik di tengah Covid-19.

Rencana operasional akan melayani rute-rute penerbangan dalam negeri, termasuk kota atau destinasi berstatus PSBB dan wilayah dengan transmisi lokal atau daerah terjangkit (zona merah). Bagi “pebisnis dan calon penumpang dengan tujuan pengecualian”, wajib memenuhi protokol penanganan Covid-19 melalui pengisian kelengkapan dokumen.

Salah satunya calon penumpang harus membawa surat keterangan sehat dari rumah sakit setempat, yang menerangkan bebas atau negatif Covid-19 dengan ketentuan maksimum tujuh hari setelah hasil uji keluar, telah melakukan rangkaian pemeriksaan melalui metode tes diagnostik cepat (rapid diagnostic test), swab test atau polymerase chain reaction(PCR).

Setali tiga uang. Industri pelayaran nasional juga sedang berada dalam situasi terjepit. Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, krisis akibat Covid-19 membutuhkan langkah strategis dan pencegahan di sektor pelayaran.

Dampak pandemi Covid-19 dirasakan pada semua sektor pelayaran. Misalnya, pendapatan angkutan penumpang/roll on-roll off merosot 75-100%. Kondisi yang sama terjadi pada sektor kontainer yang turun 10-25%, curah kering, liquid tanker, tug and barges, yang juga mengalami penurunan pendapatan 25-50%.

Di bagian lain, merosotnya harga minyak dunia yang menyentuh USD17,5 per barel yang memukul industri minyak dan gas bumi juga berdampak buruk terhadap industri pelayaran yang menjadi penunjangnya. "Pelayaran berada di situasi yang sangat terjepit, dan karenanya sangat membutuhkan stimulus yang tepat dan cepat dari pemerintah dan seluruh stakeholder," ucapnya. (Ichsan Amin/Sindonews)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1030 seconds (0.1#10.140)