Ancaman Inflasi Global, IMF Menyoroti Perang Israel-Hamas hingga Perlambatan China
loading...
A
A
A
NEW YORK - Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi dunia di tengah banyaknya sentimen negatif. IMF juga menyoroti perlambatan di China , perubahan iklim, dan potensi bahwa perang Israel-Hamas dapat memberikan tekanan terhadap inflasi.
"Pertumbuhan masih cukup lambat dan tidak merata dan risiko terhadap prospek ini masih sangat negatif," ujar Wakil Direktur Departemen Riset IMF, Petya Koeva Brooks seperti dilansir Yahoo Finance.
Dalam prospek yang baru dirilis Selasa kemarin, IMF memperkirakan ekonomi global akan tumbuh pada 3% tahun ini, sejalan dengan proyeksi dari Juli. Akan tetapi akan ada penurunan tahun depan mencapai sepersepuluh poin persentase menjadi 2,9%.
Brooks mengatakan, IMF mengamati dengan seksama perang Israel-Hamas untuk setiap dampak pada inflasi global. Meski begitu menurutnya, masih terlalu dini untuk menentukan dampak ekonomi dari konflik tersebut.
Sementara inflasi global telah mencapai puncaknya secara headline – yang mencakup harga energi dan pangan yang bergejolak – lonjakan harga minyak global sebagai respons terhadap perang Israel-Hamas mengancam untuk menyalakan kembali inflasi utama jika kenaikan harga terus berlanjut.
Risikonya adalah lonjakan harga minyak bisa meresap ke dalam apa yang disebut inflasi inti. Brooks memberikan catatan, bahwa aturan praktis tentang bagaimana harga minyak berdampak pada inflasi adalah bahwa kenaikan 10% dalam harga minyak yang berkelanjutan akan diterjemahkan ke dalam inflasi di tingkat global mencapai 0,4.
Hal itu akan menambah risiko inflasi utama, dimna Brooks mengatakan, perubahan iklim kini juga telah menjadi masalah ekonomi makro.
"Ini benar-benar mengejutkan dalam berapa banyak kasus yang diterangkan dalam proyeksi kami, karena banjir atau kekeringan atau sekali lagi, peristiwa terkait cuaca," katanya.
"Ini adalah risiko khusus dalam hal harga pangan dan ketahanan pangan. Pada tahap siklus inflasi ini, tentu tidak akan membantu dalam putaran kenaikan harga," paparnya.
Risiko besar lain yang dilihat IMF terhadap ekonomi global adalah perlambatan ekonomi China, ketika Negeri berjuluk Tirai Bambu itu sedang menghadapi krisis sektor properti. IMF menurunkan proyeksi ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut sebesar 0,2% tahun ini menjadi 5% dan 0,3% tahun depan menjadi 4,2%.
Raksasa properti China Evergrande meninggalkan restrukturisasi utangnya sebesar USD19 miliar dari obligasi internasionalnya. Pemberi pinjaman properti lainnya, Country Garden, gagal membayar pembayaran internasional dan juga diprediksi tidak memenuhi semua pembayaran obligasi berdenominasi dolar AS atau kewajiban utang luar negeri lainnya ketika jatuh tempo.
"Pertanyaannya adalah sejauh mana (krisis real estate) akan memiliki implikasi yang lebih luas," katanya.
Meski begitu Ia mengatakan, IMF menyakini pihak berwenang China memiliki alat yang diperlukan untuk menangani kegagalan real estat yang sedang berlangsung. Tetapi sebagian besar tindakan yang telah diambil sejauh ini adalah mencoba menopang permintaan real estat.
IMF merekomendasikan China menangani kelebihan pasokan real estat untuk menyelesaikan masalah pasar. "Kami berharap bahwa begitu risiko ditangani, tidak akan menular ke sektor sekitarnya di China," sambungnya.
IMF mencatat dalam laporannya bahwa tekanan keuangan di sektor real estat bisa berakhir meluas ke seluruh sektor keuangan.
"Jika kekhawatiran tentang stabilitas keuangan di China memburuk, dampaknya dapat dirasakan di ekonomi pasar berkembang lainnya melalui volatilitas nilai tukar dan destabilisasi arus modal," bunyi laporan itu.
"Pertumbuhan masih cukup lambat dan tidak merata dan risiko terhadap prospek ini masih sangat negatif," ujar Wakil Direktur Departemen Riset IMF, Petya Koeva Brooks seperti dilansir Yahoo Finance.
Dalam prospek yang baru dirilis Selasa kemarin, IMF memperkirakan ekonomi global akan tumbuh pada 3% tahun ini, sejalan dengan proyeksi dari Juli. Akan tetapi akan ada penurunan tahun depan mencapai sepersepuluh poin persentase menjadi 2,9%.
Brooks mengatakan, IMF mengamati dengan seksama perang Israel-Hamas untuk setiap dampak pada inflasi global. Meski begitu menurutnya, masih terlalu dini untuk menentukan dampak ekonomi dari konflik tersebut.
Sementara inflasi global telah mencapai puncaknya secara headline – yang mencakup harga energi dan pangan yang bergejolak – lonjakan harga minyak global sebagai respons terhadap perang Israel-Hamas mengancam untuk menyalakan kembali inflasi utama jika kenaikan harga terus berlanjut.
Risikonya adalah lonjakan harga minyak bisa meresap ke dalam apa yang disebut inflasi inti. Brooks memberikan catatan, bahwa aturan praktis tentang bagaimana harga minyak berdampak pada inflasi adalah bahwa kenaikan 10% dalam harga minyak yang berkelanjutan akan diterjemahkan ke dalam inflasi di tingkat global mencapai 0,4.
Hal itu akan menambah risiko inflasi utama, dimna Brooks mengatakan, perubahan iklim kini juga telah menjadi masalah ekonomi makro.
"Ini benar-benar mengejutkan dalam berapa banyak kasus yang diterangkan dalam proyeksi kami, karena banjir atau kekeringan atau sekali lagi, peristiwa terkait cuaca," katanya.
"Ini adalah risiko khusus dalam hal harga pangan dan ketahanan pangan. Pada tahap siklus inflasi ini, tentu tidak akan membantu dalam putaran kenaikan harga," paparnya.
Risiko besar lain yang dilihat IMF terhadap ekonomi global adalah perlambatan ekonomi China, ketika Negeri berjuluk Tirai Bambu itu sedang menghadapi krisis sektor properti. IMF menurunkan proyeksi ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut sebesar 0,2% tahun ini menjadi 5% dan 0,3% tahun depan menjadi 4,2%.
Raksasa properti China Evergrande meninggalkan restrukturisasi utangnya sebesar USD19 miliar dari obligasi internasionalnya. Pemberi pinjaman properti lainnya, Country Garden, gagal membayar pembayaran internasional dan juga diprediksi tidak memenuhi semua pembayaran obligasi berdenominasi dolar AS atau kewajiban utang luar negeri lainnya ketika jatuh tempo.
"Pertanyaannya adalah sejauh mana (krisis real estate) akan memiliki implikasi yang lebih luas," katanya.
Meski begitu Ia mengatakan, IMF menyakini pihak berwenang China memiliki alat yang diperlukan untuk menangani kegagalan real estat yang sedang berlangsung. Tetapi sebagian besar tindakan yang telah diambil sejauh ini adalah mencoba menopang permintaan real estat.
IMF merekomendasikan China menangani kelebihan pasokan real estat untuk menyelesaikan masalah pasar. "Kami berharap bahwa begitu risiko ditangani, tidak akan menular ke sektor sekitarnya di China," sambungnya.
IMF mencatat dalam laporannya bahwa tekanan keuangan di sektor real estat bisa berakhir meluas ke seluruh sektor keuangan.
"Jika kekhawatiran tentang stabilitas keuangan di China memburuk, dampaknya dapat dirasakan di ekonomi pasar berkembang lainnya melalui volatilitas nilai tukar dan destabilisasi arus modal," bunyi laporan itu.
(akr)