Efek Perang di Gaza: Tenaga Kerja Susut, Ekonomi Israel Terancam

Senin, 27 November 2023 - 14:41 WIB
loading...
Efek Perang di Gaza: Tenaga Kerja Susut, Ekonomi Israel Terancam
Israel diperkirakan bisa menghadapi krisis makroekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat dampak serangannya ke Gaza. Foto/Ilustrasi/Reuters
A A A
JAKARTA - Perang yang dilancarkan Israel terhadap para pejuang Palestina di Gaza selama 45 hari telah menguras sumber daya ekonomi negara tersebut. Akibatnya, hingga tahun depan, negara zionis tersebut diramalkan bakal mengalami perlambatan ekonomi.

Israel memulai perangnya di Gaza dengan modal besar berupa cadangan sebesar USD200 miliar, plus bantuan militer bernilai miliaran dolar dari Amerika Serikat (AS). Namun menghadapi perlawanan sengit pejuang Palestina, sumber daya tersebut terkuras oleh biaya perang yang lebih besar dari perkiraan awal. Sementara pengeluaran meroket, negara zionis itu dibayangi merosotnya pendapatan dan naiknya biaya pinjaman.

Mengutip timesofisrael.com, perang dengan Hamas menghabiskan biaya setidaknya 1 miliar shekel atau sekitar USD269 juta (sekitar Rp4,328 triliun) per hari. Menurut laporan lembaga pemeringkat global Moody's, efek perang kali ini terhadap perekonomian Israel pun diperkirakan lebih besar dibandingkan konflik-konflik sebelumnya.



"Tingkat keparahan kerusakan ekonomi akan bergantung – pada tingkat yang penting – pada lamanya konflik militer dan juga pada prospek jangka panjang situasi keamanan dalam negeri Israel," kata Kathrin Muehlbronner, wakil presiden senior di Moody's, dalam sebuah pernyataan.

Kementerian Keuangan Israel seperti dikutip Reuters menyebutkan, perekonomian negara itu diperkirakan hanya akan tumbuh 2% pada tahun 2023, turun dari perkiraan sebelumnya, sebesar 2,7% akibat dampak perang dengan Hamas. Sementara untuk tahun 2024, pertumbuhan ekonominya diproyeksi hanya sebesar 1,6% dengan asumsi perang akan terus berlanjut. Bahkan, jika perang terus berlanjut hingga 2025 dengan pemulihan yang lebih lambat, pertumbuhan akan stagnan hanya 0,2%.

"Situasi perang ditandai dengan tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi, namun dampaknya terhadap perekonomian lebih dari sekedar insiden keamanan yang dialami Israel selama dua dekade terakhir," kata laporan tersebut.

Sementara itu, newsarab.com melaporkan, di sisi produksi, perekonomian Israel juga mengalami guncangan pasokan dramatis di pasar tenaga kerja, terutama karena semakin ketatnya pembatasan ketersediaan dan mobilitas pekerja. Diketahui, militer Israel telah memanggil 360.000 tentara cadangan tambahan, sekitar 8% dari angkatan kerja negara itu, untuk perang di Gaza. Pemanggilan itu menjadi salah satu mobilisasi militer terbesar dalam sejarah wilayah tersebut.

Karena dinas militer masih diwajibkan bagi warga Israel yang berusia 18 tahun ke atas, ribuan pekerja pun terpaksa harus meninggalkan pekerjaan mereka untuk bergabung di garis depan, seperti dalam kasus Divisi Sinai ke-252, di mana tingkat kehadiran tentara cadangan sebesar 120% dilaporkan oleh Israel.

Sekalipun Institut Asuransi Nasional memberikan penggantian kepada pemberi kerja atas tunjangan yang dibayarkan kepada pekerja yang dimasukkan ke dalam cadangan, biaya yang ditanggung pemberi kerja tetap sama dengan opportunity cost dari kontribusi langsung pekerja terhadap produksi dan penurunan produktivitas tenaga kerja.

Selain itu, perang juga telah mengakibatkan tidak ada atau kurang efisiennya kerja jarak jauh terhadap sekitar 520.000 orang tua yang bekerja, dengan ditutupnya sebagian atau seluruh sistem pendidikan dan tidak adanya 144.000 pekerja yang merupakan penduduk di daerah yang dievakuasi.

Akibatnya, Bank of Israel memperkirakan biaya mingguan ketidakhadiran karyawan selama lima minggu pertama perang Gaza adalah sebesar 6% dari produk domestik bruto (PDB) mingguan. Namun, angka ini belum mencerminkan dampak buruk keseluruhan pada sisi penawaran pasar tenaga kerja, karena angka ini hanya mengacu pada pekerja Israel dan tidak termasuk biaya yang timbul dari ketidakhadiran pekerja asing atau pekerja Palestina.

Terhambatnya kehadiran lebih dari 164.000 pekerja Palestina di Israel dan pemukiman Israel telah mengurangi produktivitas di sektor pertanian dan konstruksi real estat. Misalnya, sektor pertanian Israel kekurangan setidaknya 15.000 pekerja Palestina dan asing, karena pekerja Palestina dilarang atau diusir. Bersamaan dengan ini, terjadi juga perpindahan besar-besaran dari Israel yang mencakup 16,2% angkatan kerja yang terdiri dari imigran dan pekerja asing.

Di sisi permintaan agregat, guncangan eksternal juga menghambat penyerapan produksi dalam dan luar negeri. Hal ini diwujudkan dalam depresi konsumsi barang dan jasa swasta, ditambah dengan penurunan pendapatan rumah tangga yang siap dibelanjakan.



Penurunan konsumsi ini diperburuk oleh tekanan inflasi yang terus-menerus di Israel dan diperkuat oleh percepatan depresiasi nilai tukar shekel terhadap dolar AS yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak tanggal 9 Oktober.
Pada akhir Oktober, shekel mencapai titik terendah dalam 14 tahun.

Pada saat yang sama, Fitch Ratings, Moody’s Investors Service, dan S&P memperingatkan bahwa eskalasi konflik apa pun dapat mengakibatkan penurunan peringkat utang Israel. Terlebih lagi, premi risiko yang melekat pada suku bunga di pasar obligasi mulai mencerminkan iklim ketidakpastian yang terjadi di kawasan ini. Hal ini dinilai dapat menyebabkan stagnasi investasi, terutama karena peningkatan biaya modal, penurunan produktivitas, dan gangguan rantai pasokan.

Selain kekurangan tenaga kerja dan penurunan layanan dan konsumsi, sektor teknologi Israel juga terkena dampak besar. Menurut para ekonom, 10% pekerja Israel bekerja di sektor teknologi tinggi namun mereka bertanggung jawab atas 50% ekspor negara tersebut. Banyak dari pasukan cadangan yang dipanggil untuk bertugas adalah kaum muda, terpelajar, dan produktif.

Di sisi lain, kemungkinan melonjaknya anggaran militer turut membebani anggaran negara zionis tersebut. Pemerintah Israel pun harus merogoh kocek untuk rehabilitasi, bantuan, dan subsidi kepada perusahaan dan rumah tangga secara keseluruhan. Dengan kemungkinan adanya ruang fiskal yang diberikan untuk perang Israel, utang publik Israel bisa saja membengkak.

Guncangan ekonomi ganda pada sisi penawaran dan permintaan ini diperkirakan bisa menjadi krisis makroekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Israel. Sementara, para pemimpin politik Israel masih belum jelas mengenai tujuan atau lamanya konflik, sehingga dampak ekonomi yang ditimbulkan dinilai dapat menimbulkan dampak serius, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

(fjo)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1404 seconds (0.1#10.140)