Kejar Target Nol Emisi, Indonesia Tetap Butuh Batu Bara Pasca 2060
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kendati telah menetapkan target nol emisi (Net Zero Emission/NZE) pada 2060 dengan terus mendorong pengembangan energi baru terbarukan, batu bara diyakini masih berperan besar untuk memenuhi kebutuhan energi nasional di masa mendatang. Hal itu terungkap dalam dalam sarasehan bertajuk "Peran Strategis Batu Bara dalam Transisi Energi" di Jakarta, Jumat (15/12/2023).
Wakil Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) Ezra Leonard Sibarani dalam sarasehan tersebut mengatakan, salah satyu tantangan dalam transisi energi adalah biaya yang sangat besar, mencapai Rp3.500 triliun. Dana jumbo tersebut antara lain dibutuhkan untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara.
Di sisi lain, jelas Ezra, Indonesia memiliki sumber daya dan cadangan batu bara yang besar sekitar 99,19 miliar ton dan 35,02 miliar ton. Jika produksi batu bara diasumsikan mencapai 700 juta ton per tahun, kata dia, cadangan batu bara baru akan habis 47-50 tahun ke depan. Sementara, jika hanya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri yang diproyeksi sebesar 200 jutaan ton per tahun, umur cadangan batu bara bahkan bisa mencapai 150 tahun.
"Jadi masih panjang dan kalau kita melihat target NZE tahun 2060 berarti pada saat itu masih ada batu bara yang banyak. Nah ini mau diapakan?" tuturnya.
Di bagian lain, lanjut dia, pembangkit berbasis energi terbarukan masih relatif mahal. Namun, isu lingkungan dan energi bersih membuat batu bara seakan terpinggirkan. Padahal, kata dia, jika mengacu pada isu lingkungan, teknologi terkini telah menyediakan PLTU yang jauh lebih ramah lingkungan.
Karena itu, kata Ezra, IMA merekomendasikan pemerintah untuk tetap mempertimbangkan penggunaan batu bara pasca tahun 2060. Alasannya, selain memiliki cadangan berlimpah, harus diakui bahwa batu bara masih menjadi sumber energi yang paling murah. "Jadi konsepnya clean coal. Pemerintah bisa pertimbangkan hal ini, jadi yang dikurangi emisinya. Jangan terlalu cepat transisi sehingga apa yang kita punya tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Jangan juga sampai memberatkan keuangan negara," tandasnya.
Narasumber lainnya, SVP Pengembangan Batu Bara PLN EPI Eko Yuniarto mengatakan, sampai 2030 permintaan batu bara masih akan tumbuh, menjadi 153 juta ton. Namun, imbuh dia, paralel dengan itu PLN juga menerapkan co-firing menggunakan biomassa sehingga operasional PLTU lebih ramah lingkungan. "Jadi meski demand (batu bara) tumbuh, co-firing juga naik, green energy-nya juga naik," ungkapnya.
Pentingnya peram batu bara sebagai sumber energi yang terjangkau diakui oleh Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Lana Saria. Dia menjelaskan, pemanfaatan energi terbarukan saat ini baru sekitar 2% dari potensi yang ada, jauh di bawah batu bara yang mencapai 42,4%. "Jadi batu bara masih menjadi sumber energi utama, karena potensi batu bara masih sangat besar dibanding sumber energi lainnya," tuturnya.
Tidak hanya sebagai penopang sumber energi nasional, kata Lana, kontribusi batu bara juga cukup besar bagi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Bahkan, kontribusi batu bara merupakan yang terbesar dibandingkan komoditas mineral, seperti emas dan tembaga. "Hingga 11 Desember 2023, PNBP dari royalti batu bara mencapai Rp94,59 triliun melampaui target dalam PNBP 2023 sebesar Rp84,26 triliun," terangnya.
Wakil Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) Ezra Leonard Sibarani dalam sarasehan tersebut mengatakan, salah satyu tantangan dalam transisi energi adalah biaya yang sangat besar, mencapai Rp3.500 triliun. Dana jumbo tersebut antara lain dibutuhkan untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara.
Di sisi lain, jelas Ezra, Indonesia memiliki sumber daya dan cadangan batu bara yang besar sekitar 99,19 miliar ton dan 35,02 miliar ton. Jika produksi batu bara diasumsikan mencapai 700 juta ton per tahun, kata dia, cadangan batu bara baru akan habis 47-50 tahun ke depan. Sementara, jika hanya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri yang diproyeksi sebesar 200 jutaan ton per tahun, umur cadangan batu bara bahkan bisa mencapai 150 tahun.
"Jadi masih panjang dan kalau kita melihat target NZE tahun 2060 berarti pada saat itu masih ada batu bara yang banyak. Nah ini mau diapakan?" tuturnya.
Di bagian lain, lanjut dia, pembangkit berbasis energi terbarukan masih relatif mahal. Namun, isu lingkungan dan energi bersih membuat batu bara seakan terpinggirkan. Padahal, kata dia, jika mengacu pada isu lingkungan, teknologi terkini telah menyediakan PLTU yang jauh lebih ramah lingkungan.
Karena itu, kata Ezra, IMA merekomendasikan pemerintah untuk tetap mempertimbangkan penggunaan batu bara pasca tahun 2060. Alasannya, selain memiliki cadangan berlimpah, harus diakui bahwa batu bara masih menjadi sumber energi yang paling murah. "Jadi konsepnya clean coal. Pemerintah bisa pertimbangkan hal ini, jadi yang dikurangi emisinya. Jangan terlalu cepat transisi sehingga apa yang kita punya tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Jangan juga sampai memberatkan keuangan negara," tandasnya.
Narasumber lainnya, SVP Pengembangan Batu Bara PLN EPI Eko Yuniarto mengatakan, sampai 2030 permintaan batu bara masih akan tumbuh, menjadi 153 juta ton. Namun, imbuh dia, paralel dengan itu PLN juga menerapkan co-firing menggunakan biomassa sehingga operasional PLTU lebih ramah lingkungan. "Jadi meski demand (batu bara) tumbuh, co-firing juga naik, green energy-nya juga naik," ungkapnya.
Pentingnya peram batu bara sebagai sumber energi yang terjangkau diakui oleh Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Lana Saria. Dia menjelaskan, pemanfaatan energi terbarukan saat ini baru sekitar 2% dari potensi yang ada, jauh di bawah batu bara yang mencapai 42,4%. "Jadi batu bara masih menjadi sumber energi utama, karena potensi batu bara masih sangat besar dibanding sumber energi lainnya," tuturnya.
Tidak hanya sebagai penopang sumber energi nasional, kata Lana, kontribusi batu bara juga cukup besar bagi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Bahkan, kontribusi batu bara merupakan yang terbesar dibandingkan komoditas mineral, seperti emas dan tembaga. "Hingga 11 Desember 2023, PNBP dari royalti batu bara mencapai Rp94,59 triliun melampaui target dalam PNBP 2023 sebesar Rp84,26 triliun," terangnya.
(fjo)