Hidrogen Hijau PLN, Game Changer Transisi Energi Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Berbagai ikhtiar dilakukan untuk mempercepat proses transisi energi sebagai agenda nasional. Transisi energi yang sedang dilakukan di dalam negeri menjadi salah satu upaya menjaga ketahanan energi, memperluas akses terhadap energi bersih, dan mewujudkan ekonomi hijau .
Beragam energi non fosil kini menjadi alternatif dalam pencapaian transisi energi dengan target nol emisi pada 2060 atau lebih cepat. Salah satunya melalui green hydrogen atau hidrogen hijau yang diproduksi PT PLN (Persero) .
Melalui subholding PLN Nusantara Power, PLN mengembangkan Green Hidrogen Plant (GHP) pertama di Indonesia di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara.
GHP ini sepenuhnya bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan mampu memproduksi 51 ton hidrogen per tahun. Selain untuk kebutuhan internal PLN, hidrogen hijau yang dihasilkan akan digunakan sebagai bahan bakar di sektor transportasi.
“Bulan depan akan diresmikan Green Hydrogen Refueling Station pertama di kawasan Senayan,” ungkap Senior Manager Operasi dan Pemeliharaan PLN Indonesia Power Priok PGU, Romadhoni Sigit Prakosa kepad SINDOnews, kemarin.
Dengan dikembangkannya stasiun pengisian hidrogen hijau, diharapkan tercipta ekosistem transportasi yang lebih ramah lingkungan. Di Jakarta, selain di Senayan, stasiun pengisian hidrogen hijau akan dibangun di Kalideres, Pulogadung, Daan Mogot, Kuningan, Cililitan dan Cawang. ”Rencananya juga di Bandung,” imbuhnya.
Menurut Ramdhoni, hidrogen hijau yang dikembangkan PLN selain bisa dimanfaatkan untuk transportasi juga bisa digunakan untuk sektor lainnya yang membutuhan energi dalam jumlah besar.
“Green hidrogen ini sumber energi paling bersih, karena tak menghasilkan emisi. Bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi di banyak sektor. Dari sisi keekonomian, pembangunan infrastrukturnya lebih ekonomis,” ujarnya.
Karenanya, dia meyakini, hidrogen hijau yang dikembangkan PLN akan mampu mengakselerai proses transisi energi di dalam negeri. Terlebih, Indonesia memiliki sumber daya yang melimpah untuk memproduksi hidrogen hijau. “Ada panas bumi, juga tenaga surya,” sebutnya.
Sehingga, hidrogen hijau merupakan sumber energi bersih dari hulu hingga hilir, karena diproduksi dengan memanfaatkan panas bumi melalui Pembangkit Listrik tenaga Panas Bumi (PLTP) maupun tenaga surya melalui PLTS.
PLN sendiri, lanjut dia, saat ini menggunakan, hidrogen hijau untuk menekan emisi di sektor pembangkitan. “Tentu kedepan akan digunakan untuk sektor lainnya,”imbuhnya.
Selain di PLTGU Muara Karang, PLN juga mengembangkan GHP di PLTU Pangkalan Susu, PLTU Suralaya 1-7, PLTU Suralaya 8, PLTGU Cilegon, PLTU Labuhan, PLTU Lontar, PLTGU Tanjung Priok, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTGU Muara Tawar, PLTU Indramayu, PLTGU Tambak Lorok, PLTU Tanjung Jati B, PLTU Rembang, PLTU Tanjung Awar-awar, PLTGU Gresik, PLTG Pemaron, PLTU Paiton, PLTU Grati, PLTU Pacitan, dan PLTU Adipala.
Kepala Laboratorium Konvensi Energi Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) Agus Purwadi menilai, hidrogen hijau yang dikembangkan PLN akan menjadi game changer dalam transisi energi nasional.
“Hidrogen hijau bisa menjadi game changer. Karena sumber untuk memproduksi hidogen hijau ini tersebar,sehingga bisa lebih masif dimanfaatkan, khususnya sektor transportasi. Berbeda dengan electric vehicle (EV) sumber bahan baku baterainya terkonsentrasi,” terang Agus.
Agus pun meyakini, hidrogen hijau akan mengakselerasi proses transisi energi di dalam negeri. “Untuk kendaraan berat, kapal, kereta api yang selama ini membutuhkan konumsi BBM fosil yang besar bisa beralih menggunakan hidrogen hijau ini,” paparnya.
Dari sisi teknologi, adaptasi terhadap hidrogen hijau akan lebih cepat. Karena di beberapa negara, teknologi yang menyerap hidogen hijau sudah dikembangkan.
“Di Australia, Singapura, Malaysia, bahkan Brunei Darussalam hidrogen hijau ini sudah dimanfaatkan. Soal teknologi, bukan menjadi masalah besar,” tuturnya.
Menurut Agus, Indonesia memiliki potensi menjadi hub hidrogen hijau global karena memiliki modal kuat yakni sumber daya energi terbarukan yang melimpah.
Tak hanya dari panas bumi dan tenaga surya, potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) hidrogen juga berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Saat ini, PLTA banyak tersebar di Kalimantan Utara, Aceh, Sumatra Barat, Sumatera Utara, dan Papua.
Agus mengatakan, hidrogen hijau memiliki kelebihan yakni dapat disimpan dan dikonversi menjadi energi listrik dengan menggunakan fuel cell. Beberapa pabrikan mobil sudah mengembangkan kendaraan berteknologi fuel cell sejak 15 tahun terakhir.
“Hidrogen hijau sumber energi masa depan yang ramah lingkungan. Harus segera dimanfaatkan,” tegas Agus.
Pemerintah, kata dia, perlu segera membuat roadmap pengembangan hidogen hijau agar PLN bisa melakukan kolaborasi dengan pihak lain. “Sehingga ekosistemnya bisa lebih cepat terbentuk,”cetusnya.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menegaskan, pengembangan Green Hidrogen Plant merupakan inovasi yang terus dilakukan PLN dalam menjawab tantangan transisi energi. PLN, kata dia, terus berinovasi dalam menyediakan energi bersih bagi masyarakat.
“Kami melakukan inovasi dengan memanfaatkan 100% EBT menjadi green hydrogen,” kata Darmawan.
Hidrogen hijau yang dihasilkan PLN, diproduksi dengan menggunakan sumber dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang terdapat di area PLTGU Muara Karang. Selain dihasilkan dari PLTS, hidrogen hijau PLN juga berasal dari pembelian Renewable Energi Certificate (REC) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang.
Darmawan meyakini, hidrogen hijau PLN mampu menyumbang pengurangan emisi lebih besar. Dia memberikan contoh, emisi yang dikeluarkan kendaraan pembakaran internal dengan bahan bakar minyak (BBM) sebesar 2,4 kg CO2 untuk jarak 10 kilometer. Dengan menggunakan hidrogen hijau, emisinya nol. “Artinya bisa mengurangi emisi sebesar 1.920 ton CO2e per tahun,” ucap Darmawan.
Selain untuk kendaraan, hidrogen hijau bisa dimanfaatkan pada sektor industri seperti industri baja, produksi beton, serta pembuatan bahan kimia, dan pupuk.
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
PLN dinilai tak sekadar sebagai penyedia listrik saja. Lebih dari itu, PLN disebut menjadi pendorong perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. ”Energi hijau yang dipasok PLN menjadi salah satu sumber penggerak ekonomi nasional,” kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro.
Dia menambahkan, dari sektor kendaraan bermotor, hidrogen hijau cocok dengan karakteristik masyarakat Indonesia.
“Performa hidrogen hijau untuk mobil mirip dengan pembakaran internal (internal combustion engine) dengan energi BBM. Hidrogen karakteristiknya mendekati BBM, namun emisinya nol. Jika dihitung dari hulu sampai hilir, total emisinya juga lebih baik dibandingkan mobil listrik karena proses produksi energinya ramah lingkungan,” paparnya.
Komaidi menilai, hidrogen hijau berpeluang menciptakan ekonomi berkelanjutan dan memberikan nilai tambah bagi sektor lainnya. “Multiplier effect yang dihadirkan cukup besar. Di hulu bahan bakunya cukup besar impor energi akan berkurang. Bisa juga dimanfaatkan sektor pupuk, sehingga bisa menjaga ketahanan pangan,” paparnya.
Untuk sektor industri akan tercipta lapangan pekerjaan baru. Dengan ekosistem yang kuat, maka pabrikan mobil tak ragu untuk memproduksi mobil hidrogen di dalam negeri. Sejumlah pabrikan mobil pun kian gencar menguji kendaraan dengan bahan bakar hidrogen untuk diproduksi massal. Beberapa diantaranya Toyota dan Nissan, dan Hyundai.
“Indonesia memiliki peluang besar dalam pengembangan hidrogen hijau,” kata Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam.
Toyota, lanjut dia, melalui prinsipalnya, Toyota Motor Corp. (TMC) telah mengembangkan mobil hidrogen yakni Mirai yang merupakan kendaraan berbasis Fuell Cell Electric Vehicle (FCEV) dengan emisi nol sejak 2014.
Selain teknologi FCEV, Toyota tengah mengembangkan kendaraan dengan mesin pembakaran internal bertenaga hidrogen (Hydrogen Internal Combustion Engine/HICEV) yang menandai langkah baru dalam teknologi kendaran bermotor.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan, penggunaan hidrogen hijau akan membuat proses transisi energi lebih mudah.“Dari sisi teknologi kendaraan, tak terlalu rumit,” ungkapnya.
Hal itu lantaran hidrogen hijau bisa disematkan pada mobil pembakaran internal atau internal combustion engine (ICE) alias mobil konvensional dengan mengubah spesifikasinya.
“Sekarang bagaimana menyiapkan infrastrukturnya, menciptakan ekosistemnya. Ini yang harus dijalankan bersama, kolaborasi PLN dengan stakeholder lain,” paparnya.
Sedangkan, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yudo Dwinanda Priaadi memaparkan, hidrogen hijau merupakan bahan bakar alternatif masa depan yang menjadi salah satu pilar utama transisi energi nassional.
“Ke depan, hidrogen hijau ini adalah game changer dalam transisi energi,” tuturnya.
Pemerintah pun menegaskan komitemnnya untuk melakukan kajian dan merumusan kebijakan yang lebih komperhensif untuk mendorong hidrogen hijau semakin berkembang di Tanah Air. Yudo juga meyakini, di masa depan, kebutuhan hidrogen hijau terus meningkat. Tak hanya did alam negeri, tetapi juga di negara-negara lainnya terutama di kawasan Asia Tenggara.
Bahkan, lanjut Yudo, Singapura telah menyatakan akan menyerap produksi hidrogen hijau dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. “Pengembangan harus terus dilakukan, termasuk membangun storage,” tutupnya.
Beragam energi non fosil kini menjadi alternatif dalam pencapaian transisi energi dengan target nol emisi pada 2060 atau lebih cepat. Salah satunya melalui green hydrogen atau hidrogen hijau yang diproduksi PT PLN (Persero) .
Melalui subholding PLN Nusantara Power, PLN mengembangkan Green Hidrogen Plant (GHP) pertama di Indonesia di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara.
GHP ini sepenuhnya bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan mampu memproduksi 51 ton hidrogen per tahun. Selain untuk kebutuhan internal PLN, hidrogen hijau yang dihasilkan akan digunakan sebagai bahan bakar di sektor transportasi.
“Bulan depan akan diresmikan Green Hydrogen Refueling Station pertama di kawasan Senayan,” ungkap Senior Manager Operasi dan Pemeliharaan PLN Indonesia Power Priok PGU, Romadhoni Sigit Prakosa kepad SINDOnews, kemarin.
Dengan dikembangkannya stasiun pengisian hidrogen hijau, diharapkan tercipta ekosistem transportasi yang lebih ramah lingkungan. Di Jakarta, selain di Senayan, stasiun pengisian hidrogen hijau akan dibangun di Kalideres, Pulogadung, Daan Mogot, Kuningan, Cililitan dan Cawang. ”Rencananya juga di Bandung,” imbuhnya.
Menurut Ramdhoni, hidrogen hijau yang dikembangkan PLN selain bisa dimanfaatkan untuk transportasi juga bisa digunakan untuk sektor lainnya yang membutuhan energi dalam jumlah besar.
“Green hidrogen ini sumber energi paling bersih, karena tak menghasilkan emisi. Bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi di banyak sektor. Dari sisi keekonomian, pembangunan infrastrukturnya lebih ekonomis,” ujarnya.
Karenanya, dia meyakini, hidrogen hijau yang dikembangkan PLN akan mampu mengakselerai proses transisi energi di dalam negeri. Terlebih, Indonesia memiliki sumber daya yang melimpah untuk memproduksi hidrogen hijau. “Ada panas bumi, juga tenaga surya,” sebutnya.
Sehingga, hidrogen hijau merupakan sumber energi bersih dari hulu hingga hilir, karena diproduksi dengan memanfaatkan panas bumi melalui Pembangkit Listrik tenaga Panas Bumi (PLTP) maupun tenaga surya melalui PLTS.
PLN sendiri, lanjut dia, saat ini menggunakan, hidrogen hijau untuk menekan emisi di sektor pembangkitan. “Tentu kedepan akan digunakan untuk sektor lainnya,”imbuhnya.
Selain di PLTGU Muara Karang, PLN juga mengembangkan GHP di PLTU Pangkalan Susu, PLTU Suralaya 1-7, PLTU Suralaya 8, PLTGU Cilegon, PLTU Labuhan, PLTU Lontar, PLTGU Tanjung Priok, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTGU Muara Tawar, PLTU Indramayu, PLTGU Tambak Lorok, PLTU Tanjung Jati B, PLTU Rembang, PLTU Tanjung Awar-awar, PLTGU Gresik, PLTG Pemaron, PLTU Paiton, PLTU Grati, PLTU Pacitan, dan PLTU Adipala.
Kepala Laboratorium Konvensi Energi Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) Agus Purwadi menilai, hidrogen hijau yang dikembangkan PLN akan menjadi game changer dalam transisi energi nasional.
“Hidrogen hijau bisa menjadi game changer. Karena sumber untuk memproduksi hidogen hijau ini tersebar,sehingga bisa lebih masif dimanfaatkan, khususnya sektor transportasi. Berbeda dengan electric vehicle (EV) sumber bahan baku baterainya terkonsentrasi,” terang Agus.
Agus pun meyakini, hidrogen hijau akan mengakselerasi proses transisi energi di dalam negeri. “Untuk kendaraan berat, kapal, kereta api yang selama ini membutuhkan konumsi BBM fosil yang besar bisa beralih menggunakan hidrogen hijau ini,” paparnya.
Dari sisi teknologi, adaptasi terhadap hidrogen hijau akan lebih cepat. Karena di beberapa negara, teknologi yang menyerap hidogen hijau sudah dikembangkan.
“Di Australia, Singapura, Malaysia, bahkan Brunei Darussalam hidrogen hijau ini sudah dimanfaatkan. Soal teknologi, bukan menjadi masalah besar,” tuturnya.
Menurut Agus, Indonesia memiliki potensi menjadi hub hidrogen hijau global karena memiliki modal kuat yakni sumber daya energi terbarukan yang melimpah.
Tak hanya dari panas bumi dan tenaga surya, potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) hidrogen juga berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Saat ini, PLTA banyak tersebar di Kalimantan Utara, Aceh, Sumatra Barat, Sumatera Utara, dan Papua.
Agus mengatakan, hidrogen hijau memiliki kelebihan yakni dapat disimpan dan dikonversi menjadi energi listrik dengan menggunakan fuel cell. Beberapa pabrikan mobil sudah mengembangkan kendaraan berteknologi fuel cell sejak 15 tahun terakhir.
“Hidrogen hijau sumber energi masa depan yang ramah lingkungan. Harus segera dimanfaatkan,” tegas Agus.
Pemerintah, kata dia, perlu segera membuat roadmap pengembangan hidogen hijau agar PLN bisa melakukan kolaborasi dengan pihak lain. “Sehingga ekosistemnya bisa lebih cepat terbentuk,”cetusnya.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menegaskan, pengembangan Green Hidrogen Plant merupakan inovasi yang terus dilakukan PLN dalam menjawab tantangan transisi energi. PLN, kata dia, terus berinovasi dalam menyediakan energi bersih bagi masyarakat.
“Kami melakukan inovasi dengan memanfaatkan 100% EBT menjadi green hydrogen,” kata Darmawan.
Hidrogen hijau yang dihasilkan PLN, diproduksi dengan menggunakan sumber dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang terdapat di area PLTGU Muara Karang. Selain dihasilkan dari PLTS, hidrogen hijau PLN juga berasal dari pembelian Renewable Energi Certificate (REC) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang.
Darmawan meyakini, hidrogen hijau PLN mampu menyumbang pengurangan emisi lebih besar. Dia memberikan contoh, emisi yang dikeluarkan kendaraan pembakaran internal dengan bahan bakar minyak (BBM) sebesar 2,4 kg CO2 untuk jarak 10 kilometer. Dengan menggunakan hidrogen hijau, emisinya nol. “Artinya bisa mengurangi emisi sebesar 1.920 ton CO2e per tahun,” ucap Darmawan.
Selain untuk kendaraan, hidrogen hijau bisa dimanfaatkan pada sektor industri seperti industri baja, produksi beton, serta pembuatan bahan kimia, dan pupuk.
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
PLN dinilai tak sekadar sebagai penyedia listrik saja. Lebih dari itu, PLN disebut menjadi pendorong perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. ”Energi hijau yang dipasok PLN menjadi salah satu sumber penggerak ekonomi nasional,” kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro.
Dia menambahkan, dari sektor kendaraan bermotor, hidrogen hijau cocok dengan karakteristik masyarakat Indonesia.
“Performa hidrogen hijau untuk mobil mirip dengan pembakaran internal (internal combustion engine) dengan energi BBM. Hidrogen karakteristiknya mendekati BBM, namun emisinya nol. Jika dihitung dari hulu sampai hilir, total emisinya juga lebih baik dibandingkan mobil listrik karena proses produksi energinya ramah lingkungan,” paparnya.
Komaidi menilai, hidrogen hijau berpeluang menciptakan ekonomi berkelanjutan dan memberikan nilai tambah bagi sektor lainnya. “Multiplier effect yang dihadirkan cukup besar. Di hulu bahan bakunya cukup besar impor energi akan berkurang. Bisa juga dimanfaatkan sektor pupuk, sehingga bisa menjaga ketahanan pangan,” paparnya.
Untuk sektor industri akan tercipta lapangan pekerjaan baru. Dengan ekosistem yang kuat, maka pabrikan mobil tak ragu untuk memproduksi mobil hidrogen di dalam negeri. Sejumlah pabrikan mobil pun kian gencar menguji kendaraan dengan bahan bakar hidrogen untuk diproduksi massal. Beberapa diantaranya Toyota dan Nissan, dan Hyundai.
“Indonesia memiliki peluang besar dalam pengembangan hidrogen hijau,” kata Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam.
Toyota, lanjut dia, melalui prinsipalnya, Toyota Motor Corp. (TMC) telah mengembangkan mobil hidrogen yakni Mirai yang merupakan kendaraan berbasis Fuell Cell Electric Vehicle (FCEV) dengan emisi nol sejak 2014.
Selain teknologi FCEV, Toyota tengah mengembangkan kendaraan dengan mesin pembakaran internal bertenaga hidrogen (Hydrogen Internal Combustion Engine/HICEV) yang menandai langkah baru dalam teknologi kendaran bermotor.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan, penggunaan hidrogen hijau akan membuat proses transisi energi lebih mudah.“Dari sisi teknologi kendaraan, tak terlalu rumit,” ungkapnya.
Hal itu lantaran hidrogen hijau bisa disematkan pada mobil pembakaran internal atau internal combustion engine (ICE) alias mobil konvensional dengan mengubah spesifikasinya.
“Sekarang bagaimana menyiapkan infrastrukturnya, menciptakan ekosistemnya. Ini yang harus dijalankan bersama, kolaborasi PLN dengan stakeholder lain,” paparnya.
Sedangkan, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yudo Dwinanda Priaadi memaparkan, hidrogen hijau merupakan bahan bakar alternatif masa depan yang menjadi salah satu pilar utama transisi energi nassional.
“Ke depan, hidrogen hijau ini adalah game changer dalam transisi energi,” tuturnya.
Pemerintah pun menegaskan komitemnnya untuk melakukan kajian dan merumusan kebijakan yang lebih komperhensif untuk mendorong hidrogen hijau semakin berkembang di Tanah Air. Yudo juga meyakini, di masa depan, kebutuhan hidrogen hijau terus meningkat. Tak hanya did alam negeri, tetapi juga di negara-negara lainnya terutama di kawasan Asia Tenggara.
Bahkan, lanjut Yudo, Singapura telah menyatakan akan menyerap produksi hidrogen hijau dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. “Pengembangan harus terus dilakukan, termasuk membangun storage,” tutupnya.
(akr)