Penghapusan Pasal Jual Beli PLTS Atap Hindari Kerugian Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Persetujuan pemerintah terhadap revisi Peraturan Menteri No. 26 Tahun 2021 terkait penggunaan PLTS atap dinilai mampu menghindarkan negara dari berbagai bentuk kerugian secara masif, seperti yang dialami oleh Vietnam. Keuangan negara akan terbebani jika aturan tersebut tidak direvisi.
"Contoh Vietnam, gara-gara tidak berjalan lancar dan merugikan, negara tersebut menyetop PLTS atap mulai 2021 hingga 2030," ujar pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, di Jakarta, Kamis (15/2/2024).
Agus menjelaskan, keuangan negara akan tergerus saat negara harus membeli listrik dari PLTS atap. Namun dengan adanya revisi yang sudah disetujui presiden, negara tidak jadi buntung karena skema jual beli-listrik antara pemilik PLTS atap dengan negara telah dihapus.
Dia menambahkan Indonesia harus banyak belajar dari Vietnam yang APBN-nya sempat tergerus akibat penerapan PLTS atap. Saat itu, Vietnam sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang gencar memakai PLTS atap, akhirnya membatalkan regulasinya sendiri.
Sebagaimana diketahui, Vietnam, selama kurun waktu 1 tahun yaitu periode 2019–2020, terjadi penambahan kapasitas hampir 8 GW untuk PV Rooftop dan hampir 8 GW untuk solar farm. Namun, kondisi itu meninggalkan persoalan baru bagi sistem kelistrikan Vietnam, sehingga Vietnam Electricity/EVN selaku offtaker harus menanggung pil pahit itu.
"Perlu digarisbawahi, persetujuan pemerintah terkait dengan PLTS atap itu menyelesaikan banyak masalah. Terutama jual beli listrik hasil dari kelebihan pemasangan PLTS Atap oleh negara," kata Agus.
Pada aturan sebelumnya, negara akan banyak menanggung kerugian akibat harus mengompensasi kelebihan penggunaan listrik dari PLTS Atap, terutama yang dipasang di rumah-rumah. Untuk itu, Agus berharap, revisi aturan yang telah disetujui oleh pemerintah segera diundangkan untuk mengantisipasi risiko kerugian negara. "Ini penting agar negara tidak rugi," tandasnya.
Selain itu, intermintensi atau ketergantungan terhadap cuaca diakui menjadi salah satu kelemahan pembangkit listrik dari tenaga surya. Dengan demikian, kondisi ini mengganggu keandalan listrik sehingga kualitas layanan kepada masyarakat jadi tidak maksimal.
Menurut dia pembangunan dan pengembangan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan harus berlangsung tanpa membawa dampak yang berat untuk masyarakat dan negara. "Pada COP28 terakhir di Dubai, bahkan saya juga belum melihat negara maju serius menjalankan transisi energi ke EBT. Uni Eropa saja menyalakan lagi pembangkit listrik batu bara saat Rusia menyetop gas," pungkasnya.
"Contoh Vietnam, gara-gara tidak berjalan lancar dan merugikan, negara tersebut menyetop PLTS atap mulai 2021 hingga 2030," ujar pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, di Jakarta, Kamis (15/2/2024).
Agus menjelaskan, keuangan negara akan tergerus saat negara harus membeli listrik dari PLTS atap. Namun dengan adanya revisi yang sudah disetujui presiden, negara tidak jadi buntung karena skema jual beli-listrik antara pemilik PLTS atap dengan negara telah dihapus.
Dia menambahkan Indonesia harus banyak belajar dari Vietnam yang APBN-nya sempat tergerus akibat penerapan PLTS atap. Saat itu, Vietnam sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang gencar memakai PLTS atap, akhirnya membatalkan regulasinya sendiri.
Sebagaimana diketahui, Vietnam, selama kurun waktu 1 tahun yaitu periode 2019–2020, terjadi penambahan kapasitas hampir 8 GW untuk PV Rooftop dan hampir 8 GW untuk solar farm. Namun, kondisi itu meninggalkan persoalan baru bagi sistem kelistrikan Vietnam, sehingga Vietnam Electricity/EVN selaku offtaker harus menanggung pil pahit itu.
"Perlu digarisbawahi, persetujuan pemerintah terkait dengan PLTS atap itu menyelesaikan banyak masalah. Terutama jual beli listrik hasil dari kelebihan pemasangan PLTS Atap oleh negara," kata Agus.
Pada aturan sebelumnya, negara akan banyak menanggung kerugian akibat harus mengompensasi kelebihan penggunaan listrik dari PLTS Atap, terutama yang dipasang di rumah-rumah. Untuk itu, Agus berharap, revisi aturan yang telah disetujui oleh pemerintah segera diundangkan untuk mengantisipasi risiko kerugian negara. "Ini penting agar negara tidak rugi," tandasnya.
Selain itu, intermintensi atau ketergantungan terhadap cuaca diakui menjadi salah satu kelemahan pembangkit listrik dari tenaga surya. Dengan demikian, kondisi ini mengganggu keandalan listrik sehingga kualitas layanan kepada masyarakat jadi tidak maksimal.
Menurut dia pembangunan dan pengembangan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan harus berlangsung tanpa membawa dampak yang berat untuk masyarakat dan negara. "Pada COP28 terakhir di Dubai, bahkan saya juga belum melihat negara maju serius menjalankan transisi energi ke EBT. Uni Eropa saja menyalakan lagi pembangkit listrik batu bara saat Rusia menyetop gas," pungkasnya.
(nng)