Ekosistem Tembakau Minta Tak Ada Kenaikan Cukai Tahun Depan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bakal naiknya pajak rokok yang berbarengan dengan kenaikan cukai di tahun depan menjadi pukulan berat pengusaha, konsumen, dan pelaku industri termasuk para pekerja dan petani tembakau . Kondisi ini menimbulkan kecemasan ekosistem tembakau karena keputusan pengenaan tarif cukai dan pajak rokok di tahun depan dinilai sangat menentukan nasib semua pihak yang memiliki mata pencaharian industri ini.
Setelah menaikkan tarif cukai rata-rata sebesar 10% di 2024, pemerintah mengesahkan aturan UU PPN s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang berimbas kepada tarif PPN atas rokok akan naik menjadi 10,7%, dari sebelumnya sebesar 9,9%. Hal ini seiring dengan kenaikan tarif umum PPN dari semula 11% menjadi 12% pada tahun 2025 sesuai aturan Harmonisasi Perpajakan tersebut.
Merespons kondisi tersebut, pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menjelaskan, jika Cukai Hasil Tembakau (CHT) tetap dinaikkan sudah pasti target penerimaan cukai tidak akan tercapai kembali. Lantaran kondisi tersebut tidak terbukti efektif mengurangi perokok, namun membuka peluang masyarakat beralih ke harga rokok yang lebih terjangkau, termasuk membeli rokok ilegal.
“Tahun lalu saja jelas penerimaan cukai rokok ini tidak tercapai. Jadi seharusnya pemerintah konsisten saja dengan sistem tersebut sehingga cukai rokok tidak perlu dinaikkan kembali,” ujar Ronny kepada media.
Sebelumnya Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menjelaskan, fenomena downtrading (peralihan konsumsi rokok dengan harga lebih murah) biasanya terjadi setelah kenaikan cukai diberlakukan. Perubahan perilaku konsumsi tersebut pada akhirnya turut mempengaruhi penerimaan CHT.
Dengan demikian, dia mengimbau agar pemerintah juga mengambil sikap yang lebih bijak dengan melakukan peningkatan pengawasan atas konsumsi rokok untuk menekan angka prevalensi, yang merupakan target pemerintah, serta melakukan penegakan hukum terhadap rokok ilegal.
“Fungsi Pemerintah untuk sosialisasi ke masyarakat soal dampak cukai rokok yang naik juga sangat penting. Jangan sampai cukai rokok naik masyarakat menjadi ribut karena imbasnya pada harga rokok yang akan mereka bayarkan. Makanya literasi ini juga harus diterima oleh masyarakat,” imbaunya
Ikut menyuarakan keresahannya, kelompok petani dan pekerja tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) meminta Pemerintah untuk mengambil keputusan yang adil khususnya terkait rencana kenaikan cukai 2025.
“Ketika industri rokok turun maka ada dua dampak yang akan dirasakan. Pertama akan terjadi PHK yang dampaknya adanya pengangguran dan kondisi ekonominya pun semakin susah. Kedua tentunya produksi tembakau para petani akan sulit terserap,” pinta Wakil Ketua Umum IV APTI Samukrah
Benar saja, dalam rentang tiga tahun sejak 2019, populasi sejumlah pabrik rokok semakin tergerus dimana dari 4.700 lebih pabrik menjadi hanya 1.000-an di tahun 2021. Dampak yang lebih terasa pada pabrik golongan tier1 sebagai penyumbang 86% cukai yang saat ini hanya tersisa 4 dari sebelumnya 7 pabrik.
Dengan demikian, menurunnya jumlah pabrikan tentu akan berdampak terhadap serapan panen tembakau yang dihasilkan petani. Alhasil, sumber ekonomi keseharian mereka pun akan ikut terganggu.
Samukrah dengan tegas meminta kepada Pemerintah agar tarif cukai rokok tidak dinaikkan setiap tahunnya. Bahkan pihaknya juga sudah mengirimkan surat kepada ketiga bakal Capres sebelumnya agar saat terpilih dapat lebih memperhatikan keberlangsungan industri tembakau ini, termasuk kepada Capres dan Cawapres terpilih saat ini. Namun belum ada tanggapan lebih lanjut dari surat yang dikirimkan tersebut.
“Saat ini kita tidak bisa spesifik menyebut hanya IHT yang akan terdampak kenaikan cukai, namun juga bagi seluruh ekosistem tembakau, yang artinya ketika salah satu pihak di dalamnya dirugikan maka juga akan berdampak terhadap semua yang ada dalam rantai eksosistem tersebut,” jelasnya.
Sama halnya dengan kondisi di pekerja tembakau, lewat momentum Hari Buruh beberapa waktu lalu, Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS menegaskan, bahwa keberlangsungan tenaga kerja sangat bergantung terhadap sikap pemerintah yang bertanggung jawab atas kewenangannya. Termasuk mengantisipasi kenaikan cukai di tahun 2025 sesuai realitas, situasi, dan kondisi dalam negeri dan ketenagakerjaan saat ini.
Hingga saat ini, kata dia, terdapat 147 ribu pekerja tembakau yang tergabung di RTMM dan akan terdampak apabila penerapan regulasi semakin ketat mulai dari kebijakan cukai hingga aturan RPP Kesehatan yang akan disahkan.
“Kami memahami bahwa untuk membantu mensejahterakan para pekerja yang adalah anggota kami, kami juga harus paham dengan kondisi industrinya. (Untuk itu) Kami meminta adanya kepedulian pemerintah dalam menjamin berbagi hal-hal baik, bukan hanya memikirkan pemasukan negara tanpa melihat tenaga kerja dan industri yang terdampak, termasuk dari sisi penjualannya juga produksi," ungkapnya.
Setelah menaikkan tarif cukai rata-rata sebesar 10% di 2024, pemerintah mengesahkan aturan UU PPN s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang berimbas kepada tarif PPN atas rokok akan naik menjadi 10,7%, dari sebelumnya sebesar 9,9%. Hal ini seiring dengan kenaikan tarif umum PPN dari semula 11% menjadi 12% pada tahun 2025 sesuai aturan Harmonisasi Perpajakan tersebut.
Merespons kondisi tersebut, pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menjelaskan, jika Cukai Hasil Tembakau (CHT) tetap dinaikkan sudah pasti target penerimaan cukai tidak akan tercapai kembali. Lantaran kondisi tersebut tidak terbukti efektif mengurangi perokok, namun membuka peluang masyarakat beralih ke harga rokok yang lebih terjangkau, termasuk membeli rokok ilegal.
“Tahun lalu saja jelas penerimaan cukai rokok ini tidak tercapai. Jadi seharusnya pemerintah konsisten saja dengan sistem tersebut sehingga cukai rokok tidak perlu dinaikkan kembali,” ujar Ronny kepada media.
Baca Juga
Sebelumnya Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menjelaskan, fenomena downtrading (peralihan konsumsi rokok dengan harga lebih murah) biasanya terjadi setelah kenaikan cukai diberlakukan. Perubahan perilaku konsumsi tersebut pada akhirnya turut mempengaruhi penerimaan CHT.
Dengan demikian, dia mengimbau agar pemerintah juga mengambil sikap yang lebih bijak dengan melakukan peningkatan pengawasan atas konsumsi rokok untuk menekan angka prevalensi, yang merupakan target pemerintah, serta melakukan penegakan hukum terhadap rokok ilegal.
“Fungsi Pemerintah untuk sosialisasi ke masyarakat soal dampak cukai rokok yang naik juga sangat penting. Jangan sampai cukai rokok naik masyarakat menjadi ribut karena imbasnya pada harga rokok yang akan mereka bayarkan. Makanya literasi ini juga harus diterima oleh masyarakat,” imbaunya
Ikut menyuarakan keresahannya, kelompok petani dan pekerja tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) meminta Pemerintah untuk mengambil keputusan yang adil khususnya terkait rencana kenaikan cukai 2025.
“Ketika industri rokok turun maka ada dua dampak yang akan dirasakan. Pertama akan terjadi PHK yang dampaknya adanya pengangguran dan kondisi ekonominya pun semakin susah. Kedua tentunya produksi tembakau para petani akan sulit terserap,” pinta Wakil Ketua Umum IV APTI Samukrah
Benar saja, dalam rentang tiga tahun sejak 2019, populasi sejumlah pabrik rokok semakin tergerus dimana dari 4.700 lebih pabrik menjadi hanya 1.000-an di tahun 2021. Dampak yang lebih terasa pada pabrik golongan tier1 sebagai penyumbang 86% cukai yang saat ini hanya tersisa 4 dari sebelumnya 7 pabrik.
Dengan demikian, menurunnya jumlah pabrikan tentu akan berdampak terhadap serapan panen tembakau yang dihasilkan petani. Alhasil, sumber ekonomi keseharian mereka pun akan ikut terganggu.
Samukrah dengan tegas meminta kepada Pemerintah agar tarif cukai rokok tidak dinaikkan setiap tahunnya. Bahkan pihaknya juga sudah mengirimkan surat kepada ketiga bakal Capres sebelumnya agar saat terpilih dapat lebih memperhatikan keberlangsungan industri tembakau ini, termasuk kepada Capres dan Cawapres terpilih saat ini. Namun belum ada tanggapan lebih lanjut dari surat yang dikirimkan tersebut.
“Saat ini kita tidak bisa spesifik menyebut hanya IHT yang akan terdampak kenaikan cukai, namun juga bagi seluruh ekosistem tembakau, yang artinya ketika salah satu pihak di dalamnya dirugikan maka juga akan berdampak terhadap semua yang ada dalam rantai eksosistem tersebut,” jelasnya.
Sama halnya dengan kondisi di pekerja tembakau, lewat momentum Hari Buruh beberapa waktu lalu, Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS menegaskan, bahwa keberlangsungan tenaga kerja sangat bergantung terhadap sikap pemerintah yang bertanggung jawab atas kewenangannya. Termasuk mengantisipasi kenaikan cukai di tahun 2025 sesuai realitas, situasi, dan kondisi dalam negeri dan ketenagakerjaan saat ini.
Hingga saat ini, kata dia, terdapat 147 ribu pekerja tembakau yang tergabung di RTMM dan akan terdampak apabila penerapan regulasi semakin ketat mulai dari kebijakan cukai hingga aturan RPP Kesehatan yang akan disahkan.
“Kami memahami bahwa untuk membantu mensejahterakan para pekerja yang adalah anggota kami, kami juga harus paham dengan kondisi industrinya. (Untuk itu) Kami meminta adanya kepedulian pemerintah dalam menjamin berbagi hal-hal baik, bukan hanya memikirkan pemasukan negara tanpa melihat tenaga kerja dan industri yang terdampak, termasuk dari sisi penjualannya juga produksi," ungkapnya.
(akr)