Miliki Potensi 23.765 MW, Industri Panas Bumi Punya Peran Penting bagi Indonesia
loading...
A
A
A
"Pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi juga berpotensi memberikan manfaat positif terhadap kondisi makro moneter Indonesia. Dengan asumsi rata-rata harga minyak mentah USD100 per barel, konversi seluruh PLTD di Indonesia dengan PLTP dapat menghemat devisa impor migas sekitar USD6,07 miliar setiap tahunnya. Penghematan tersebut akan memberikan manfaat positif terhadap kondisi neraca perdagangan dan peningkatan nilai tukar rupiah," tambahnya.
Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, berdasarkan dokumen kebijakan yang ada, panas bumi tampak belum menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi. RUPTL 2021-2030 menetapkan target tambahan pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) sampai tahun 2030 adalah 20,9 GW. Sekitar 66% dari target tambahan kapasitas tersebut akan berasal dari PLTA dan PLT Surya masing-masing sebesar 9,2 GW dan 4,6 GW. Sementara kapasitas pembangkit panas bumi direncanakan hanya akan bertambah sekitar 3,4 GW atau 16% dari total tambahan pembangkit EBET.
Relatif sama dengan RUPTL 2021–2030, target pemanfaatan panas bumi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga tampak tidak menjadi prioritas utama. Penambahan kapasitas pembangkit EBET dalam dokumen KEN difokuskan pada pembangkit bioenergi, PLTA dan PLT Surya. Sampai dengan tahun 2050, kapasitas pembangkit dari ketiganya ditargetkan masing–masing sebesar 26 GW, 38 GW dan 45 GW. Sementara pada periode yang sama kapasitas pembangkit listrik panas bumi ditargetkan sebesar 17,5 GW.
Belum dijadikannya energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi menurut dia karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya. Berdasarkan review, terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi oleh pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia, di antaranya risiko kegagalan eksplorasi; risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi; hambatan regulasi dan tatakelola; kebutuhan modal awal yang cukup besar; durasi pengembangan relatif lama; dan lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.
"Sejumlah kendala tersebut menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia dinilai masih relatif mahal," katanya.
Terkait dengan itu, Komaidi mengatakan bahwa permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara yang lain pada dasarnya juga relatif sama. Akan tetapi, dengan terobosan kebijakan yang dilakukan, sejumlah negara tercatat berhasil mendorong harga listrik panas bumi menjadi kompetitif bahkan lebih murah dari rata-rata BPP listrik nasional negara yang bersangkutan.
Komaidi merujuk pada Amerika Serikat; Kenya; Islandia; (4) Selandia Baru; dan Meksiko di antara negara yang telah berhasil dalam pengembangan panas buminya. Kenya dan Islandia menurutnya tercatat sebagai negara yang cukup serius dalam mengembangkan dan mengusahakan energi panas bumi. Porsi produksi listrik panas bumi dari Kenya dan Islandia pada 2023 masing-masing mencapai 29% dan 26% dari total produksi listriknya.
Bahkan, negara tetangga Filipina juga tercatat cukup serius dalam pengembangan dan pengusahaan energi panas bumi. Meskipun harga listrik panas bumi di Filipina tercatat masih lebih tinggi dari rata-rata BPP listrik nasional, perkembangan listrik panas bumi di negara tersebut cukup signifikan. Kapasitas terpasang listrik panas bumi Filipina pada tahun 2023 dilaporkan mencapai 48% dari total sumber daya panas bumi yang mereka miliki.
Mengingat ketersediaan sumber daya yang besar dan sejumlah potensi manfaat yang akan diperoleh, menurut Komaidi, memformulasikan dan mengimplementasikan terobosan kebijakan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi perlu dilakukan oleh para stakeholder pengambil kebijakan. "Sejumlah terobosan kebijakan yang dilakukan oleh Kenya, Islandia, dan Filipina yang telah terbukti berhasil meningkatkan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi pada masing-masing negara tersebut. Ini kiranya dapat dijadikan sebagai lesson learn untuk pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia," pungkasnya.
Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, berdasarkan dokumen kebijakan yang ada, panas bumi tampak belum menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi. RUPTL 2021-2030 menetapkan target tambahan pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) sampai tahun 2030 adalah 20,9 GW. Sekitar 66% dari target tambahan kapasitas tersebut akan berasal dari PLTA dan PLT Surya masing-masing sebesar 9,2 GW dan 4,6 GW. Sementara kapasitas pembangkit panas bumi direncanakan hanya akan bertambah sekitar 3,4 GW atau 16% dari total tambahan pembangkit EBET.
Relatif sama dengan RUPTL 2021–2030, target pemanfaatan panas bumi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga tampak tidak menjadi prioritas utama. Penambahan kapasitas pembangkit EBET dalam dokumen KEN difokuskan pada pembangkit bioenergi, PLTA dan PLT Surya. Sampai dengan tahun 2050, kapasitas pembangkit dari ketiganya ditargetkan masing–masing sebesar 26 GW, 38 GW dan 45 GW. Sementara pada periode yang sama kapasitas pembangkit listrik panas bumi ditargetkan sebesar 17,5 GW.
Belum dijadikannya energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi menurut dia karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya. Berdasarkan review, terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi oleh pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia, di antaranya risiko kegagalan eksplorasi; risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi; hambatan regulasi dan tatakelola; kebutuhan modal awal yang cukup besar; durasi pengembangan relatif lama; dan lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.
"Sejumlah kendala tersebut menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia dinilai masih relatif mahal," katanya.
Terkait dengan itu, Komaidi mengatakan bahwa permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara yang lain pada dasarnya juga relatif sama. Akan tetapi, dengan terobosan kebijakan yang dilakukan, sejumlah negara tercatat berhasil mendorong harga listrik panas bumi menjadi kompetitif bahkan lebih murah dari rata-rata BPP listrik nasional negara yang bersangkutan.
Komaidi merujuk pada Amerika Serikat; Kenya; Islandia; (4) Selandia Baru; dan Meksiko di antara negara yang telah berhasil dalam pengembangan panas buminya. Kenya dan Islandia menurutnya tercatat sebagai negara yang cukup serius dalam mengembangkan dan mengusahakan energi panas bumi. Porsi produksi listrik panas bumi dari Kenya dan Islandia pada 2023 masing-masing mencapai 29% dan 26% dari total produksi listriknya.
Bahkan, negara tetangga Filipina juga tercatat cukup serius dalam pengembangan dan pengusahaan energi panas bumi. Meskipun harga listrik panas bumi di Filipina tercatat masih lebih tinggi dari rata-rata BPP listrik nasional, perkembangan listrik panas bumi di negara tersebut cukup signifikan. Kapasitas terpasang listrik panas bumi Filipina pada tahun 2023 dilaporkan mencapai 48% dari total sumber daya panas bumi yang mereka miliki.
Mengingat ketersediaan sumber daya yang besar dan sejumlah potensi manfaat yang akan diperoleh, menurut Komaidi, memformulasikan dan mengimplementasikan terobosan kebijakan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi perlu dilakukan oleh para stakeholder pengambil kebijakan. "Sejumlah terobosan kebijakan yang dilakukan oleh Kenya, Islandia, dan Filipina yang telah terbukti berhasil meningkatkan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi pada masing-masing negara tersebut. Ini kiranya dapat dijadikan sebagai lesson learn untuk pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia," pungkasnya.