Rupiah Sedikit Menguat, Hati-hati Bisa Tembus Rp17.000 per USD
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar (kurs) rupiah pada perdagangan hari ini kembali ditutup menguat tipis 7 poin atau 0,05 persen ke level Rp16.405 setelah sebelumnya di Rp16.413 per USD. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah sempat dibuka pada level Rp16.424 per USD.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar AS menguat didorong arus masuk ke dolar terutama didorong oleh antisipasi data indeks harga PCE, yang akan dirilis pada hari Jumat. Angka tersebut merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed, dan diperkirakan akan menjadi faktor dalam sikap bank sentral terhadap suku bunga.
"Data PCE diperkirakan menunjukkan inflasi sedikit menurun pada bulan Mei, namun tetap berada di atas target tahunan The Fed sebesar 2 persen. Inflasi yang stagnan memberi The Fed lebih banyak ruang untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama sebuah skenario yang berdampak buruk bagi emas dan logam mulia," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (27/6/2024).
Komentar hawkish dari pejabat Fed juga memperkuat ekspektasi akan tingginya suku bunga dalam beberapa sesi terakhir. Suku bunga yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya peluang (opportunity cost) dalam berinvestasi pada aset-aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding), dan membuat para pedagang menjadi lebih bias terhadap dolar dan utang AS.
Sebelumnya, gubernur Fed Michelle Bowman mengatakan bank sentral AS kemungkinan akan mempertahankan suku bunga stabil "untuk beberapa waktu" dalam upaya membantu mengendalikan "peningkatan" inflasi, dan menambahkan bahwa ia tidak memperkirakan bank sentral akan melakukan hal yang sama. memotong biaya pinjaman pada tahun 2024.
Bowman yang biasanya dipandang sebagai salah satu tokoh The Fed yang bersuara lebih hawkish, menyatakan bahwa penurunan suku bunga belum “pantas” dilakukan, dan menambahkan bahwa ia tetap “bersedia” untuk menaikkan suku bunga lebih jauh jika kemajuan dalam upaya mengendalikan inflasi terhenti atau berbalik arah.
Dari sentimen domestik, dalam menghadapi kondisi yang tak menentu, para ekonom mengingatkan kepada Pemerintah, Bank Indonesia dan pihak berwenang lainnya untuk ekstra hati-hati dalam mengawal mata uang rupiah, yang saat ini sudah tembus level psikologis di atas Rp16.400 per USD.
Terlepas dari level tersebut, pemerintah dan otoritas moneter untuk tidak membiarkan kurs rupiah tembus di level Rp16.500 per USD, karena level tersebut merupakan level yang sangat kritis sehingga akan terus mengakumulasi sentimen negatif pelaku pasar keuangan dari yang sudah bermunculan saat ini, sehingga sulit dijinakkan dan berpotensi merosot sampai Rp17.000 per dolar AS.
Selain itu, sikap hawkish The Fed yang menyebabkan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi AS dan sekaligus memberikan tekanan kepada negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. Konflik geopolitik di Timur Tengah dan Eropa yang berkepanjangan, perang dagang AS, UE dengan Tiongkok serta panasnya pilpres di AS menjadi salah satu faktor penekan mata uang rupiah yang porsinya cukup tinggi.
Selain itu, terdapat data-data ekonomi domestik yang mempengaruhi sentimen pasar, diantaranya defisit transaksi berjalan RI yang mengalami kenaikan dari USD1,1 miliar menjadi USD2,2 miliar pada kuartal pertama 2024, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur RI turun dari 52,9 menjadi 52,1 pada Mei 2024 dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) RI turun dari 127,7 menjadi sebesar 125,2 pada Mei 2024.
Adapun faktor lainnya melingkupi peningkatan kepemilikan investor terhadap instrumen-instrumen lain seperti SBN, SBSN, dan SRBI, penurunan peringkat saham Indonesia oleh Morgan Stanley, volatilitas harga saham-saham tertentu, dan lainnya. Berdasarkan data diatas, mata uang rupiah untuk perdagangan berikutnya diprediksi bergerak fluktuatif, namun kembali ditutup melemah di rentang Rp16.390 - Rp16.450.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar AS menguat didorong arus masuk ke dolar terutama didorong oleh antisipasi data indeks harga PCE, yang akan dirilis pada hari Jumat. Angka tersebut merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed, dan diperkirakan akan menjadi faktor dalam sikap bank sentral terhadap suku bunga.
"Data PCE diperkirakan menunjukkan inflasi sedikit menurun pada bulan Mei, namun tetap berada di atas target tahunan The Fed sebesar 2 persen. Inflasi yang stagnan memberi The Fed lebih banyak ruang untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama sebuah skenario yang berdampak buruk bagi emas dan logam mulia," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (27/6/2024).
Komentar hawkish dari pejabat Fed juga memperkuat ekspektasi akan tingginya suku bunga dalam beberapa sesi terakhir. Suku bunga yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya peluang (opportunity cost) dalam berinvestasi pada aset-aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding), dan membuat para pedagang menjadi lebih bias terhadap dolar dan utang AS.
Sebelumnya, gubernur Fed Michelle Bowman mengatakan bank sentral AS kemungkinan akan mempertahankan suku bunga stabil "untuk beberapa waktu" dalam upaya membantu mengendalikan "peningkatan" inflasi, dan menambahkan bahwa ia tidak memperkirakan bank sentral akan melakukan hal yang sama. memotong biaya pinjaman pada tahun 2024.
Bowman yang biasanya dipandang sebagai salah satu tokoh The Fed yang bersuara lebih hawkish, menyatakan bahwa penurunan suku bunga belum “pantas” dilakukan, dan menambahkan bahwa ia tetap “bersedia” untuk menaikkan suku bunga lebih jauh jika kemajuan dalam upaya mengendalikan inflasi terhenti atau berbalik arah.
Dari sentimen domestik, dalam menghadapi kondisi yang tak menentu, para ekonom mengingatkan kepada Pemerintah, Bank Indonesia dan pihak berwenang lainnya untuk ekstra hati-hati dalam mengawal mata uang rupiah, yang saat ini sudah tembus level psikologis di atas Rp16.400 per USD.
Terlepas dari level tersebut, pemerintah dan otoritas moneter untuk tidak membiarkan kurs rupiah tembus di level Rp16.500 per USD, karena level tersebut merupakan level yang sangat kritis sehingga akan terus mengakumulasi sentimen negatif pelaku pasar keuangan dari yang sudah bermunculan saat ini, sehingga sulit dijinakkan dan berpotensi merosot sampai Rp17.000 per dolar AS.
Selain itu, sikap hawkish The Fed yang menyebabkan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi AS dan sekaligus memberikan tekanan kepada negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. Konflik geopolitik di Timur Tengah dan Eropa yang berkepanjangan, perang dagang AS, UE dengan Tiongkok serta panasnya pilpres di AS menjadi salah satu faktor penekan mata uang rupiah yang porsinya cukup tinggi.
Selain itu, terdapat data-data ekonomi domestik yang mempengaruhi sentimen pasar, diantaranya defisit transaksi berjalan RI yang mengalami kenaikan dari USD1,1 miliar menjadi USD2,2 miliar pada kuartal pertama 2024, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur RI turun dari 52,9 menjadi 52,1 pada Mei 2024 dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) RI turun dari 127,7 menjadi sebesar 125,2 pada Mei 2024.
Adapun faktor lainnya melingkupi peningkatan kepemilikan investor terhadap instrumen-instrumen lain seperti SBN, SBSN, dan SRBI, penurunan peringkat saham Indonesia oleh Morgan Stanley, volatilitas harga saham-saham tertentu, dan lainnya. Berdasarkan data diatas, mata uang rupiah untuk perdagangan berikutnya diprediksi bergerak fluktuatif, namun kembali ditutup melemah di rentang Rp16.390 - Rp16.450.
(nng)