Ekonom Ini Ramal IHSG Tembus 7.000 di Akhir 2021, Lebaykah?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Momen liburan yang cukup panjang banyak dikeluhkan investor pasar modal . Namun ternyata momen itu tidak berdampak negatif pada pada bursa saham. Malah sebaliknya, kepadatan lalu lintas sepanjang liburan menunjukkan sinyal perbaikan ekonomi.
"Libur tidak mengubah fundamental ekonomi. Ini juga sudah diagendakan dan diumumkan sebelumnya. Selain itu juga tidak ada sentimen yang negatif," ujar Ferry Latuhihin, Chief Economist Tanamduit, Sabtu (22/8/2020).
Menurutnya, sepanjang libur panjang ini kendaraan cukup padat di tol seperti kondisi mudik Lebaran. Ini indikasi bahwa ekonomi nasional dalam kondisi baik sehingga memberi sinyal akan ada pertumbuhan di kuartal ketiga tahun ini.
"Pemerintah juga sudah menegur instansi-instansi yang terlambat mengucurkan dana penyelamatan ekonomi. Mudah-mudahan setelah libur ini dana itu mengucur lebih deras sehingga dapat mempercepat recovery," ujarnya.
Lebih lanjut dirinya mengaku masih optimistis bahwa perekonomian di sepanjang 2020 masih tumbuh positif sebesar kurang lebih 1,5%. Sedangkan untuk IHSG akan menuju 6.000 di akhir tahun ini.
"Outlook ke depan tentu lebih baik. Saya perkirakan pertumbuhan ekonomi di 2021 mencapai angka 6%. Karena tingginya pent-up demand atau konsumsi yang tertunda," ujarnya.
Dia juga memproyeksikan tingkat investasi asing langsung kemungkinan melonjak. Hal ini akibat pandemi Corona yang menjadi game changer dalam arah ekonomi global.
"Prediksi saya IHSG ke 7.000 di akhir 2021. Kebijakan pemerintah dan BI sudah tepat dalam melawan efek pandemi ini," ujarnya. ( Baca juga:Permintaan Rumah Subsidi Naik Gila-Gilaan, Pertanda Apa? )
Sementara itu, Director & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula menilai, sejauh ini pasar menerima dengan positif kebijakan burden sharing antara pemerintah dan BI.
"Karena skema ini memungkinkan pembiayaan defisit tanpa memberi tekanan berlebih di pasar obligasi. Di saat yang sama juga mengurangi beban pemerintah," ujar Ezra.
Obligasi yang dikeluarkan dalam skema ini bisa diperdagangkan di pasar sekunder dan dapat digunakan oleh BI untuk operasi moneter. Baik pemerintah dan juga BI menekankan kebijakan ini adalah one-off policy dan untuk menjaga mekanisme pasar tetap baik BI hanya akan menjadi stand-by buyer.
Menariknya, saat pengumuman kebijakan burden sharing di bulan Juli lalu, pasar obligasi Indonesia membukukan kenaikan bulanan tertinggi di antara obligasi dengan peringkat negara yang sama.
"Kenaikan aliran dana asing hampir dua kali lipat di bulan Juli dibanding Juni. Ini menandakan toleransi investor cukup besar untuk kebijakan burden sharing ini," ujarnya.
"Libur tidak mengubah fundamental ekonomi. Ini juga sudah diagendakan dan diumumkan sebelumnya. Selain itu juga tidak ada sentimen yang negatif," ujar Ferry Latuhihin, Chief Economist Tanamduit, Sabtu (22/8/2020).
Menurutnya, sepanjang libur panjang ini kendaraan cukup padat di tol seperti kondisi mudik Lebaran. Ini indikasi bahwa ekonomi nasional dalam kondisi baik sehingga memberi sinyal akan ada pertumbuhan di kuartal ketiga tahun ini.
"Pemerintah juga sudah menegur instansi-instansi yang terlambat mengucurkan dana penyelamatan ekonomi. Mudah-mudahan setelah libur ini dana itu mengucur lebih deras sehingga dapat mempercepat recovery," ujarnya.
Lebih lanjut dirinya mengaku masih optimistis bahwa perekonomian di sepanjang 2020 masih tumbuh positif sebesar kurang lebih 1,5%. Sedangkan untuk IHSG akan menuju 6.000 di akhir tahun ini.
"Outlook ke depan tentu lebih baik. Saya perkirakan pertumbuhan ekonomi di 2021 mencapai angka 6%. Karena tingginya pent-up demand atau konsumsi yang tertunda," ujarnya.
Dia juga memproyeksikan tingkat investasi asing langsung kemungkinan melonjak. Hal ini akibat pandemi Corona yang menjadi game changer dalam arah ekonomi global.
"Prediksi saya IHSG ke 7.000 di akhir 2021. Kebijakan pemerintah dan BI sudah tepat dalam melawan efek pandemi ini," ujarnya. ( Baca juga:Permintaan Rumah Subsidi Naik Gila-Gilaan, Pertanda Apa? )
Sementara itu, Director & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula menilai, sejauh ini pasar menerima dengan positif kebijakan burden sharing antara pemerintah dan BI.
"Karena skema ini memungkinkan pembiayaan defisit tanpa memberi tekanan berlebih di pasar obligasi. Di saat yang sama juga mengurangi beban pemerintah," ujar Ezra.
Obligasi yang dikeluarkan dalam skema ini bisa diperdagangkan di pasar sekunder dan dapat digunakan oleh BI untuk operasi moneter. Baik pemerintah dan juga BI menekankan kebijakan ini adalah one-off policy dan untuk menjaga mekanisme pasar tetap baik BI hanya akan menjadi stand-by buyer.
Menariknya, saat pengumuman kebijakan burden sharing di bulan Juli lalu, pasar obligasi Indonesia membukukan kenaikan bulanan tertinggi di antara obligasi dengan peringkat negara yang sama.
"Kenaikan aliran dana asing hampir dua kali lipat di bulan Juli dibanding Juni. Ini menandakan toleransi investor cukup besar untuk kebijakan burden sharing ini," ujarnya.
(uka)