Digitalisasi Sektor Transportasi Harusnya Mempermudah Bukan Menyulitkan
loading...
A
A
A
Sedangkan sisa dari Rp17 ribu, sebesar Rp6.400 rupiah adalah kutipan jasa agen yang memanfaatkan kesulitan masyarakat. Padahal kutipan agen ada di dalam jasa kepelabuhanan ASDP Rp4.200 tersebut.
Karena besaran jasa kepelabuhanan tersebut termasuk jasa penjualan tiket, maka agen sudah tidak perlu menambah kutipan lagi. Seharusnya yang membayar agen adalah PT. ASDP yang bertanggung jawab terhadap penjualan tiket di loket sebelum adanya digitalisasi sesuai PM no 84 th 2018. Akhirnya masyarakat saat ini sangat dirugikan dengan membayar lebih atau mahal akibat digitalisasi yang tidak wajar.
"Masak jasa kutipan agen lebih mahal daripada jasa pelayarannya? Ini yang harus diluruskan. Lagipula kutipan agen tersebut, tidak ada dasar hukumnya. Ada istilah agen ini mirip sebagai calo tiket yang ada disekitar pelabuhan, padahal praktik percaloan di moda transportasi lain seperti KAI dan penerbangan sudah diberantas dengan baik,” ucapnya lagi.
Atas dasar itu, BHS menyatakan Ferizy ini cukup menyusahkan dan memberatkan masyarakat. Karena, walaupun melakukan pembelian online, tidak ada kepastian untuk mendapatkan space. Ditambah, tidak tersedianya layanan tiket Go Show dengan sistem pembayaran tunai di pelabuhan penyeberangan.
"Inilah yang menjadi penyebab kemacetan di pelabuhan penyeberangan. Sedangkan di pelabuhan penyeberangan, sejak diberlakukan Ferizy, tidak ada penjualan tiket yang menggunakan uang cash atau dana cash. Sehingga masyarakat sering merasa kesulitan untuk mendapatkan tiket di Angkutan Penyeberangan. Apalagi ada batasan jam untuk pemesanan tiket yang ada di Ferizy, seperti yang sering ada di beberapa keluhan masyarakat di media sosial," ungkapnya.
Bambang menegaskan, bahwa dirinya tidak anti dengan digitalisasi, selama hal itu mempermudahkan masyarakat dalam menggunakan transportasi.
“Saya bukan anti digitalisasi. Yang saya inginkan digitalisasi yang mempermudah masyarakat untuk membeli serta mempergunakannya seperti yang ada di beberapa negara di luar negeri, misalnya ICOCA di Jepang, OCTOPUS di Hongkong, THE DEUTSCHLANDTICKET di German. Dimana kartu tersebut sebagai Public Transport Card yang bisa digunakan untuk moda transportasi berkelanjutan, Bis, Kereta Api, maupun Ferry. Dan pengisian top up nya bisa melalui Convenience Store (Supermarket),” ungkapnya lagi.
Lebih lanjut, ia pun menyoroti untuk membeli tiket transportasi di semua negara tidak perlu meminta data pribadi atau mengisi data pribadi pada saat pembelian tiket melalui online ataupun berbayar langsung (offline). Sedangkan di aplikasi Ferizy harus mencantumkan data pribadi.
Hal itu dapat semakin merepotkan masyarakat dan juga karena transportasi penyeberangan ini adalah bersifat instan/harus cepat dan komuter ataupun kereta cepat yang membutuhkan akses cepat. Diterangkan bahwa di seluruh dunia tidak ada yang harus mencantumkan data pribadi untuk kepentingan pembelian tiket untuk semua moda kecuali udara.
“Kalau misalnya aplikasi Ferizy belum sempurna atau menyusahkan masyarakat, kenapa tidak dikembalikan ke pembayaran cash. Seperti di semua negara di dunia, ferry commuter jarak pendek di Jepang, Filipina, Hongkong, Italy, Yunani, Kanada maupun di Korea dan China, itu pembayaran transportasi commuternya semua menggunakan cash dan tidak perlu menuliskan data atau menunjukkan data pribadi. Kecuali kalau mereka ingin membeli secara online jauh hari sebelumnya,” kata politisi Gerindra ini.
Karena besaran jasa kepelabuhanan tersebut termasuk jasa penjualan tiket, maka agen sudah tidak perlu menambah kutipan lagi. Seharusnya yang membayar agen adalah PT. ASDP yang bertanggung jawab terhadap penjualan tiket di loket sebelum adanya digitalisasi sesuai PM no 84 th 2018. Akhirnya masyarakat saat ini sangat dirugikan dengan membayar lebih atau mahal akibat digitalisasi yang tidak wajar.
"Masak jasa kutipan agen lebih mahal daripada jasa pelayarannya? Ini yang harus diluruskan. Lagipula kutipan agen tersebut, tidak ada dasar hukumnya. Ada istilah agen ini mirip sebagai calo tiket yang ada disekitar pelabuhan, padahal praktik percaloan di moda transportasi lain seperti KAI dan penerbangan sudah diberantas dengan baik,” ucapnya lagi.
Atas dasar itu, BHS menyatakan Ferizy ini cukup menyusahkan dan memberatkan masyarakat. Karena, walaupun melakukan pembelian online, tidak ada kepastian untuk mendapatkan space. Ditambah, tidak tersedianya layanan tiket Go Show dengan sistem pembayaran tunai di pelabuhan penyeberangan.
"Inilah yang menjadi penyebab kemacetan di pelabuhan penyeberangan. Sedangkan di pelabuhan penyeberangan, sejak diberlakukan Ferizy, tidak ada penjualan tiket yang menggunakan uang cash atau dana cash. Sehingga masyarakat sering merasa kesulitan untuk mendapatkan tiket di Angkutan Penyeberangan. Apalagi ada batasan jam untuk pemesanan tiket yang ada di Ferizy, seperti yang sering ada di beberapa keluhan masyarakat di media sosial," ungkapnya.
Bambang menegaskan, bahwa dirinya tidak anti dengan digitalisasi, selama hal itu mempermudahkan masyarakat dalam menggunakan transportasi.
“Saya bukan anti digitalisasi. Yang saya inginkan digitalisasi yang mempermudah masyarakat untuk membeli serta mempergunakannya seperti yang ada di beberapa negara di luar negeri, misalnya ICOCA di Jepang, OCTOPUS di Hongkong, THE DEUTSCHLANDTICKET di German. Dimana kartu tersebut sebagai Public Transport Card yang bisa digunakan untuk moda transportasi berkelanjutan, Bis, Kereta Api, maupun Ferry. Dan pengisian top up nya bisa melalui Convenience Store (Supermarket),” ungkapnya lagi.
Lebih lanjut, ia pun menyoroti untuk membeli tiket transportasi di semua negara tidak perlu meminta data pribadi atau mengisi data pribadi pada saat pembelian tiket melalui online ataupun berbayar langsung (offline). Sedangkan di aplikasi Ferizy harus mencantumkan data pribadi.
Hal itu dapat semakin merepotkan masyarakat dan juga karena transportasi penyeberangan ini adalah bersifat instan/harus cepat dan komuter ataupun kereta cepat yang membutuhkan akses cepat. Diterangkan bahwa di seluruh dunia tidak ada yang harus mencantumkan data pribadi untuk kepentingan pembelian tiket untuk semua moda kecuali udara.
“Kalau misalnya aplikasi Ferizy belum sempurna atau menyusahkan masyarakat, kenapa tidak dikembalikan ke pembayaran cash. Seperti di semua negara di dunia, ferry commuter jarak pendek di Jepang, Filipina, Hongkong, Italy, Yunani, Kanada maupun di Korea dan China, itu pembayaran transportasi commuternya semua menggunakan cash dan tidak perlu menuliskan data atau menunjukkan data pribadi. Kecuali kalau mereka ingin membeli secara online jauh hari sebelumnya,” kata politisi Gerindra ini.