Getol Bangun Infrastruktur, Tetangga Indonesia Ini Terbelit Utang China
loading...
A
A
A
Namun, imbuh dia, jelas meminjamkan uang ke negara lain juga mendatangkan pengaruh politik. "Saya pikir kita dapat mengatakan dengan yakin jika kita memiliki utang yang sangat tinggi, seperti dalam kasus Laos, ke negara lain maka negara itu memiliki pengaruh secara politik dan ekonomi," cetusnya.
Mengenai kondisi negara itu saat ini, Rajah menilai pemerintah Laos pada dasarnya kini tengah berusaha mengumpulkan uang, terutama mata uang asing, dengan cara apa pun, termasuk meminjam dalam negeri dan menjual aset negara.
"Hal utama yang membuat Laos tetap bertahan saat ini adalah bahwa Laos diizinkan untuk menunda pembayaran utangnya ke China, yang jumlahnya sangat besar. Tetapi setiap tahun Laos harus bernegosiasi dengan China untuk mengamankan hal ini, dan ini bukanlah solusi yang berkelanjutan," tandasnya. Dia menambahkan, Laos masih tetap perlu mencari lebih banyak uang karena masih harus melakukan pembayaran utang lain dan memenuhi kebutuhan impornya.
Kondisi ekonomi negara itu diprediksi masih cenderung akan terus memburuk. Menurut Barney, langkah-langkah yang diambil Laos tampaknya tidak mampu menurunkan inflasi, atau membuat mata uang Laos bergerak ke arah yang benar. "Inflasi bertahan di kisaran 25%, dan kip perlahan-lahan kehilangan nilainya setelah terdepresiasi sebesar 60% sejak 2019. Pada akhir tahun 2024, Laos kemungkinan akan memenuhi satu definisi 'hiperinflasi', yang didefinisikan sebagai 100% inflasi yang bertambah selama tiga tahun," ujarnya.
Hal ini, tegas dia, hanya menambah tekanan untuk memenuhi pembayaran utang luar negeri. Laos,kata dia, perlu mencari jalan keluar lain dari krisis ekonominya saat ini.
Gagal bayar, atau menyatakan tidak mampu membayar debiturnya menurut dia merupakan salah satu pilihan bagi Laos. Ini akan menjadi peluang untuk merestrukturisasi utangnya dan mengajukan pinjaman lunak dengan suku bunga rendah dari lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF). Namun gagal bayar juga dapat membuat pinjaman di masa depan menjadi lebih sulit dan mahal.
Mengenai seberapa dekat negara tetangga Indonesia ini mengalami gagal bayar, Sims menilai, kurangnya transparansi di Laos – terutama dalam kaitannya dengan pinjaman dengan China – menyulitkan penilaian. "Apakah suatu negara mengalami gagal bayar atau tidak, sangat bergantung, bukan pada negara itu sendiri, namun juga pada peminjamnya," jelasnya.
Pemberi pinjaman mempunyai sarana untuk mencegah gagal bayar dengan menawarkan keringanan utang. Dengan lebih dari separuh utang luar negeri Laos berasal dari China, maka gagal bayar atau tidak, bergantung pada apakah China akan memilih untuk memberikan dana talangan kepada Laos, atau menawarkan penundaan pembayaran utang.
Sementara itu, Rajah mengatakan pada akhirnya Laos membutuhkan penghapusan utang dalam jumlah besar dibandingkan hanya melanjutkan penangguhan jangka pendek dari China. "Saat ini tampaknya Laos dan China sama-sama berharap bahwa negara itu bisa keluar dari utangnya," kata dia.
Mengenai kondisi negara itu saat ini, Rajah menilai pemerintah Laos pada dasarnya kini tengah berusaha mengumpulkan uang, terutama mata uang asing, dengan cara apa pun, termasuk meminjam dalam negeri dan menjual aset negara.
"Hal utama yang membuat Laos tetap bertahan saat ini adalah bahwa Laos diizinkan untuk menunda pembayaran utangnya ke China, yang jumlahnya sangat besar. Tetapi setiap tahun Laos harus bernegosiasi dengan China untuk mengamankan hal ini, dan ini bukanlah solusi yang berkelanjutan," tandasnya. Dia menambahkan, Laos masih tetap perlu mencari lebih banyak uang karena masih harus melakukan pembayaran utang lain dan memenuhi kebutuhan impornya.
Kondisi ekonomi negara itu diprediksi masih cenderung akan terus memburuk. Menurut Barney, langkah-langkah yang diambil Laos tampaknya tidak mampu menurunkan inflasi, atau membuat mata uang Laos bergerak ke arah yang benar. "Inflasi bertahan di kisaran 25%, dan kip perlahan-lahan kehilangan nilainya setelah terdepresiasi sebesar 60% sejak 2019. Pada akhir tahun 2024, Laos kemungkinan akan memenuhi satu definisi 'hiperinflasi', yang didefinisikan sebagai 100% inflasi yang bertambah selama tiga tahun," ujarnya.
Hal ini, tegas dia, hanya menambah tekanan untuk memenuhi pembayaran utang luar negeri. Laos,kata dia, perlu mencari jalan keluar lain dari krisis ekonominya saat ini.
Gagal bayar, atau menyatakan tidak mampu membayar debiturnya menurut dia merupakan salah satu pilihan bagi Laos. Ini akan menjadi peluang untuk merestrukturisasi utangnya dan mengajukan pinjaman lunak dengan suku bunga rendah dari lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF). Namun gagal bayar juga dapat membuat pinjaman di masa depan menjadi lebih sulit dan mahal.
Mengenai seberapa dekat negara tetangga Indonesia ini mengalami gagal bayar, Sims menilai, kurangnya transparansi di Laos – terutama dalam kaitannya dengan pinjaman dengan China – menyulitkan penilaian. "Apakah suatu negara mengalami gagal bayar atau tidak, sangat bergantung, bukan pada negara itu sendiri, namun juga pada peminjamnya," jelasnya.
Pemberi pinjaman mempunyai sarana untuk mencegah gagal bayar dengan menawarkan keringanan utang. Dengan lebih dari separuh utang luar negeri Laos berasal dari China, maka gagal bayar atau tidak, bergantung pada apakah China akan memilih untuk memberikan dana talangan kepada Laos, atau menawarkan penundaan pembayaran utang.
Sementara itu, Rajah mengatakan pada akhirnya Laos membutuhkan penghapusan utang dalam jumlah besar dibandingkan hanya melanjutkan penangguhan jangka pendek dari China. "Saat ini tampaknya Laos dan China sama-sama berharap bahwa negara itu bisa keluar dari utangnya," kata dia.
(fjo)