Indonesia Tidak Baik-baik Saja, Utang Negara Sudah Tembus Rp8.502 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Analis ekonomi politik FINE Institute, Kusfiardi menunjukkan, bahwa utang pemerintah Indonesia yang mencapai Rp8.502 triliun atau sekitar 38,68% dari PDB memerlukan perhatian serius. Meskipun rasio ini masih dianggap aman, ada sejumlah risiko yang perlu diwaspadai baik dari perspektif teknokrasi maupun politik ekonomi.
Hal ini menyikapi pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang meminta masyarakat untuk tidak khawatir terkait utang negara .
"Pernyataan Menteri Keuangan yang meminta masyarakat untuk tidak khawatir terhadap utang negara memang bertujuan untuk menenangkan publik, namun kenyataannya, ketergantungan pada instrumen utang seperti Surat Berharga Negara (SBN) membawa risiko yang perlu diwaspadai, terutama dalam kondisi pasar obligasi yang fluktuatif," ujar Kusfiardi.
Ia juga menyoroti pengelolaan utang yang sebagian besar berbentuk SBN menghadirkan risiko likuiditas yang signifikan. Ketergantungan pada penerbitan SBN, terutama dalam kondisi pasar obligasi yang fluktuatif, dapat meningkatkan biaya pinjaman jika suku bunga global naik.
"Meskipun Sri Mulyani menyebut rasio utang terhadap PDB masih aman, kita harus memahami bahwa risiko likuiditas dan suku bunga bisa menambah beban fiskal secara signifikan jika tidak dikelola dengan hati-hati," jelas Kusfiardi lebih lanjut.
Hal ini dikhawatirkan akan menyedot anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk sektor-sektor vital seperti infrastruktur, kesehatan dan pendidikan, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Selain itu, utang luar negeri yang cukup besar juga membawa risiko terkait fluktuasi nilai tukar. Dalam situasi depresiasi rupiah, beban pembayaran utang luar negeri bisa meningkat drastis, yang berpotensi memicu inflasi dan memperburuk defisit anggaran.
Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan II 2024 tercatat sebesar USD408,6 miliar atau tumbuh sebesar 2,7% (yoy). Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sebesar 0,2% (yoy) pada triwulan I 2024. Peningkatan tersebut bersumber dari ULN sektor publik maupun swasta.
"Sri Mulyani mungkin benar bahwa utang merupakan instrumen penting dalam pengelolaan fiskal, namun kita tidak bisa mengabaikan potensi bahaya dari depresiasi mata uang dan meningkatnya beban utang luar negeri yang dapat memperburuk defisit anggaran," kata Kusfiardi.
Mengingat pengalaman krisis moneter 1997-1998, risiko ini tidak bisa dianggap remeh dan perlu diantisipasi dengan kebijakan yang bijak. Efektivitas penggunaan utang juga menjadi perhatian utama.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar utang digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur dan program sosial. Namun, efektivitas dari proyek-proyek ini masih dipertanyakan.
"Saat Menteri Keuangan menyatakan bahwa utang pemerintah digunakan untuk proyek infrastruktur dan program sosial, kita perlu bertanya apakah proyek-proyek tersebut benar-benar produktif dan mampu memberikan pengembalian investasi yang memadai," tandas Kusfiardi dalam siaran persnya.
Jika utang tidak digunakan secara produktif, ada risiko utang akan menjadi beban jangka panjang yang semakin memberatkan.
Dari sisi politik, utang sering kali menjadi isu yang dipolitisasi. Pemerintah yang sedang berkuasa mungkin tergoda untuk meningkatkan pengeluaran fiskal yang didanai oleh utang guna meraih dukungan politik jangka pendek.
"Pemerintah harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam godaan meningkatkan pengeluaran fiskal yang didanai utang demi kepentingan politik jangka pendek, karena hal ini bisa merusak keseimbangan fiskal dan menurunkan kredibilitas di mata investor," tegas Kusfiardi.
Kebijakan populis yang tidak disertai pengelolaan utang yang hati-hati dapat menyebabkan ketidakseimbangan fiskal yang serius, mengancam stabilitas ekonomi dan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata investor.
Ketergantungan pada utang luar negeri juga menempatkan Indonesia pada posisi rentan terhadap tekanan eksternal. Negara-negara kreditur atau lembaga keuangan internasional dapat memaksakan syarat-syarat pembiayaan yang mungkin bertentangan dengan kebutuhan domestik Indonesia.
"Ketergantungan pada utang luar negeri juga menempatkan Indonesia dalam posisi rentan terhadap tekanan eksternal, sesuatu yang tidak boleh diabaikan dalam pengelolaan utang jangka panjang," ungkap Kusfiardi.
Hal ini mengurangi kemandirian ekonomi dan berpotensi memaksa pemerintah mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh pihak eksternal.
Dengan mempertimbangkan berbagai risiko ini, diperlukan kebijakan pengelolaan utang yang lebih hati-hati, transparan, dan berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi yang kuat. Hanya dengan demikian, stabilitas fiskal jangka panjang dan kemandirian ekonomi Indonesia dapat terjaga.
Hal ini menyikapi pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang meminta masyarakat untuk tidak khawatir terkait utang negara .
"Pernyataan Menteri Keuangan yang meminta masyarakat untuk tidak khawatir terhadap utang negara memang bertujuan untuk menenangkan publik, namun kenyataannya, ketergantungan pada instrumen utang seperti Surat Berharga Negara (SBN) membawa risiko yang perlu diwaspadai, terutama dalam kondisi pasar obligasi yang fluktuatif," ujar Kusfiardi.
Ia juga menyoroti pengelolaan utang yang sebagian besar berbentuk SBN menghadirkan risiko likuiditas yang signifikan. Ketergantungan pada penerbitan SBN, terutama dalam kondisi pasar obligasi yang fluktuatif, dapat meningkatkan biaya pinjaman jika suku bunga global naik.
"Meskipun Sri Mulyani menyebut rasio utang terhadap PDB masih aman, kita harus memahami bahwa risiko likuiditas dan suku bunga bisa menambah beban fiskal secara signifikan jika tidak dikelola dengan hati-hati," jelas Kusfiardi lebih lanjut.
Hal ini dikhawatirkan akan menyedot anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk sektor-sektor vital seperti infrastruktur, kesehatan dan pendidikan, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Selain itu, utang luar negeri yang cukup besar juga membawa risiko terkait fluktuasi nilai tukar. Dalam situasi depresiasi rupiah, beban pembayaran utang luar negeri bisa meningkat drastis, yang berpotensi memicu inflasi dan memperburuk defisit anggaran.
Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan II 2024 tercatat sebesar USD408,6 miliar atau tumbuh sebesar 2,7% (yoy). Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sebesar 0,2% (yoy) pada triwulan I 2024. Peningkatan tersebut bersumber dari ULN sektor publik maupun swasta.
"Sri Mulyani mungkin benar bahwa utang merupakan instrumen penting dalam pengelolaan fiskal, namun kita tidak bisa mengabaikan potensi bahaya dari depresiasi mata uang dan meningkatnya beban utang luar negeri yang dapat memperburuk defisit anggaran," kata Kusfiardi.
Mengingat pengalaman krisis moneter 1997-1998, risiko ini tidak bisa dianggap remeh dan perlu diantisipasi dengan kebijakan yang bijak. Efektivitas penggunaan utang juga menjadi perhatian utama.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar utang digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur dan program sosial. Namun, efektivitas dari proyek-proyek ini masih dipertanyakan.
"Saat Menteri Keuangan menyatakan bahwa utang pemerintah digunakan untuk proyek infrastruktur dan program sosial, kita perlu bertanya apakah proyek-proyek tersebut benar-benar produktif dan mampu memberikan pengembalian investasi yang memadai," tandas Kusfiardi dalam siaran persnya.
Jika utang tidak digunakan secara produktif, ada risiko utang akan menjadi beban jangka panjang yang semakin memberatkan.
Dari sisi politik, utang sering kali menjadi isu yang dipolitisasi. Pemerintah yang sedang berkuasa mungkin tergoda untuk meningkatkan pengeluaran fiskal yang didanai oleh utang guna meraih dukungan politik jangka pendek.
"Pemerintah harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam godaan meningkatkan pengeluaran fiskal yang didanai utang demi kepentingan politik jangka pendek, karena hal ini bisa merusak keseimbangan fiskal dan menurunkan kredibilitas di mata investor," tegas Kusfiardi.
Kebijakan populis yang tidak disertai pengelolaan utang yang hati-hati dapat menyebabkan ketidakseimbangan fiskal yang serius, mengancam stabilitas ekonomi dan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata investor.
Ketergantungan pada utang luar negeri juga menempatkan Indonesia pada posisi rentan terhadap tekanan eksternal. Negara-negara kreditur atau lembaga keuangan internasional dapat memaksakan syarat-syarat pembiayaan yang mungkin bertentangan dengan kebutuhan domestik Indonesia.
"Ketergantungan pada utang luar negeri juga menempatkan Indonesia dalam posisi rentan terhadap tekanan eksternal, sesuatu yang tidak boleh diabaikan dalam pengelolaan utang jangka panjang," ungkap Kusfiardi.
Hal ini mengurangi kemandirian ekonomi dan berpotensi memaksa pemerintah mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh pihak eksternal.
Dengan mempertimbangkan berbagai risiko ini, diperlukan kebijakan pengelolaan utang yang lebih hati-hati, transparan, dan berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi yang kuat. Hanya dengan demikian, stabilitas fiskal jangka panjang dan kemandirian ekonomi Indonesia dapat terjaga.
(akr)