Kejatuhan Kelas Menengah Indonesia, Makan Tabungan Jadi Pertanda
loading...
A
A
A
Laporan Ekonomi dan Keuangan Mingguan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menunjukkan bahwa pengeluaran kelas menengah untuk kebutuhan produktif relatif menurun, sementara terjadi peningkatan untuk kebutuhan tersier seperti hiburan, barang mewah, hingga keperluan pesta. Akibatnya ruang untuk menabung semakin terbatas.
Presiden Direktur PT Krom Bank Indonesia Tbk, Anton Hermawan, menjelaskan dampak dari ketidakpastian ekonomi saat ini semakin nyata. Terutama bagi generasi muda dan kelas menengah. Tidak sedikit dari mereka yang kini harus mengandalkan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan pada akhirnya menggerus aset mereka.
"Oleh karena itu, generasi muda perlu mengubah strategi keuangan mereka, yang bukan hanya berfokus pada menabung, tetapi sekaligus menumbuhkan aset secara berkelanjutan," kata Anton dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Apabila kejatuhan kelas menengah di Indonesia tidak segera diantisipasi, maka bisa berdampak buruh terhadap perekonomian nasional. Terlebih Indonesia sedang mengejar menjadi negara maju, dengan menggaungkan Indonesia Emas.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin meminta pemerintah untuk mewaspadai daya beli dan jumlah kelas menengah yang jumlahnya kian merosot.
Menurutnya, apabila hal ini terus dibiarkan maka berpotensi mengarah kepada revolusi. Demikian diungkapkan Bustanul lantaran melihat fenomena ini kerap terjadi di negara-negara Amerika Latin.
"Dalam beberapa pengalaman negara lain, terutama di Amerika Latin, kekosongan kelas menengah juga berdampak buruk. Jika menurun terlalu jauh dan menjadi kosong, kita khawatir akan terjadi revolusi," jelas Bustanul dalam diskusi publik bertajuk "Kelas Menengah Turun Kelas," awal bulan September lalu.
Apalagi di negara-negara Amerika Latin dengan struktur kelas yang sangat timpang itu sering mengalami tekanan dan guncangan akibat kekosongan kelas menengah.
"Lihat sejarah di Amerika Latin, seperti di Kolombia, Panama, dan Venezuela. Di sana, kelas menengahnya kosong. Jumlah tuan tanah besar, tetapi kelas menengahnya sedikit, dan mereka melompat ke kelas bawah yang informal. Ini sangat berbahaya," tegasnya.
Bustanul berpendapat jika struktur perekonomian mengalami kekosongan kelas menengah, hal tersebut akan berdampak buruk terhadap perekonomian secara keseluruhan.
"Indonesia harus belajar banyak dari konteks negara-negara Amerika Latin. Demokrasi mereka semu. Apakah kita akan menuju ke sana dengan oligarki yang turun ke bawah?," pungkasnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 36,89% penduduk kelas menengah merupakan Gen Z dan Generasi Alpha. Demikian tercantum dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024.
Presiden Direktur PT Krom Bank Indonesia Tbk, Anton Hermawan, menjelaskan dampak dari ketidakpastian ekonomi saat ini semakin nyata. Terutama bagi generasi muda dan kelas menengah. Tidak sedikit dari mereka yang kini harus mengandalkan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan pada akhirnya menggerus aset mereka.
"Oleh karena itu, generasi muda perlu mengubah strategi keuangan mereka, yang bukan hanya berfokus pada menabung, tetapi sekaligus menumbuhkan aset secara berkelanjutan," kata Anton dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Kejatuhan Kelas Menengah
Apabila kejatuhan kelas menengah di Indonesia tidak segera diantisipasi, maka bisa berdampak buruh terhadap perekonomian nasional. Terlebih Indonesia sedang mengejar menjadi negara maju, dengan menggaungkan Indonesia Emas.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin meminta pemerintah untuk mewaspadai daya beli dan jumlah kelas menengah yang jumlahnya kian merosot.
Menurutnya, apabila hal ini terus dibiarkan maka berpotensi mengarah kepada revolusi. Demikian diungkapkan Bustanul lantaran melihat fenomena ini kerap terjadi di negara-negara Amerika Latin.
"Dalam beberapa pengalaman negara lain, terutama di Amerika Latin, kekosongan kelas menengah juga berdampak buruk. Jika menurun terlalu jauh dan menjadi kosong, kita khawatir akan terjadi revolusi," jelas Bustanul dalam diskusi publik bertajuk "Kelas Menengah Turun Kelas," awal bulan September lalu.
Apalagi di negara-negara Amerika Latin dengan struktur kelas yang sangat timpang itu sering mengalami tekanan dan guncangan akibat kekosongan kelas menengah.
"Lihat sejarah di Amerika Latin, seperti di Kolombia, Panama, dan Venezuela. Di sana, kelas menengahnya kosong. Jumlah tuan tanah besar, tetapi kelas menengahnya sedikit, dan mereka melompat ke kelas bawah yang informal. Ini sangat berbahaya," tegasnya.
Bustanul berpendapat jika struktur perekonomian mengalami kekosongan kelas menengah, hal tersebut akan berdampak buruk terhadap perekonomian secara keseluruhan.
"Indonesia harus belajar banyak dari konteks negara-negara Amerika Latin. Demokrasi mereka semu. Apakah kita akan menuju ke sana dengan oligarki yang turun ke bawah?," pungkasnya.
Gen Z dan Alpha Dominasi Kelas Menengah
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 36,89% penduduk kelas menengah merupakan Gen Z dan Generasi Alpha. Demikian tercantum dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024.