Rebutan Harta Karun Afrika, Apakah China Menghalangi India?
loading...
A
A
A
Sejak 1947, wilayah ini telah menyaksikan banyak konflik dan pertempuran kekerasan meletus antara India dan Pakistan, sering dipicu oleh separatis Pakistan. Selain itu, kabupaten Reasi merupakan daerah perbukitan dengan ekosistem yang rapuh.
Sementara bila dibandingkan dengan cadangan di Bolivia (21 juta ton), Argentina (17 juta ton), dan Australia (6,3 juta ton), temuan lithium India relatif tidak cukup besar. Jadi meskipun penemuan ini akan mendongkrak ekonomi hijau, hal itu tidak memadai.
Kondisi yang penuh ketidakpastian, maka tidak mengherankan India juga mengeksplorasi lithium di luar perbatasan nasionalnya hingga mencarinya ke benua Afrika.
Mereka menawarkan bakal memberikan akses ke sumber daya mineral vital dengan imbalan pembayaran sebagian dari pinjaman pembangunan mereka. Namun spesifikasi negara-negara ini masih belum diungkapkan, tetapi mendapatkan akses ke lithium Afrika akan secara signifikan memajukan pertumbuhan industri hijau India.
Mendapatkan akses ke sumber daya Afrika menjadi sangat penting untuk pengembangan industri lithium India, namun dominasi China di bidang ini menjadi penghalang utama.
Selama bertahun-tahun, China telah memonopoli beberapa rantai pasokan mineral utama, termasuk kobalt, lithium, dan banyak logam tanah jarang. China mengendalikan sebagian besar rantai pasokan lithium global dan merupakan penyuling lithium terkemuka.
Meskipun hanya memegang sebagian kecil dari cadangan lithium dunia—yakni kurang dari 7%, China memproduksi sebagian besar kendaraan energi baru yang dijualnya. China adalah importir, penyuling, dan konsumen lithium terbesar, menangani 70% dari output global dan membeli 70% senyawa lithium, sebagian besar untuk sektor manufaktur baterai domestiknya.
Sejak 2018, China yang bergantung pada impor untuk sekitar dua pertiga bahan bakunya, telah secara agresif mengakuisisi tambang lithium besar di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, China berinvestasi di tambang di Zimbabwe, Republik Demokratik Kongo, Argentina, Australia, dan Kanada.
Menurut beberapa perkiraan pada tahun 2025, tambang di bawah kendali China diperkirakan akan menghasilkan 705.000 ton lithium olahan.
Ketergantungan India pada impor dari China dan rantai pasokannya yang rapuh menimbulkan risiko bagi stabilitas aksesnya ke mineral penting.Di sinilah letak paradoksnya: agar India bergerak maju dalam mengamankan pasokan lithium, maka harus menavigasi hubungannya dengan China secara lebih efektif.
Sementara bila dibandingkan dengan cadangan di Bolivia (21 juta ton), Argentina (17 juta ton), dan Australia (6,3 juta ton), temuan lithium India relatif tidak cukup besar. Jadi meskipun penemuan ini akan mendongkrak ekonomi hijau, hal itu tidak memadai.
Kondisi yang penuh ketidakpastian, maka tidak mengherankan India juga mengeksplorasi lithium di luar perbatasan nasionalnya hingga mencarinya ke benua Afrika.
Pencarian India hingga Afrika
India membidik wilayah Afrika untuk memenuhi permintaan mineral kritisnya, terutama di Zambia, Namibia, Republik Demokratik Kongo (DRC), Ghana, hingga Mozambik. Beberapa negara Afrika bahkan dilaporkan sudah mendekati pemerintah India pada awal tahun 2022.Mereka menawarkan bakal memberikan akses ke sumber daya mineral vital dengan imbalan pembayaran sebagian dari pinjaman pembangunan mereka. Namun spesifikasi negara-negara ini masih belum diungkapkan, tetapi mendapatkan akses ke lithium Afrika akan secara signifikan memajukan pertumbuhan industri hijau India.
Mendapatkan akses ke sumber daya Afrika menjadi sangat penting untuk pengembangan industri lithium India, namun dominasi China di bidang ini menjadi penghalang utama.
Selama bertahun-tahun, China telah memonopoli beberapa rantai pasokan mineral utama, termasuk kobalt, lithium, dan banyak logam tanah jarang. China mengendalikan sebagian besar rantai pasokan lithium global dan merupakan penyuling lithium terkemuka.
Meskipun hanya memegang sebagian kecil dari cadangan lithium dunia—yakni kurang dari 7%, China memproduksi sebagian besar kendaraan energi baru yang dijualnya. China adalah importir, penyuling, dan konsumen lithium terbesar, menangani 70% dari output global dan membeli 70% senyawa lithium, sebagian besar untuk sektor manufaktur baterai domestiknya.
Sejak 2018, China yang bergantung pada impor untuk sekitar dua pertiga bahan bakunya, telah secara agresif mengakuisisi tambang lithium besar di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, China berinvestasi di tambang di Zimbabwe, Republik Demokratik Kongo, Argentina, Australia, dan Kanada.
Menurut beberapa perkiraan pada tahun 2025, tambang di bawah kendali China diperkirakan akan menghasilkan 705.000 ton lithium olahan.
Ketergantungan India pada impor dari China dan rantai pasokannya yang rapuh menimbulkan risiko bagi stabilitas aksesnya ke mineral penting.Di sinilah letak paradoksnya: agar India bergerak maju dalam mengamankan pasokan lithium, maka harus menavigasi hubungannya dengan China secara lebih efektif.