Soal Kemasan Rokok Polos, Legislator Tekankan Pentingnya Keterlibatan Semua Pihak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN, Saleh Daulay menyoroti pentingnya keterlibatan semua pihak dalam penyusunan regulasi penggunaan logo dalam kemasan rokok . Dia menegaskan setiap kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan semua masukan stakeholder, termasuk asosiasi industri dan pihak terdampak lainnya.
“Regulasi ini bermula dari aturan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mengalami penundaan lama karena kami ingin memastikan bahwa semua pihak, baik pengusaha maupun pihak lain, tidak merasa dirugikan,” ujarnya.
Saleh Daulay juga mengungkapkan, bahwa dalam pembuatan detail regulasi, Kementerian Kesehatan ( Kemenkes ) lebih memilih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) ketimbang Undang-undang (UU). Padahal jika diatur detail UU, DPR dapat mengajak semua pihak terdampak untuk terlibat dalam penyusunan regulasi. Beda halnya dengan PP yang penyusunannya tidak melibatkan parlemen.
Imbasnya kata dia, PP 28/2024 maupun RPMK menjadi sumber sengketa saat ini. Padahal seyogyanya, legislator tidak ingin mengabaikan aspek kesehatan, namun juga tidak ingin mengabaikan aspek ekonomi.
Selain itu, ia menggarisbawahi bahwa Kemenkes bukanlah satu-satunya kementerian yang terlibat dalam pengaturan tembakau. Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga harus dilibatkan dalam proses penyusunan regulasi ini.
“Saya menanyakan apakah semua stakeholder sudah dilibatkan dalam penyusunan aturan ini? Jika tidak, akan ada masalah dan pihak-pihak tertentu akan merasa ditinggalkan,” katanya.
Sementara itu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) buka suara soal penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang dinilai minim partisipasi publik.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menyatakan, telah menjalankan proses partisipasi publik, namun nyatanya kedua aturan Kemenkes tersebut terus menerus menuai protes.
“Regulasi ini bermula dari aturan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mengalami penundaan lama karena kami ingin memastikan bahwa semua pihak, baik pengusaha maupun pihak lain, tidak merasa dirugikan,” ujarnya.
Saleh Daulay juga mengungkapkan, bahwa dalam pembuatan detail regulasi, Kementerian Kesehatan ( Kemenkes ) lebih memilih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) ketimbang Undang-undang (UU). Padahal jika diatur detail UU, DPR dapat mengajak semua pihak terdampak untuk terlibat dalam penyusunan regulasi. Beda halnya dengan PP yang penyusunannya tidak melibatkan parlemen.
Imbasnya kata dia, PP 28/2024 maupun RPMK menjadi sumber sengketa saat ini. Padahal seyogyanya, legislator tidak ingin mengabaikan aspek kesehatan, namun juga tidak ingin mengabaikan aspek ekonomi.
Selain itu, ia menggarisbawahi bahwa Kemenkes bukanlah satu-satunya kementerian yang terlibat dalam pengaturan tembakau. Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga harus dilibatkan dalam proses penyusunan regulasi ini.
“Saya menanyakan apakah semua stakeholder sudah dilibatkan dalam penyusunan aturan ini? Jika tidak, akan ada masalah dan pihak-pihak tertentu akan merasa ditinggalkan,” katanya.
Sementara itu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) buka suara soal penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang dinilai minim partisipasi publik.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menyatakan, telah menjalankan proses partisipasi publik, namun nyatanya kedua aturan Kemenkes tersebut terus menerus menuai protes.