Masuk Bursa Kepala BPN, Edi Slamet Irianto: Pendapatan Negara Naik tapi Tak Memeras Rakyat Kecil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Penerimaan Negara (BPN) merupakan lembaga yang bertugas menerima pendapatan negara dalam bentuk uang yang disetorkan orang pribadi atau badan yang masuk ke kas negara. Selama ini lembaga yang bertugas mengurus penerimaan negara adalah Direktorat Jendreal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Keduanya berada dalam naungan Kementerian Keuangan ( Kemenkeu ).
Usulan pemisahan BPN dari Kemenkeu sudah berlangsung setidaknya sejak 2004. Presiden terpilih, Prabowo Subianto berencana membentuk BPN sebelum nomenklaturnya berubah menjadi Kementerian Penerimaan Negara.
Saat ini, terdapat tiga kandidat kepala BPN yaitu Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji Anggito Abimanyu, Guru Besar Politik Hukum Pajak Unissula Edi Slamet Irianto, dan anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun.
Menyoal urgensi pemisahan BPN dari Kementerian Keuangan, Prabowo Subianto sudah menyinggungnya sejak Pemilu 2019 silam. Selaras dengan hal itu, Edi Slamet Irianto menjelaskan peran BPN sangat penting karena kinerja penerimaan cenderung menurun padahal tuntutan belanja negara semakin besar. Sehingga, negara harus berutang dan semakin membesar.
Di sisi lain, birokrasi kementerian cenderung rumit dan terjebak oleh banyaknya aturan yang tidak memungkinkan bergerak lebih cepat dan terukur. Dampaknya, proses pengambilan putusan menjadi lamban padahal dituntut sangat cepat.
“Lembaga penerimaan yang ada, meski sudah direformasi sampai jilid IV, gagal mengatasi kebocoran, gagal memiliki data sains, gagal membangun kerja sama hukum, dan rentan terhadap intervensi kekuatan politik maupun pemodal besar dalam berbagai bentuknya,” katanya dalam siaran pers, Jumat (11/10/2024).
Menurut Edi Slamet Irianto, manfaat pembentukan BPN bagi masyarakat, khususnya pelaku ekonomi yaitu hadirnya berbagai kemudahan dalam memenuhi kewajiban kepada negara karena kebijakan dan pengaturan akan keluar dari satu pintu. “Sementara manfaatnya bagi negara, bisa melakukan estimasi penerimaan secara lebih akurat dan pasti karena tax gap akan semakin diperkecil akibat pengembangan data sains,” ujarnya.
Terkait kondisi keuangan negara, persoalan yang kerap terjadi adalah penerimaan negara yang hingga saat ini selalu di bawah target, bahkan rasionya jadi yang terendah di ASEAN. Menyikapi hal itu, Edi Slamet Irianto menegaskan, bentuk lembaga kementerian/badan memperlihatkan bahwa lembaga pemerintah punya kekuatan pada aspek eksekutorial akibat adanya beberapa kewenangan hukum sebagaimana tercantum dalam 13 undang-undang organiknya.
Dia menjelaskan, bentuk hybrid ini memungkinkan lembaga penerimaan negara lebih gesit dan mampu merespons dengan cepat setiap perubahan dan perkembangan ekonomi. Lembaga tersebut punya diskresi yang sangat memadai sehingga berjalan efektif sesuai tujuan pendiriannya.
“Menteri/Kepala/Komandan badan ini harus orang yang sangat matang dan tahu permasalahan sesungguhnya, artinya memiliki kapasitas/knowledge perpajakan yang mumpuni ditunjang pengalaman lapangan yang teruji dan terbukti, bukan hanya pandai berteori ilmu perang tapi tidak pernah angkat senjata untuk perang,” ujarnya.
Edi juga menyinggung apakah BPN mampu mencapai target rasio penerimaan 23% tanpa menaikan tarif. Menurutnya, justru BPN dihadirkan untuk bisa menaikan target penerimaan tanpa harus membebani masyarakat kecil.
Untuk jangka pendek, BPN tidak akan menaikkan tarif PPN menjadi 12%. Bahkan jika memungkinkan diturunkan ke 10%. Paling tidak, bertahan di 11% dengan catatan bahwa adminitrasi PPN akan diperbaiki secara fundamental.
”BPN, dalam kebijakannya, akan memberi ruang yang cukup bagi masyarakat untuk memiliki daya beli yang memadai sesuai kapasitasnya,” tuturnya.
Lihat Juga: Penyesuaian Tarif PPN 12 Persen Mengutamakan Keadilan dan Keberpihakan kepada Masyarakat
Usulan pemisahan BPN dari Kemenkeu sudah berlangsung setidaknya sejak 2004. Presiden terpilih, Prabowo Subianto berencana membentuk BPN sebelum nomenklaturnya berubah menjadi Kementerian Penerimaan Negara.
Saat ini, terdapat tiga kandidat kepala BPN yaitu Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji Anggito Abimanyu, Guru Besar Politik Hukum Pajak Unissula Edi Slamet Irianto, dan anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun.
Menyoal urgensi pemisahan BPN dari Kementerian Keuangan, Prabowo Subianto sudah menyinggungnya sejak Pemilu 2019 silam. Selaras dengan hal itu, Edi Slamet Irianto menjelaskan peran BPN sangat penting karena kinerja penerimaan cenderung menurun padahal tuntutan belanja negara semakin besar. Sehingga, negara harus berutang dan semakin membesar.
Di sisi lain, birokrasi kementerian cenderung rumit dan terjebak oleh banyaknya aturan yang tidak memungkinkan bergerak lebih cepat dan terukur. Dampaknya, proses pengambilan putusan menjadi lamban padahal dituntut sangat cepat.
“Lembaga penerimaan yang ada, meski sudah direformasi sampai jilid IV, gagal mengatasi kebocoran, gagal memiliki data sains, gagal membangun kerja sama hukum, dan rentan terhadap intervensi kekuatan politik maupun pemodal besar dalam berbagai bentuknya,” katanya dalam siaran pers, Jumat (11/10/2024).
Menurut Edi Slamet Irianto, manfaat pembentukan BPN bagi masyarakat, khususnya pelaku ekonomi yaitu hadirnya berbagai kemudahan dalam memenuhi kewajiban kepada negara karena kebijakan dan pengaturan akan keluar dari satu pintu. “Sementara manfaatnya bagi negara, bisa melakukan estimasi penerimaan secara lebih akurat dan pasti karena tax gap akan semakin diperkecil akibat pengembangan data sains,” ujarnya.
Terkait kondisi keuangan negara, persoalan yang kerap terjadi adalah penerimaan negara yang hingga saat ini selalu di bawah target, bahkan rasionya jadi yang terendah di ASEAN. Menyikapi hal itu, Edi Slamet Irianto menegaskan, bentuk lembaga kementerian/badan memperlihatkan bahwa lembaga pemerintah punya kekuatan pada aspek eksekutorial akibat adanya beberapa kewenangan hukum sebagaimana tercantum dalam 13 undang-undang organiknya.
Dia menjelaskan, bentuk hybrid ini memungkinkan lembaga penerimaan negara lebih gesit dan mampu merespons dengan cepat setiap perubahan dan perkembangan ekonomi. Lembaga tersebut punya diskresi yang sangat memadai sehingga berjalan efektif sesuai tujuan pendiriannya.
“Menteri/Kepala/Komandan badan ini harus orang yang sangat matang dan tahu permasalahan sesungguhnya, artinya memiliki kapasitas/knowledge perpajakan yang mumpuni ditunjang pengalaman lapangan yang teruji dan terbukti, bukan hanya pandai berteori ilmu perang tapi tidak pernah angkat senjata untuk perang,” ujarnya.
Edi juga menyinggung apakah BPN mampu mencapai target rasio penerimaan 23% tanpa menaikan tarif. Menurutnya, justru BPN dihadirkan untuk bisa menaikan target penerimaan tanpa harus membebani masyarakat kecil.
Untuk jangka pendek, BPN tidak akan menaikkan tarif PPN menjadi 12%. Bahkan jika memungkinkan diturunkan ke 10%. Paling tidak, bertahan di 11% dengan catatan bahwa adminitrasi PPN akan diperbaiki secara fundamental.
”BPN, dalam kebijakannya, akan memberi ruang yang cukup bagi masyarakat untuk memiliki daya beli yang memadai sesuai kapasitasnya,” tuturnya.
Lihat Juga: Penyesuaian Tarif PPN 12 Persen Mengutamakan Keadilan dan Keberpihakan kepada Masyarakat
(poe)