Penting untuk Dibenahi, Percepat Mekanisme Belanja Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tantangan menyelamatkan perekonomian nasional dari resesi sangat bergantung pada insentif dalam bentuk bantuan langsung tunai. Namun, jalannya program ini diragukan bisa efektif tepat sasaran.
Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan, yang harus dibenahi pemerintah dalam jangka waktu dekat adalah cara belanja. Kendalanya adalah cara yang digunakan masih business as usual, sedangkan kondisi saat ini tidak lagi seperti biasanya. (Baca: 70 Rekannya Meninggal, Kini Para Perawat Mulai Khawatir Tertular Covid-19)
Karena itu, dibutuhkan reformasi dalam mekanisme belanja pemerintah dalam jangka pendek. “Karena yang dikhawatirkan kita akan masuk resesi di kuartal tiga, tapi sampai kuartal empat masih belum bisa belanja juga,” ujar Aviliani dalam webinar Forum Diskusi Finansial kemarin.
Berikutnya, dia juga mengingatkan bahwa dalam penyaluran bantuan juga harus dimanfaatkan untuk membenahi sektor fiskal. Caranya dengan mewajibkan penerima bantuan memiliki nomor pokok wajib pajak demi meningkatkan wajib pajak.
Pemerintah Indonesia juga harus mencontoh Australia yang memiliki satu sumber data. “Manfaatnya signifikan karena semua bisa saling berbagi penggunaan dan membentuk satu kesatuan persepsi. Ini tidak terjadi di sini karena antarregulator memiliki perbedaan data dan persepsi masing-masing. Ini harusnya tidak boleh terjadi,” ujarnya. (Baca juga: Hamas Sebut Kesepakatan UEA-Israel Memalukan)
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan, di luar negeri seperti Singapura, bantuan langsung tunai diberikan kepada seluruh rumah tangga demi mengobati demand shock. Bila melihat negara lain, mereka memberikan bantuan tanpa membatasi jumlah gajinya.
Sementara di Indonesia tidak bisa melakukan hal seperti itu, karena adanya hambatan di fiskal. “Karena itu, kita butuh reformasi fiskal. Nantinya bila dibiarkan akan menjadi masalah besar dan akhirnya merusak sektor moneter yang sekarang masih aman saja,” ujar Anthony dalam kesempatan sama.
Lebih lanjut dia mengatakan, fokus utama bantuan langsung adalah menjaga pendapatan masyarakat agar tidak terjebak kemiskinan yang semakin parah. Pemerintah, menurutnya, jangan mengharapkan pertumbuhan ekonomi langsung muncul dengan menyalurkan bantuan langsung. “Negara besar lain jauh lebih besar bantuan tunai yang diberikan, tapi tetap resesi juga,” ujarnya.
Pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira mengatakan, bantuan dari pemerintah yang diperluas kepada kelas menengah di satu sisi memang dibutuhkan, tapi ada beberapa catatan yang wajib diperhatikan. Khususnya terkait dengan data masyarakat penerima yang masih membutuhkan verifikasi. (Baca juga: Gubernur Anies Bikin Bank DKI Borong Penghargaan)
“Apalagi dengan data BPJS Ketenagakerjaan diragukan, karena perusahaan banyak tidak jujur melaporkan gaji karyawan sesuai kondisi di lapangan. Ada yang gaji Rp10 juta didaftarkan jadi gaji Rp5 juta untuk mendapatkan iuran BPJS yang lebih ringan. Akibatnya program BSU ini pun rentan salah sasaran,” ujar Bhima.
Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan, yang harus dibenahi pemerintah dalam jangka waktu dekat adalah cara belanja. Kendalanya adalah cara yang digunakan masih business as usual, sedangkan kondisi saat ini tidak lagi seperti biasanya. (Baca: 70 Rekannya Meninggal, Kini Para Perawat Mulai Khawatir Tertular Covid-19)
Karena itu, dibutuhkan reformasi dalam mekanisme belanja pemerintah dalam jangka pendek. “Karena yang dikhawatirkan kita akan masuk resesi di kuartal tiga, tapi sampai kuartal empat masih belum bisa belanja juga,” ujar Aviliani dalam webinar Forum Diskusi Finansial kemarin.
Berikutnya, dia juga mengingatkan bahwa dalam penyaluran bantuan juga harus dimanfaatkan untuk membenahi sektor fiskal. Caranya dengan mewajibkan penerima bantuan memiliki nomor pokok wajib pajak demi meningkatkan wajib pajak.
Pemerintah Indonesia juga harus mencontoh Australia yang memiliki satu sumber data. “Manfaatnya signifikan karena semua bisa saling berbagi penggunaan dan membentuk satu kesatuan persepsi. Ini tidak terjadi di sini karena antarregulator memiliki perbedaan data dan persepsi masing-masing. Ini harusnya tidak boleh terjadi,” ujarnya. (Baca juga: Hamas Sebut Kesepakatan UEA-Israel Memalukan)
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan, di luar negeri seperti Singapura, bantuan langsung tunai diberikan kepada seluruh rumah tangga demi mengobati demand shock. Bila melihat negara lain, mereka memberikan bantuan tanpa membatasi jumlah gajinya.
Sementara di Indonesia tidak bisa melakukan hal seperti itu, karena adanya hambatan di fiskal. “Karena itu, kita butuh reformasi fiskal. Nantinya bila dibiarkan akan menjadi masalah besar dan akhirnya merusak sektor moneter yang sekarang masih aman saja,” ujar Anthony dalam kesempatan sama.
Lebih lanjut dia mengatakan, fokus utama bantuan langsung adalah menjaga pendapatan masyarakat agar tidak terjebak kemiskinan yang semakin parah. Pemerintah, menurutnya, jangan mengharapkan pertumbuhan ekonomi langsung muncul dengan menyalurkan bantuan langsung. “Negara besar lain jauh lebih besar bantuan tunai yang diberikan, tapi tetap resesi juga,” ujarnya.
Pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira mengatakan, bantuan dari pemerintah yang diperluas kepada kelas menengah di satu sisi memang dibutuhkan, tapi ada beberapa catatan yang wajib diperhatikan. Khususnya terkait dengan data masyarakat penerima yang masih membutuhkan verifikasi. (Baca juga: Gubernur Anies Bikin Bank DKI Borong Penghargaan)
“Apalagi dengan data BPJS Ketenagakerjaan diragukan, karena perusahaan banyak tidak jujur melaporkan gaji karyawan sesuai kondisi di lapangan. Ada yang gaji Rp10 juta didaftarkan jadi gaji Rp5 juta untuk mendapatkan iuran BPJS yang lebih ringan. Akibatnya program BSU ini pun rentan salah sasaran,” ujar Bhima.