Bentuk Apresiasi, BHR Ojol dan Kurir Tidak Bisa Dipaksakan
loading...

Modantara meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan pemberian BHR bagi ojek dan kurir online. FOTO/dok.SINDOnews
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia atau Modantara meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan pemberian Bonus Hari Raya (BHR) bagi ojek dan kurir online. Direktur Eksekutif Modantara Agung Yudha menyebut pemberian BHR sebenarnya tidak perlu dipaksakan.
Menurutnya, pemberian BHR harus terlebih dahulu mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri. Memaksakan kebijakan, kata Agung justru berisiko menciptakan masalah lebih besar, termasuk menghilangkan peluang ekonomi yang berdampak kepada jutaan masyarakat.
"Kami menghargai setiap upaya untuk mendukung mitra. Namun, kebijakan juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri dan fleksibilitas yang menjadi dasar ekosistem ini," kata Agung dalam pernyataannya, dikutip Rabu (19/3/2025).
"Memaksakan kebijakan yang tidak realistis justru berisiko menciptakan masalah lebih besar, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan hilangnya peluang ekonomi bagi jutaan masyarakat yang mengandalkan platform digital sebagai sumber penghasilan alternatif," lanjutnya.
Lebih lanjut, Agung menyampaikan terdapat ketidakselarasan antara poin-poin pada Surat Edaran (SE) Kemnaker Nomor M/3/HK.04.OANU2A25 dengan arahan dari Bapak Presiden dan cenderung tidak menggambarkan pemahaman terhadap kompleksitas industri dan ekosistem.
Ia menilai imbauan SE berbeda dengan arahan Presiden bahwa BHR diberikan kepada mitra aktif. Pemberian BHR kepada seluruh mitra terdaftar secara resmi ini disebutnya tidak mencerminkan keberpihakan kepada mitra yang telah bekerja keras.
"Bayangkan apakah adil jika mitra yang baru mendaftar kemarin atau baru menyelesaikan 1-2 order mendapatkan BHR. Apakah adil bagi rekannya yang sudah bekerja lebih lama dan lebih produktif. Padahal sangatlah umum di sektor manapun bonus diberikan berdasarkan kinerja dan pencapaian target, serta tergantung bagaimana kemampuan finansial perusahaan, bukan sekadar telah melakukan pendaftaran," ujar Agung.
Selain itu, perhitungan BHR sebesar 20% dari pendapatan rata-rata bulanan selama 12 bulan terakhir menurut Agung sangat memberatkan bagi sebagian besar platform. Terutama tanpa kejelasan definisi apa yang dimaksud “pendapatan bersih”, ketentuan ini justru bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian dalam implementasinya.
Belum lagi adanya himbauan dalam SE yang menyatakan BHR diberikan kepada seluruh mitra terdaftar secara resmi. Agung berpendapat, himbauan ini memberikan ekspektasi kepada mitra yang sudah lama tidak aktif atau aktif sebentar di berbagai platform namun terdaftar akan tetap memperoleh BHR.
Menurutnya, pemberian BHR harus terlebih dahulu mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri. Memaksakan kebijakan, kata Agung justru berisiko menciptakan masalah lebih besar, termasuk menghilangkan peluang ekonomi yang berdampak kepada jutaan masyarakat.
"Kami menghargai setiap upaya untuk mendukung mitra. Namun, kebijakan juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri dan fleksibilitas yang menjadi dasar ekosistem ini," kata Agung dalam pernyataannya, dikutip Rabu (19/3/2025).
"Memaksakan kebijakan yang tidak realistis justru berisiko menciptakan masalah lebih besar, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan hilangnya peluang ekonomi bagi jutaan masyarakat yang mengandalkan platform digital sebagai sumber penghasilan alternatif," lanjutnya.
Lebih lanjut, Agung menyampaikan terdapat ketidakselarasan antara poin-poin pada Surat Edaran (SE) Kemnaker Nomor M/3/HK.04.OANU2A25 dengan arahan dari Bapak Presiden dan cenderung tidak menggambarkan pemahaman terhadap kompleksitas industri dan ekosistem.
Ia menilai imbauan SE berbeda dengan arahan Presiden bahwa BHR diberikan kepada mitra aktif. Pemberian BHR kepada seluruh mitra terdaftar secara resmi ini disebutnya tidak mencerminkan keberpihakan kepada mitra yang telah bekerja keras.
"Bayangkan apakah adil jika mitra yang baru mendaftar kemarin atau baru menyelesaikan 1-2 order mendapatkan BHR. Apakah adil bagi rekannya yang sudah bekerja lebih lama dan lebih produktif. Padahal sangatlah umum di sektor manapun bonus diberikan berdasarkan kinerja dan pencapaian target, serta tergantung bagaimana kemampuan finansial perusahaan, bukan sekadar telah melakukan pendaftaran," ujar Agung.
Selain itu, perhitungan BHR sebesar 20% dari pendapatan rata-rata bulanan selama 12 bulan terakhir menurut Agung sangat memberatkan bagi sebagian besar platform. Terutama tanpa kejelasan definisi apa yang dimaksud “pendapatan bersih”, ketentuan ini justru bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian dalam implementasinya.
Belum lagi adanya himbauan dalam SE yang menyatakan BHR diberikan kepada seluruh mitra terdaftar secara resmi. Agung berpendapat, himbauan ini memberikan ekspektasi kepada mitra yang sudah lama tidak aktif atau aktif sebentar di berbagai platform namun terdaftar akan tetap memperoleh BHR.
Lihat Juga :