Independensi BI Tidak Bisa Diganggu Gugat Demi Menjaga Kepercayaan Pasar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ada dua isu yang beredar dalam seminggu terakhir, yaitu rencana pemerintah mengeluarkan perppu reformasi sektor serta draft RUU Bank Indonesia (BI) yang dikeluarkan oleh DPR yang berisikan rencana pembentukan dewan moneter .
Walaupun sekilas nampak sama, tetapi kedua isu ini sesungguhnya berbeda. Dari informasi yang saya dapatkan, pemerintah dan DPR mempersiapkan kedua hal tersebut secara terpisah.
(Baca Juga: Bahaya, Ekonom Sebut RUU Keuangan Bisa Amputasi Independensi BI )
Draft RUU DPR yang di dalamnya berisikan rencana pembentukan dewan moneter berasal dari badan legislative DPR. Draft ini masih sangat preliminary yang bahkan belum selesai dibahas di komisi XI. Oleh karena itu isu pembentukan dewan moneter dapat dikatakan belum menjadi kesepakatan di DPR apalagi menjadi kesepakatan DPR dengan pemerintah.
"Saya pribadi berharap rencana pembentukan dewan moneter tidak lagi muncul ke depannya. Pembentukan dewan moneter diyakini akan menggerus independensi Bank Sentral dan apabila itu terjadi akan berdampak negative terhadap sektor keuangan terutama lagi di tengah kondisi krisis saat ini yang disebabkan oleh wabah covid-19," jelas Pengamat Ekonom Piter Abdullah saat dihubungi di Jakarta senin.
Rencana pembentukan dewan moneter sebaiknya tidak lagi muncul dalam pembahasan di DPR. Amandemen UU BI, OJK dan juga LPS, sesungguhnya memang diperlukan setelah dikeluarkannya UU PPKSK pada tahun 2018 yang lalu.
Menurut dia, kebutuhan amandemen ini menjadi lebih terasa setelah kita mengalami tekanan yang luar biasa di tengah pandemi covid-19. Namun demikian, pemerintah dan DPR sangat perlu berhati-hati dalam melakukan amandemen, baik itu amandemen UU BI yang saat ini sudah masuk prolegnas strategis (yang artinya akan diutamakan), maupun amandemen UU OJK dan UU LPS.
(Baca Juga: Rencana Pembentukan Dewan Moneter Dianggap Sebagai Bentuk Kepanikan )
Piter mengatakan, hendaknya pemerintah tetap menempatkan amandemen ini untuk kepentingan jangka panjang, bukan kepentingan jangka pendek, hanya untuk mengantisipasi krisis akibat pandemic semata.
"Amandemen UU BI hendaknya (harus) tidak mengganggu gugat independent BI. Posisi BI sebagai Lembaga independent harus dipertahankan untuk menjaga kepercayaan pasar baik pasar domestic maupun (terutama) pasar internasional," ungkap dia.
Selain itu, Amandemen BI hendaknya ditujukan untuk memperkuat kewenangan BI, tetapi di sisi lainnya juga memberi ruang kepada pemerintah dan DPR bahkan masyarakat dalam meminta akuntabilitas BI khususnya terkait kebijakan BI yang sudah diambil.
Dengan demikian BI tetap independent dalam pengambilan kebijakan, namun lebih bertanggung jawab atau akuntabel. Penguatan aspek akuntabilitas BI ini bisa dilakukan dengan memperkuat posisi dan peran Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI). Pasca amandemen, sambung dia, BSBI hendaknya menjadi Lembaga yang tidak hanya mengawasi aspek operasionalnya BI.
Justru tugas pokok BSBI adalah melakukan analisis terhadap kebijakan yang diambil oleh BI dan melaporkannya kepada Presiden dengan tembusan kepada DPR. Atas dasar laporan BSBI, Presiden dan DPR dapat menilai kinerja dewan gubernur BI sekaligus bisa meminta pertangungjawaban atas kinerja tersebut.
Hal lain yang bisa dimasukkan dalam amandemen UU BI adalah terkait peran BI dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tugas BI idealnya tidak hanya mengurusi inflasi. "Namun demikian saya berpendapat tidak tepat juga apabila BI diberi tugas ikut menargetkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Karena BI tetap harus dalam posisi balancing terhadap pemerintah yang secara nature akan mengejar pertumbuhan jangka pendek," jelas Piter.
Akan lebih pas apabila fungsi BI menjaga stabilitas (inflasi) disandingkan dengan fungsi BI mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam jangka panjang. BI tidak hanya menjaga inflasi, tetapi juga mempertimbangkan target pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Di atas segalanya itu, BI melaksanakan tugasnya secara independent.
Walaupun sekilas nampak sama, tetapi kedua isu ini sesungguhnya berbeda. Dari informasi yang saya dapatkan, pemerintah dan DPR mempersiapkan kedua hal tersebut secara terpisah.
(Baca Juga: Bahaya, Ekonom Sebut RUU Keuangan Bisa Amputasi Independensi BI )
Draft RUU DPR yang di dalamnya berisikan rencana pembentukan dewan moneter berasal dari badan legislative DPR. Draft ini masih sangat preliminary yang bahkan belum selesai dibahas di komisi XI. Oleh karena itu isu pembentukan dewan moneter dapat dikatakan belum menjadi kesepakatan di DPR apalagi menjadi kesepakatan DPR dengan pemerintah.
"Saya pribadi berharap rencana pembentukan dewan moneter tidak lagi muncul ke depannya. Pembentukan dewan moneter diyakini akan menggerus independensi Bank Sentral dan apabila itu terjadi akan berdampak negative terhadap sektor keuangan terutama lagi di tengah kondisi krisis saat ini yang disebabkan oleh wabah covid-19," jelas Pengamat Ekonom Piter Abdullah saat dihubungi di Jakarta senin.
Rencana pembentukan dewan moneter sebaiknya tidak lagi muncul dalam pembahasan di DPR. Amandemen UU BI, OJK dan juga LPS, sesungguhnya memang diperlukan setelah dikeluarkannya UU PPKSK pada tahun 2018 yang lalu.
Menurut dia, kebutuhan amandemen ini menjadi lebih terasa setelah kita mengalami tekanan yang luar biasa di tengah pandemi covid-19. Namun demikian, pemerintah dan DPR sangat perlu berhati-hati dalam melakukan amandemen, baik itu amandemen UU BI yang saat ini sudah masuk prolegnas strategis (yang artinya akan diutamakan), maupun amandemen UU OJK dan UU LPS.
(Baca Juga: Rencana Pembentukan Dewan Moneter Dianggap Sebagai Bentuk Kepanikan )
Piter mengatakan, hendaknya pemerintah tetap menempatkan amandemen ini untuk kepentingan jangka panjang, bukan kepentingan jangka pendek, hanya untuk mengantisipasi krisis akibat pandemic semata.
"Amandemen UU BI hendaknya (harus) tidak mengganggu gugat independent BI. Posisi BI sebagai Lembaga independent harus dipertahankan untuk menjaga kepercayaan pasar baik pasar domestic maupun (terutama) pasar internasional," ungkap dia.
Selain itu, Amandemen BI hendaknya ditujukan untuk memperkuat kewenangan BI, tetapi di sisi lainnya juga memberi ruang kepada pemerintah dan DPR bahkan masyarakat dalam meminta akuntabilitas BI khususnya terkait kebijakan BI yang sudah diambil.
Dengan demikian BI tetap independent dalam pengambilan kebijakan, namun lebih bertanggung jawab atau akuntabel. Penguatan aspek akuntabilitas BI ini bisa dilakukan dengan memperkuat posisi dan peran Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI). Pasca amandemen, sambung dia, BSBI hendaknya menjadi Lembaga yang tidak hanya mengawasi aspek operasionalnya BI.
Justru tugas pokok BSBI adalah melakukan analisis terhadap kebijakan yang diambil oleh BI dan melaporkannya kepada Presiden dengan tembusan kepada DPR. Atas dasar laporan BSBI, Presiden dan DPR dapat menilai kinerja dewan gubernur BI sekaligus bisa meminta pertangungjawaban atas kinerja tersebut.
Hal lain yang bisa dimasukkan dalam amandemen UU BI adalah terkait peran BI dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tugas BI idealnya tidak hanya mengurusi inflasi. "Namun demikian saya berpendapat tidak tepat juga apabila BI diberi tugas ikut menargetkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Karena BI tetap harus dalam posisi balancing terhadap pemerintah yang secara nature akan mengejar pertumbuhan jangka pendek," jelas Piter.
Akan lebih pas apabila fungsi BI menjaga stabilitas (inflasi) disandingkan dengan fungsi BI mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam jangka panjang. BI tidak hanya menjaga inflasi, tetapi juga mempertimbangkan target pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Di atas segalanya itu, BI melaksanakan tugasnya secara independent.
(akr)