Simplifikasi Tarif Rokok Dikhawatirkan Bikin Asing Monopoli Pasar Tembakau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Upaya pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mereformasi fiskal lewat pembahasan simplifikasi tarif layer untuk Cukai Hasil Tembakau (CHT) masih menuai pro dan kontra. Pihak petani tembakau Jawa Barat menyatakan aturan ini hanya akan mematikan petani dan komoditas tembakau lokal.
Ketua APTI Jawa Barat Suryana yang menyatakan, yang diuntungkan dari hal ini adalah pabrikan asing dan skala besar. Pasalnya, ketika perusahaan golongan II dan III dipaksa naik kelas, akan ada gangguan pada serapan tembakau lokal. "Jika dibiarkan dan tetap dijalankan, maka akan mengarah ke monopoli, bukan lagi oligopoli seperti yang saat ini terjadi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (8/9/2020).
(Baca Juga: Perjuangan Petani Tembakau Tolak Simplifikasi Cukai Didukung Wamen Desa PDTT)
Suryana juga menyayangkan sikap Kementerian Keuangan yang dinilainya abai pada nasib petani. Lantaran, adanya wujud ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani, aturan ini akan membunuh petani. Sebab, pabrikan kecil dan menengah akan mati, karena tidak mampu melanjutkan produksinya. Otomatis pembelian bahan baku ke petani akan tersendat.
"Bisa juga, tembakau nasional dibeli dengan harga semurah-murahnya. Sementara, yang akan diuntungkan adalah pengusaha asing yang skalanya sudah besar, lalu pemerintah sendiri. Meskipun negara diuntungkan, pemerintah harus memperhitungkan juga kemungkinan timbulnya rokok ilegal," katanya.
Suryana juga memprediksi pemetaan industri tembakau ke depannya. Adapun, IHT akan semakin terpuruk. Pabrikan kecil akan kalah bersaing di pasaran sehingga tidak mampu untuk mengejar ke golongan I dan II. "Sekarang kan sudah oligopoli, kalau nanti diberlakukan akan terjadi monopoli," katanya.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo. Menurutnya aturan simplifikasi tarif cukai dan penggabungan volume produksi SKM dan SPM sudah sering dibahas oleh para ekonom di kalangan regulator, namun pihaknya menilai belum ada dampak positif yang akan dirasakan oleh perusahaan golongan II dan III atau kecil menengah.
"Menimbang dampak negatif ke tenaga kerja dan komoditas tembakau, karenanya kami minta lakukan penundaaan saat itu, karena dampaknya bisa dirasakan bertahap kepada pengangguran. Prediksi kami kalau tetap dilanjut, sentra-sentra tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah seperti Kudus dan Malang akan habis," tegasnya.
Firman juga menambahkan, simplifikasi tarif cukai kelak bisa berimbas pada pembentukan monopoli usaha yang didukung oleh negara, selain juga pengendalian harga rokok di masa mendatang oleh perusahaan-perusahaan golongan I.
"Nantinya yang akan mengerek bendera, ya perusahaan besar, merekalah yang akan menguasai market di dalam negeri. Dugaan saya akan oligopoli ini, lambat laun akan mengarah ke monopoli. Karena pabrikan rokok yang berada di golongan bawahnya tidak akan mampu melawan," tambahnya.
Ketua APTI Jawa Barat Suryana yang menyatakan, yang diuntungkan dari hal ini adalah pabrikan asing dan skala besar. Pasalnya, ketika perusahaan golongan II dan III dipaksa naik kelas, akan ada gangguan pada serapan tembakau lokal. "Jika dibiarkan dan tetap dijalankan, maka akan mengarah ke monopoli, bukan lagi oligopoli seperti yang saat ini terjadi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (8/9/2020).
(Baca Juga: Perjuangan Petani Tembakau Tolak Simplifikasi Cukai Didukung Wamen Desa PDTT)
Suryana juga menyayangkan sikap Kementerian Keuangan yang dinilainya abai pada nasib petani. Lantaran, adanya wujud ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani, aturan ini akan membunuh petani. Sebab, pabrikan kecil dan menengah akan mati, karena tidak mampu melanjutkan produksinya. Otomatis pembelian bahan baku ke petani akan tersendat.
"Bisa juga, tembakau nasional dibeli dengan harga semurah-murahnya. Sementara, yang akan diuntungkan adalah pengusaha asing yang skalanya sudah besar, lalu pemerintah sendiri. Meskipun negara diuntungkan, pemerintah harus memperhitungkan juga kemungkinan timbulnya rokok ilegal," katanya.
Suryana juga memprediksi pemetaan industri tembakau ke depannya. Adapun, IHT akan semakin terpuruk. Pabrikan kecil akan kalah bersaing di pasaran sehingga tidak mampu untuk mengejar ke golongan I dan II. "Sekarang kan sudah oligopoli, kalau nanti diberlakukan akan terjadi monopoli," katanya.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo. Menurutnya aturan simplifikasi tarif cukai dan penggabungan volume produksi SKM dan SPM sudah sering dibahas oleh para ekonom di kalangan regulator, namun pihaknya menilai belum ada dampak positif yang akan dirasakan oleh perusahaan golongan II dan III atau kecil menengah.
"Menimbang dampak negatif ke tenaga kerja dan komoditas tembakau, karenanya kami minta lakukan penundaaan saat itu, karena dampaknya bisa dirasakan bertahap kepada pengangguran. Prediksi kami kalau tetap dilanjut, sentra-sentra tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah seperti Kudus dan Malang akan habis," tegasnya.
Firman juga menambahkan, simplifikasi tarif cukai kelak bisa berimbas pada pembentukan monopoli usaha yang didukung oleh negara, selain juga pengendalian harga rokok di masa mendatang oleh perusahaan-perusahaan golongan I.
"Nantinya yang akan mengerek bendera, ya perusahaan besar, merekalah yang akan menguasai market di dalam negeri. Dugaan saya akan oligopoli ini, lambat laun akan mengarah ke monopoli. Karena pabrikan rokok yang berada di golongan bawahnya tidak akan mampu melawan," tambahnya.