Peduli Lingkungan, Yomi Ubah Minyak Jelantah Jadi Sabun

Sabtu, 12 September 2020 - 14:15 WIB
loading...
Peduli Lingkungan, Yomi Ubah Minyak Jelantah Jadi Sabun
Yomi Windi Asni, warga Bantul, Yogyakarta, mengubah minyak jelantah menjadi Sabun Langis, sabun cuci ramah lingkungan yang juga aman untuk kain batik dan lurik. Foto/dok
A A A
BANTUL - Siapa yang tidak tahu minyak jelantah? Minyak bekas menggoreng ini seringnya berbau amis, berwarna hitam pekat, dan memiliki banyak remehan sisa gorengan. Karena itu, sering kali kita membuangnya begitu saja. Namun, ternyata hal tersebut tidak baik bagi lingkungan.

Maka, jika berkunjung ke bank sampah, selain mengumpulkan sampah-sampah plastik, anggota bank sampah pun kerap mengumpulkan minyak jelantah. Bagi pengguna biodiesel, minyak jelantah ini amat dibutuhkan. (Baca: Mahfud MD Kembali Tegaskan Pemerintah Tak Akan Menunda Pilkada 2020)

Selain untuk biodiesel, minyak jelantah juga bisa menjadi sabun cuci. Tidak percaya? Tanyakan saja kepada Yomi Windi Asni, warga Bantul, Yogyakarta, yang mengubah minyak jelantah menjadi Sabun Langis, sabun cuci ramah lingkungan yang juga aman untuk kain batik dan lurik.

Kegiatan ini bermula saat Yomi mengurus bank sampah, tepatnya di Kecamatan Banguntapan, Bantul. Sebelum fokus pada minyak jelantah, dia sangat peduli lingkungan, juga ekonomi masyarakat.

"Kita edukasi masyarakat sekitar. Pertama dari mereka yang berkomitmen jadi pengurus. Mereka akan menyebarluaskan lagi ke masyarakat. Mulai belajar memilah sampah, jenis-jenis plastik kita pisahkan, lalu kita cari pengepul nanti mereka yang ambil," ungkapnya.

Begitu juga dengan minyak jelantah, sebelum tercipta ide membuat sabun, minyak jelantah dijual ke pengepul. Mereka biasanya menyalurkan lagi untuk alat biodiesel.

Bertekad untuk terus memberdayakan masyarakat, Yomi pun mengikuti kelas bisnis. Di sana, dia diminta untuk mencari potensi lingkungan. "Saya masih bingung dan terus mencari apa yang bisa dibuat sesuatu bernilai ekonomis. Saya belum ada ketertarikan untuk kerajinan tangan. Akhirnya, minyak jelantah yang saya pilih, karena barangnya banyak. Dalam sebulan bisa sampai 40 liter," ujarnya.

Prosesnya empat bulan mencoba bereksperimen dari yang masih berbau amis, masih belum friendly, hingga kini sudah seperti sabun pada umumnya.

Kini Sabun Langis pun dipromosikan melalui edukasi lingkungan yang diawali dengan mengedukasi minyak jelantah yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Kemudian edukasi menggunakan sabun cuci yang juga ramah lingkungan. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)

Yuki juga kerap mengajarkan cara membuat sabun kepada para pengurus bank sampah. Baginya, tidak masalah jika ada yang ingin membuat sabun cuci serupa, bahkan ke depannya pelatihan cara pembuatan juga akan digelar untuk warga.

"Perempuan bisa berdaya sekaligus menjaga lingkungan. Ibu rumah tangga yang ingin lingkungannya bersih dan mampu menambah penghasilan dari mengumpulkan sampah bisa melalui bank sampah. Ingin wirausaha juga bisa dengan membuat sabun cuci dari minyak jelantah," paparnya.

Sejak berdiri pada 2017-2018, bank sampah sudah memberikan dampak kepada masyarakat. Sampah dari masyarakat dapat dijual dan disimpan sebagai tabungan. Uang tabungan dapat diambil setahun sekali, juga dapat dipinjamkan kepada anggota lain.

Tabungan itu juga bisa diambil dalam bentuk sembako sehingga mereka dapat membeli kebutuhan makan tanpa harus mengeluarkan uang. Atau, hanya dipotong tabungan dari hasil menyerahkan sampah rumah tangga mereka.

“Bank sampah kami juga sudah menghasilkan pupuk kompos yang digunakan di rumah. Memang belum dikomersialkan. Namun, ke depannya kami berharap jika kapasitas pupuk kompos itu besar, bisa kami hadirkan nilai ekonomisnya," ucapnya.

Tujuan membangun bisnis salah satunya dengan membuka pekerjaan bagi banyak orang. Seperti yang dilakukan Merry Sasmita, pemilik My Qeena by Kirana asal Bogor. (Baca juga: Virus Corona Intai Pembalap Tour de France 2020)

Saat pindah ke Kampung Tegal Waru, Ciampea, Bogor, Merry dan suami melihat banyak tetangganya berprofesi sebagai perajin tas. Saat itu, Merry belum terpikir untuk mencoba usaha tas karena masih memiliki bisnis di bidang lain. Sampai akhirnya dia memutuskan membuat tas dengan brand lokal dengan kualitas yang bagus.

"Selama ini saya melihat mereka membuat tas KW dari merek dunia dengan kualitas standar, karena mereka membuat dalam jumlah banyak. Kenapa enggak kita coba bikin tas buatan sendiri dengan kualitas tinggi dan tidak kalah dengan brand besar?" ujar ibu dua anak ini.

Mulai 2013 Merry mengajak 200 perajin untuk bergabung. Di situlah tantangan bagaimana mengubah kebiasaan jahitan menjadi lebih rapi dan awet.

Desain tas pun didiskusikan kepada pembuat pola, kemudian dibuatkan satu tas jika bagus kemudian diproduksi massal. Setiap perajin dapat mengerjakan tas di rumah masing-masing, bahkan beberapa dari mereka turut dibantu istri untuk finishing.

"Jika tidak punya mesin, saya sediakan mesin di sebuah rumah. Bahan baku serta aksesori kami sediakan semua. Pembayaran dengan sistem berapa tas yang mereka hasilkan. Kalau tidak ada modal, bisa kami DP dulu," tandasnya.

Bukan hanya perajin, karyawan Merry lainnya seperti admin dan bagian packing pun berasal dari tetangga yang sesuai dengan kualifikasi. Mereka diberdayakan guna mengirim tas kepada distributor dan agen di seluruh Indonesia. (Lihat videonya: Razia Masker, Banyak Pengendara Motor Nekat Kabur)

Dengan pencapaiannya itu kini bukan hanya brand tasnya sudah mulai dikenal, Merry juga bahagia dapat membantu para tetangga di kampungnya hingga di kampung sebelah untuk turut membantu kehidupan mereka. (Ananda Nararya)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2328 seconds (0.1#10.140)