Optimistis Tumbuh Positif 2021

Jum'at, 18 September 2020 - 06:02 WIB
loading...
Optimistis Tumbuh Positif 2021
Foto/Koran SINDO
A A A
LONDON - Imbas pandemi corona (Covid-19) ternyata tidak seburuk yang diprediksi. Karena itulah perekonomian dunia yang saat ini menyusut bisa segera bangkit dan tumbuh pada tahun depan.

Optimisme itu berdasarkan laporan terbaru Organisasi Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi (OECD). Lembaga yang berkantor pusat di Prancis itu memperkirakan ekonomi dunia akan turun 4,5% tahun ini dan naik 5% tahun 2021. Padahal beberapa bulan sebelumnya OECD memperkirakan ekonomi global akan anjlok hingga 6% dan naik 5,2% tahun depan. (Baca: Pejabat Publik Diminta Terbuka Apabila Terpapar Covid-19)

Namun optimisme itu tentu berdasarkan kondisi pandemi bisa dihentikan tahun depan, termasuk vaksinasi sudah berjalan secara masif. Selain itu prediksi ini juga memicu pertanyaan karena penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi berasal dari Amerika Serikat (AS) dan China. Negara Eropa hanya naik sedikit. Adapun Meskiko, Argentina, India, dan Indonesia tidak berkembang signifikan.

“Perbedaan perkembangan itu mencerminkan adanya perbedaan tingkat keparahan pandemi, tingkat kesuksesan penanggulangan, dan antisipasi dampak Covid-19 terhadap ekonomi negara,” ungkap OECD seperti dikutip CNN. “Negara yang lebih dulu terserang wabah dan lebih dulu terbebas kemungkinan bisa lebih sukses,” lanjutnya.

OECD membenarkan outlook ini bergantung pada trayek wabah Covid-19 dan kebijakan pemerintah, baik yang berkaitan dengan ekonomi ataupun kesehatan. Upaya pemulihan ekonomi global juga telah kehilangan momentum pada beberapa bulan lalu setelah lockdown diperlonggar dan aktivitas bisnis dibuka.

“Ketidakpastian masih tinggi dan kepercayadirian masih rendah, tapi berbagai negara di dunia sedang berupaya bangkit dan terbebas dari keterpurukan,” ungkap OECD. “Di sebagian besar negara, pertumbuhan ekonomi pada akhir 2021 diproyeksikan akan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan akhir 2019,” imbuhnya.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melihat tidak mudah membangkitkan ekonomi secara cepat. Dalam pandangannya pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah dalam upaya penanganan Covid-19 masih terlalu awal. (Baca juga: Meremehkan Dosa Awal Datangnya Musibah dan Bencana)

Apalagi kondisi perekonomian secara global masih rentan dan penuh ketidakpastian akibat wabah virus asal Wuhan tersebut. “Ini masih sangat dini dan terlalu rentan bagi kita melihat pemulihan ekonomi,” ujar Menkeu Sri Mulyani dalam video yang diunggah LPS kemarin.

Menurutnya, jika pemerintah sudah mendapatkan harapan akan mendapatkan vaksin pada akhir tahun, itu semua belum cukup untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Sebab vaksin itu membutuhkan waktu penyembuhan lebih lama bagi banyak negara.

“Because Covid masih di sini bersama kita, meskipun banyak hope dan diskusi mengenai vaksin, ini membutuhkan waktu lebih lama bagi banyak negara,” bebernya.

Mantan Direktur Bank Dunia itu kemudian menggariskan, kontraksi ekonomi Indonesia bukan berarti situasi menjadi buruk karena Indonesia masih lebih baik bila dibandingkan dengan negara lain.

“Indonesia masih dealing dengan ketidakpastian ini, meskipun jika dibandingkan negara-negara lain kontraksi ekonomi kita pada kuartal II mencapai 5,3%, lebih mild daripada negara lain yang kontraksinya lebih dalam,” tandasnya. (Baca juga: Karpet Merah Terbentang untuk Kampus Asing)

Berdasarkan laporan OECD, China menjadi satu-satunya negara G-20 yang diproyeksikan mengalami kenaikan 1,8% tahun ini, sedangkan AS 3,8%. Ritel di China, terutama e-commerce, mengalami kenaikan besar. Sementara itu 19 negara Eropa yang menggunakan mata uang euro akan mengalami penurunan sekitar 7,9%.

Sebaliknya Afrika Selatan (Afsel) diproyeksikan mengalami penurunan hingga 11,5% tahun ini. Adapun Meksiko dan India turun 10,2%. Negara maju seperti Italia juga tidak luput dari resesi dan akan mengalami penurunan sebesar 10,5% setelah menjadi pusat pandemi di Eropa. Angka pendapatannya menurun.

Kondisi ASEAN

Pandemi corona telah membuat kawasan Asia Tenggara (ASEAN) mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi terbesar sejak krisis moneter Asia pada 1997 lalu. Negara yang berhasil mengendalikan wabah lebih cepat, ekonominya juga akan bangkit lebih cepat.

Berdasarkan laporan Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW), laju pertumbuhan di kawasan Asia diperkirakan akan menyusut sebesar 4,2% pada 2020 ini. Karena itu upaya pemulihan ekonomi di Asia Tenggara akan lebih panjang dan lama.

Kondisi ini diperparah dengan ketegangan hubungan dagangan AS-China yang masih berlangsung hingga saat ini. “Perlambatan jangka panjang dalam aktivitas perdagangan global dan pandemi korona yang berkepanjangan turut membebani prospek pertumbuhan kawasan ini,” ungkap Direktur Regional ICAEW, Tiongkok Raya dan Asia Tenggara Mark Billington dalam laporan bertajuk Global Economic Outlook Report dari Oxford Economics, di Jakarta, kemarin. (Baca juga: Tidur Buruk Terkait dengan Penambahan Berat Badan)

Laporan tersebut memperlihatkan bahwa meski aktivitas ekonomi berangsur normal kembali dengan pertumbuhan diperkirakan akan pulih menuju angka 6,4% pada 2021, laju pemulihan ekonomi selama paruh kedua tahun 2020 akan bervariasi di kawasan Asia Tenggara. Hal ini bergantung pada pelonggaran kebijakan pembatasan sosial dan peningkatan permintaan ekspor tiap negara.

Menurut dia, kawasan Asia Tenggara menunjukkan kecepatan pemulihan yang bervariasi pada paruh kedua 2020. Untuk memastikan kebangkitan ekonomi di seluruh kawasan, sangat penting bagi negara-negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN seperti Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia untuk melakukan pemulihan yang stabil.

Namun tingkat keberhasilan yang berbeda-beda dalam mengatasi wabah Covid-19 dan kebijakan pelonggaran pembatasan sosial yang juga bervariasi akan memperbesar disparitas dalam pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Meskipun ekonomi setiap negara menderita akibat krisis, imbuhnya, struktur ekonomi kawasan ASEAN yang unik menunjukkan bahwa krisis telah memberikan dampak yang berbeda di setiap negara. (Baca juga: Barcelona Rayakan 20 Tahun Karir Lionel Messi)

Sementara itu Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) melaporkan pandemi Covid-19 mengakibatkan kerentanan ekonomi secara serius di seluruh Asia Pasifik. Adapun wabah tersebut membuat kemiskinan global meningkat, layanan publik tegang, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan.

Presiden ADB Masatsugu Asakawa memperkirakan ekonomi 33 dari 46 negara berkembang akan berkontraksi tahun ini. Akibatnya pertumbuhan ekonomi menyusut dan ketimpangan meningkat.

Menurut dia, pemerintah harus mengamankan sumber daya keuangan tambahan untuk mempersiapkan diri menghadapi potensi gelombang pandemi berikutnya sembari juga mengembalikan lintasan pertumbuhan mereka ke jalur yang tepat untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Investasi lebih lanjut dalam pendidikan, kesehatan, dan memerangi perubahan iklim sangat dibutuhkan. “Ini membawa saya pada subjek yang telah menyatukan kita hari ini. Saya sangat yakin bahwa salah satu kunci keberhasilan dalam mencapai SDGs di dunia yang dibentuk kembali oleh Covid-19 terletak pada penguatan mobilisasi pendapatan domestik atau DRM dan kerja sama pajak internasional, atau ITC,” jelasnya pada webinar kemarin.

Dia menambahkan ekonomi Indonesia minus 1% di tahun ini. Proyeksi ini menurun dibandingkan laporan April 2020 di mana ADB memproyeksi ekonomi Indonesia masih positif 2,5%. (Lihat videonya: Longsor 18 Meter, 5 Kios di Jagakarsa Ambruk)

“Karena infeksi Covid-19 terus meningkat di beberapa negara, terutama Indonesia dan Filipina, dan wabah mengejutkan muncul kembali di tempat lain di sub-kawasan tersebut, terutama di Vietnam, pemulihan ekonomi berjalan lambat dan menyulitkan,” tandasnya. (Rina Anggraeni/Michelle Natalia/Muh Shamil)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1527 seconds (0.1#10.140)