RUU Ciptaker Dinilai Mengancam Keberlanjutan Hutan, Raksasa Sawit Diam-diam Dukung
loading...
A
A
A
JAKARTA - Salah satu stimulus yang terkandung RUU Cipta Kerja (Ciptaker) diyakini berpotensi memperburuk situasi deforestasi di Indonesia dan menghapus serangkaian keberhasilan yang telah diraih dalam upaya pencegahan hilangnya kawasan hutan (deforestasi). Dimana praktik produksi minyak sawit diklaim telah lebih bertanggung jawab.
“RUU ini menimbulkan ancaman besar bagi hutan Indonesia dan berisiko menyebabkan kerugian ekonomi yang tak terhingga bagi industri minyak sawit setempat-sebuah industri yang keberhasilannya bergantung pada pemenuhan ekspektasi produksi untuk pasar internasional,” kata Direktur Kampanye Senior Mighty Earth, Phelim Kine.
(Baca Juga: RUU Cipta Kerja Berpotensi Tak Ramah Kelestarian Lingkungan )
“Para petinggi perusahaan minyak sawit raksasa harus menjelaskan kepada masyarakat luas bahwa RUU ini menghancurkan semua kemajuan yang telah mereka raih dalam menurunkan tingkat deforestasi terkait produksi minyak sawit serta mampu menyebabkan kemunduran yang signifikan bagi industri tersebut," sambungnya.
Beragam kemajuan yang telah dicapai oleh industri kelapa sawit dalam mengurangi tingkat deforestasi dan perusakan lahan gambut di Indonesia dinilai tak lain berkat tekanan dan keterlibatan dari pembeli, pemodal, kelompok masyarakat sipil, masyarakat adat dan komunitas yang berjuang di garis depan. Terang Phelim hal itu menjadi titik terang dalam upaya mengatasi tren deforestasi global yang kini tengah berlangsung.
Setidaknya 83% kilang minyak sawit di Indonesia dan Malaysia telah menyatakan komitmennya untuk mengimplementasi kebijakan “Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi” (NDPE). Ini merupakan peningkatan yang sangat baik, mengingat pada bulan November 2017 lalu, baru 74% kilang di kedua negara tersebut yang mengemukakan komitmen mereka.
(Baca Juga: Bahlil Buka-bukaan, Ada Hantu di Pembiayaan Izin Amdal )
Meskipun belum dijalani sepenuhnya, komitmen ini telah menyebabkan penurunan laju deforestasi terkait minyak sawit di Indonesia dari satu juta hektar per tahun menjadi kurang dari 250.000 hektar dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Berdasarkan kajian organisasi pemantau hutan nonpemerintah Global Forest Watch, angka deforestasi di Indonesia telah menyusut ke tingkat terendah sejak tahun 2003.
Akan tetapi, semua pencapaian tersebut akan sia-sia jika DPR RI menyetujui RUU Omnibus sebelum berakhirnya masa jabatan legislatif periode ini yang jatuh pada tanggal 9 Oktober 2020. Menurut para analis, RUU tersebut mengandung sejumlah ketentuan yang diprediksi akan memperburuk tingkat deforestasi di Indonesia dan mengakibatkan rusaknya reputasi sektor minyak sawit secara internasional.
Kajian dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asal Indonesia Madani juga memastikan bahwa RUU tersebut akan melemahkan perlindungan hukum untuk hutan alam di Indonesia dan berpotensi menyebabkan bencana berskala besar, termasuk kerusakan signifikan terhadap tutupan hutan alam di provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Jawa Tengah dalam dua hingga tiga dekade mendatang.
(Baca Juga: Bahlil: Ngurus Amdal di Sini 2 Tahun, di Vietnam Pabriknya Sudah Jadi )
Sejumlah ketentuan yang dinilai bermasalah dalam RUU Cipta Kerja tersebut meliputi: Dilonggarkannya persyaratan untuk melakukan peninjauan dampak lingkungan dari proyek industri dan agribisnis.
Diperkuatnya wewenang pemerintah pusat untuk menyetujui bisnis dan investasi di kawasan hutan dan lahan gambut yang telah ditunjuk secara resmi – meskipun saat ini tengah diberlakukan moratorium deforestasi di kawasan-kawasan tersebut.
Dihapusnya persyaratan yang mewajibkan setiap provinsi untuk mengalokasikan dan mempertahankan setidaknya 30% dari keseluruhan lahan milik provinsi tersebut sebagai tutupan hutan, dan sebaliknya malah mengizinkan masing-masing pemerintah provinsi untuk menetapkan standar mereka sendiri "secara proporsional".
Lalu Dihilangkannya tanggung jawab dan kewajiban hukum yang berlaku ketat bagi setiap perusahaan yang di areal konsesinya terjadi karhutla (kebakaran lahan dan hutan). Regulasi ini berperan sebagai insentif utama bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk mencegah dan memadamkan kebakaran yang mungkin terjadi serta menahan diri untuk tidak membakar lahan milik mereka sendiri.
Pemerintah telah membenarkan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut – yang mencakup penyisipan 174 pasal baru ke dalam 79 undang-undang yang mengatur bidang-bidang termasuk perpajakan, ketenagakerjaan, investasi dan lingkungan – merupakan instrumen penting untuk menciptakan lapangan kerja baru di tengah situasi pandemi virus Corona yang terjadi saat ini.
Ironisnya, ketentuan lingkungan yang bermasalah dalam RUU tersebut justru dapat memperburuk prospek ekonomi industri kelapa sawit. Importir utama minyak sawit seperti Uni Eropa dan Inggris saat ini tengah mempertimbangkan untuk memberlakukan standar lingkungan yang ketat perihal impor pertanian, termasuk juga minyak sawit.
Penerapan kebijakan “Tanpa Deforestasi, Tanpa Lahan Gambut, Tanpa Eksploitasi” (NDPE) telah banyak membantu produsen minyak sawit di Indonesia memenuhi standar tersebut. Pengesahan RUU Cipta Kerja ini kemungkinan besar akan mengakibatkan melonjaknya praktik deforestasi yang dilakukan oleh produsen minyak sawit serta mencemari nama baik industri minyak sawit dan juga para pelanggannya.
Unsur-unsur pro-deforestasi pada RUU tersebut juga dinilai mengabaikan moratorium pembukaan hutan untuk pembangunan perkebunan dan kayu yang ditetapkan secara permanen oleh Pemerintah Indonesia pada bulan Agustus 2019 lalu.
Terlepas dari reputasi dan ekonomi yang dipertaruhkan, perusahaan minyak sawit raksasa seperti Wilmar, Golden Agri, Musim Mas, Bunge, Sime Darby dan Louis Dreyfus dianggap gagal dalam menyuarakan keprihatinan mereka tentang RUU Cipta Kerja. Sementara itu, perusahaan produsen barang konsumen seperti Unilever dan Nestlé, yang telah berkomitmen pada kebijakan NDPE, juga tak bersuara mengenai pembahasan RUU tersebut.
Namun, tak semua perusahaan minyak sawit raksasa memilih diam dalam persoalan RUU tersebut. PT Astra Agro Lestari Tbk, yang merupakan anak perusahaan konglomerat asal Inggris Jardine Matheson, telah menyatakan dukungannya terhadap RUU Cipta Kerja.
Astra Agro Lestari adalah produsen minyak sawit terbesar kedua di Indonesia dan, melalui Wakil Presiden Direktur Joko Supriyono yang juga menjabat sebagai Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), memiliki pengaruh yang sangat besar baik di sektor minyak sawit maupun pemerintah Indonesia.
Meskipun Astra telah menerapkan kebijakan Nol Deforestasi pada tahun 2015, pada Februari 2020, Supriyono menyatakan dirinya mendukung penuh RUU Cipta Kerja sebagai "solusi atas rumitnya perizinan di sektor kelapa sawit.”
Supriyono menambahkan, “GAPKI harus menjadi bagian dari lahirnya Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) dengan turut aktif berkontribusi di dalamnya. Ini tak lain demi kepentingan sektor sawit nasional.”
Dengan menyatakan dukungannya tersebut, GAPKI, Supriyono dan Astra Agro Lestari telah mengabaikan dampak yang disebabkan oleh RUU Cipta Kerja terhadap kawasan hutan di Indonesia.
Sektor kelapa sawit harus segera menyadarkan pemerintah Indonesia akan bahaya yang ditimbulkan oleh RUU Cipta Kerja, terutama karena kajian dari pihak pemerintah sendiri mengenai substansi dan implikasi RUU tersebut dinilai belum memadai.
Pada bulan Juli lalu, sebuah koalisi yang terdiri dari sejumlah kelompok lingkungan serta masyarakat sipil di Indonesia mengangkat kegagalan tersebut dalam surat publik yang ditujukan kepada pemodal domestik dan internasional.
Dalam surat tersebut, mereka memperingatkan bahwa pengesahan RUU tersebut akan menyebabkan “hukum dan peraturan Indonesia yang berlaku tidak lagi mematuhi regulasi pengamanan lingkungan dan sosial yang diakui secara global."
Sektor minyak sawit memiliki peluang besar untuk mencegah dampak ekonomi dan lingkungan jangka panjang yang ditimbulkan oleh RUU tersebut dengan mengambil langkah-langkah berikut:
Segera menyampaikan keprihatinannya atas unsur-unsur RUU yang dianggap merusak agenda konservasi hutan dan HAM kepada Presiden Jokowi dan DPR. RIMendesak Pemerintah untuk menghentikan proses pembahasan RUU tersebut hingga konsultasi yang memadai telah dilakukan dengan kelompok lingkungan dan masyarakat sipil.
Mengadvokasi kebijakan lingkungan dan pertanian yang mendorong pertumbuhan ekonomi serta melestarikan hutan dan lahan gambut dan mengakui hak tanah masyarakat adat.
“RUU ini menimbulkan ancaman besar bagi hutan Indonesia dan berisiko menyebabkan kerugian ekonomi yang tak terhingga bagi industri minyak sawit setempat-sebuah industri yang keberhasilannya bergantung pada pemenuhan ekspektasi produksi untuk pasar internasional,” kata Direktur Kampanye Senior Mighty Earth, Phelim Kine.
(Baca Juga: RUU Cipta Kerja Berpotensi Tak Ramah Kelestarian Lingkungan )
“Para petinggi perusahaan minyak sawit raksasa harus menjelaskan kepada masyarakat luas bahwa RUU ini menghancurkan semua kemajuan yang telah mereka raih dalam menurunkan tingkat deforestasi terkait produksi minyak sawit serta mampu menyebabkan kemunduran yang signifikan bagi industri tersebut," sambungnya.
Beragam kemajuan yang telah dicapai oleh industri kelapa sawit dalam mengurangi tingkat deforestasi dan perusakan lahan gambut di Indonesia dinilai tak lain berkat tekanan dan keterlibatan dari pembeli, pemodal, kelompok masyarakat sipil, masyarakat adat dan komunitas yang berjuang di garis depan. Terang Phelim hal itu menjadi titik terang dalam upaya mengatasi tren deforestasi global yang kini tengah berlangsung.
Setidaknya 83% kilang minyak sawit di Indonesia dan Malaysia telah menyatakan komitmennya untuk mengimplementasi kebijakan “Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi” (NDPE). Ini merupakan peningkatan yang sangat baik, mengingat pada bulan November 2017 lalu, baru 74% kilang di kedua negara tersebut yang mengemukakan komitmen mereka.
(Baca Juga: Bahlil Buka-bukaan, Ada Hantu di Pembiayaan Izin Amdal )
Meskipun belum dijalani sepenuhnya, komitmen ini telah menyebabkan penurunan laju deforestasi terkait minyak sawit di Indonesia dari satu juta hektar per tahun menjadi kurang dari 250.000 hektar dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Berdasarkan kajian organisasi pemantau hutan nonpemerintah Global Forest Watch, angka deforestasi di Indonesia telah menyusut ke tingkat terendah sejak tahun 2003.
Akan tetapi, semua pencapaian tersebut akan sia-sia jika DPR RI menyetujui RUU Omnibus sebelum berakhirnya masa jabatan legislatif periode ini yang jatuh pada tanggal 9 Oktober 2020. Menurut para analis, RUU tersebut mengandung sejumlah ketentuan yang diprediksi akan memperburuk tingkat deforestasi di Indonesia dan mengakibatkan rusaknya reputasi sektor minyak sawit secara internasional.
Kajian dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asal Indonesia Madani juga memastikan bahwa RUU tersebut akan melemahkan perlindungan hukum untuk hutan alam di Indonesia dan berpotensi menyebabkan bencana berskala besar, termasuk kerusakan signifikan terhadap tutupan hutan alam di provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Jawa Tengah dalam dua hingga tiga dekade mendatang.
(Baca Juga: Bahlil: Ngurus Amdal di Sini 2 Tahun, di Vietnam Pabriknya Sudah Jadi )
Sejumlah ketentuan yang dinilai bermasalah dalam RUU Cipta Kerja tersebut meliputi: Dilonggarkannya persyaratan untuk melakukan peninjauan dampak lingkungan dari proyek industri dan agribisnis.
Diperkuatnya wewenang pemerintah pusat untuk menyetujui bisnis dan investasi di kawasan hutan dan lahan gambut yang telah ditunjuk secara resmi – meskipun saat ini tengah diberlakukan moratorium deforestasi di kawasan-kawasan tersebut.
Dihapusnya persyaratan yang mewajibkan setiap provinsi untuk mengalokasikan dan mempertahankan setidaknya 30% dari keseluruhan lahan milik provinsi tersebut sebagai tutupan hutan, dan sebaliknya malah mengizinkan masing-masing pemerintah provinsi untuk menetapkan standar mereka sendiri "secara proporsional".
Lalu Dihilangkannya tanggung jawab dan kewajiban hukum yang berlaku ketat bagi setiap perusahaan yang di areal konsesinya terjadi karhutla (kebakaran lahan dan hutan). Regulasi ini berperan sebagai insentif utama bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk mencegah dan memadamkan kebakaran yang mungkin terjadi serta menahan diri untuk tidak membakar lahan milik mereka sendiri.
Pemerintah telah membenarkan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut – yang mencakup penyisipan 174 pasal baru ke dalam 79 undang-undang yang mengatur bidang-bidang termasuk perpajakan, ketenagakerjaan, investasi dan lingkungan – merupakan instrumen penting untuk menciptakan lapangan kerja baru di tengah situasi pandemi virus Corona yang terjadi saat ini.
Ironisnya, ketentuan lingkungan yang bermasalah dalam RUU tersebut justru dapat memperburuk prospek ekonomi industri kelapa sawit. Importir utama minyak sawit seperti Uni Eropa dan Inggris saat ini tengah mempertimbangkan untuk memberlakukan standar lingkungan yang ketat perihal impor pertanian, termasuk juga minyak sawit.
Penerapan kebijakan “Tanpa Deforestasi, Tanpa Lahan Gambut, Tanpa Eksploitasi” (NDPE) telah banyak membantu produsen minyak sawit di Indonesia memenuhi standar tersebut. Pengesahan RUU Cipta Kerja ini kemungkinan besar akan mengakibatkan melonjaknya praktik deforestasi yang dilakukan oleh produsen minyak sawit serta mencemari nama baik industri minyak sawit dan juga para pelanggannya.
Unsur-unsur pro-deforestasi pada RUU tersebut juga dinilai mengabaikan moratorium pembukaan hutan untuk pembangunan perkebunan dan kayu yang ditetapkan secara permanen oleh Pemerintah Indonesia pada bulan Agustus 2019 lalu.
Terlepas dari reputasi dan ekonomi yang dipertaruhkan, perusahaan minyak sawit raksasa seperti Wilmar, Golden Agri, Musim Mas, Bunge, Sime Darby dan Louis Dreyfus dianggap gagal dalam menyuarakan keprihatinan mereka tentang RUU Cipta Kerja. Sementara itu, perusahaan produsen barang konsumen seperti Unilever dan Nestlé, yang telah berkomitmen pada kebijakan NDPE, juga tak bersuara mengenai pembahasan RUU tersebut.
Namun, tak semua perusahaan minyak sawit raksasa memilih diam dalam persoalan RUU tersebut. PT Astra Agro Lestari Tbk, yang merupakan anak perusahaan konglomerat asal Inggris Jardine Matheson, telah menyatakan dukungannya terhadap RUU Cipta Kerja.
Astra Agro Lestari adalah produsen minyak sawit terbesar kedua di Indonesia dan, melalui Wakil Presiden Direktur Joko Supriyono yang juga menjabat sebagai Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), memiliki pengaruh yang sangat besar baik di sektor minyak sawit maupun pemerintah Indonesia.
Meskipun Astra telah menerapkan kebijakan Nol Deforestasi pada tahun 2015, pada Februari 2020, Supriyono menyatakan dirinya mendukung penuh RUU Cipta Kerja sebagai "solusi atas rumitnya perizinan di sektor kelapa sawit.”
Supriyono menambahkan, “GAPKI harus menjadi bagian dari lahirnya Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) dengan turut aktif berkontribusi di dalamnya. Ini tak lain demi kepentingan sektor sawit nasional.”
Dengan menyatakan dukungannya tersebut, GAPKI, Supriyono dan Astra Agro Lestari telah mengabaikan dampak yang disebabkan oleh RUU Cipta Kerja terhadap kawasan hutan di Indonesia.
Sektor kelapa sawit harus segera menyadarkan pemerintah Indonesia akan bahaya yang ditimbulkan oleh RUU Cipta Kerja, terutama karena kajian dari pihak pemerintah sendiri mengenai substansi dan implikasi RUU tersebut dinilai belum memadai.
Pada bulan Juli lalu, sebuah koalisi yang terdiri dari sejumlah kelompok lingkungan serta masyarakat sipil di Indonesia mengangkat kegagalan tersebut dalam surat publik yang ditujukan kepada pemodal domestik dan internasional.
Dalam surat tersebut, mereka memperingatkan bahwa pengesahan RUU tersebut akan menyebabkan “hukum dan peraturan Indonesia yang berlaku tidak lagi mematuhi regulasi pengamanan lingkungan dan sosial yang diakui secara global."
Sektor minyak sawit memiliki peluang besar untuk mencegah dampak ekonomi dan lingkungan jangka panjang yang ditimbulkan oleh RUU tersebut dengan mengambil langkah-langkah berikut:
Segera menyampaikan keprihatinannya atas unsur-unsur RUU yang dianggap merusak agenda konservasi hutan dan HAM kepada Presiden Jokowi dan DPR. RIMendesak Pemerintah untuk menghentikan proses pembahasan RUU tersebut hingga konsultasi yang memadai telah dilakukan dengan kelompok lingkungan dan masyarakat sipil.
Mengadvokasi kebijakan lingkungan dan pertanian yang mendorong pertumbuhan ekonomi serta melestarikan hutan dan lahan gambut dan mengakui hak tanah masyarakat adat.
(akr)