Duh, AS Terapkan Bea Masuk untuk Menara Angin Asal Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Departemen Perdagangan Amerika Serikat (US Department of Commerce/USDOC) resmi mengeluarkan putusan akhir penyelidikan antisubsidi terhadap produk menara angin (wind tower) asal Indonesia dengan margin subsidi sebesar 5,9%. Komponen terbesar dari margin tersebut, sebesar 5,7% berasal dari subsidi hulu (upstream subsidy) yaitu subsidi yang menurut USDOC terkandung dalam produk cut to length steel plate (CTL) produksi dalam negeri yang merupakan bahan baku utama menara angin.
Margin lainnya sebesar 0,17% dan 0,03% dihitung USDOC dari subsidi listrik dan pembebasan PPh Impor. Hasil akhir ini jauh lebih baik dari hasil sementara (preliminary determination) yang ditetapkan USDOC pada 6 Desember 2019 lalu. Pada saat tersebut, margin subsidi yang ditetapkan mencapai 20,29%, dimana 20,09% disebabkan anggapan Amerika Serikat (AS) terkait adanya kebijakan Indonesia kepada produsen bahan baku CTL untuk menjual CTL tersebut di bawah harga wajar (less than adequate remuneration) kepada produsen wind tower dalam negeri.
(Baca Juga: Neraca Perdagangan Surplus Indikasi Ekonomi RI Bisa Bertahan?)
Hal ini dijadikan alasan oleh USDOC untuk melakukan pembandingan (benchmarking) harga CTL dengan sumber lain yang dianggap wajar. Pembandingan harga ini menyebabkan margin subsidi melambung tinggi. Menyadari hal itu, Pemerintah Indonesia memperkuat kerja sama dengan pihak terkait untuk membantah tuduhan tersebut melalui on site verification pada 4-5 Maret 2020 di Kementerian Perdagangan serta penyampaian argumen lanjutan dalam legal dan rebuttal brief pascaverifikasi.
"Indonesia sebenarnya dapat memenangkan kasus ini tanpa diterapkannya bea masuk subsidi jika pihak otoritas AS berlaku adil (fair) dengan tidak memasukkan unsur upstream subsidy," ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Sementara, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi menyampaikan, Indonesia hanya punya satu produsen wind tower, namun sangat prospektif dalam menunjang kinerja ekspor,terutama ke pasar AS yang menembus USD90 Juta pada 2019.
Nilai ini naik tajam dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD64 Juta. "Upaya ini menuai hasil yang diharapkan, USDOC menggugurkan tuduhan perolehan CTL di bawah harga wajar oleh produsen wind tower. Namun di luar dugaan, USDOC memasukkan unsur upstream subsidy yang pada awalnya diputuskan untuk ditunda hingga pelaksanaan administrative reviewpertama," katanya.
Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menyampaikan, Pemerintah Indonesia melibatkan lintas kementerian/lembaga serta Asosiasi. Pemerintah Indonesia menghimpun dukungan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum & HAM, BUMN, PLN, EximBank, dan Penjaminan Infrastruktur Indonesia.
"Produsen CTL Indonesia turut terkena imbasnya. Kami meminta banyak dokumen dan data strategis Krakatau Steel dan Krakatau Posco untuk kepentingan penyelidikan di tengah kesibukan mereka membenahi kondisi internal," ungkap Pradnyawati.
(Baca Juga: Perdagangan RI dengan AS Cetak Surplus, Namun Defisit Lawan China)
Pradnyawati menambahkan, langkah pembelaan Pemerintah Indonesia di koridor penyelidikan berakhir seiring selesainya penyelidikan USDOC. Bea masuk imbalan mulai diberlakukan berdasarkan final order yang dikeluarkan Pemerintah AS pascaputusan affirmative US International Trade Commission (USITC), yaitu adanya kerugian di industri wind tower AS akibat impor bersubsidi.
"Untuk isu munculnya upstream subsidy, saat ini jalur pembelaan lanjutan yang bisa ditempuh perusahaan adalah gugatan ke Court of International Trade di AS. Dengan besaran bea masuk imbalan tersebut, Indonesia berharap ekspor ke AS tidak terlalu terganggu," pungkas Pradnyawati.
AS merupakan pasar utama tujuan ekspor produk wind tower Indonesia dengan pangsa pasar ekspor mencapai 81% pada 2019. Pada periode Januari-Agustus 2020 terjadi peningkatan ekspor menjadi sebesar USD59,3 juta dari periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD55,9 juta. Pada 2019, Indonesia menduduki posisi ketiga sebagai negara pengekpor produk wind tower ke AS dengan jumlah 60 ribu ton setelah Korea Selatan (67 ribu ton), dan Vietnam (65 ribu ton).
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
Margin lainnya sebesar 0,17% dan 0,03% dihitung USDOC dari subsidi listrik dan pembebasan PPh Impor. Hasil akhir ini jauh lebih baik dari hasil sementara (preliminary determination) yang ditetapkan USDOC pada 6 Desember 2019 lalu. Pada saat tersebut, margin subsidi yang ditetapkan mencapai 20,29%, dimana 20,09% disebabkan anggapan Amerika Serikat (AS) terkait adanya kebijakan Indonesia kepada produsen bahan baku CTL untuk menjual CTL tersebut di bawah harga wajar (less than adequate remuneration) kepada produsen wind tower dalam negeri.
(Baca Juga: Neraca Perdagangan Surplus Indikasi Ekonomi RI Bisa Bertahan?)
Hal ini dijadikan alasan oleh USDOC untuk melakukan pembandingan (benchmarking) harga CTL dengan sumber lain yang dianggap wajar. Pembandingan harga ini menyebabkan margin subsidi melambung tinggi. Menyadari hal itu, Pemerintah Indonesia memperkuat kerja sama dengan pihak terkait untuk membantah tuduhan tersebut melalui on site verification pada 4-5 Maret 2020 di Kementerian Perdagangan serta penyampaian argumen lanjutan dalam legal dan rebuttal brief pascaverifikasi.
"Indonesia sebenarnya dapat memenangkan kasus ini tanpa diterapkannya bea masuk subsidi jika pihak otoritas AS berlaku adil (fair) dengan tidak memasukkan unsur upstream subsidy," ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Sementara, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi menyampaikan, Indonesia hanya punya satu produsen wind tower, namun sangat prospektif dalam menunjang kinerja ekspor,terutama ke pasar AS yang menembus USD90 Juta pada 2019.
Nilai ini naik tajam dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD64 Juta. "Upaya ini menuai hasil yang diharapkan, USDOC menggugurkan tuduhan perolehan CTL di bawah harga wajar oleh produsen wind tower. Namun di luar dugaan, USDOC memasukkan unsur upstream subsidy yang pada awalnya diputuskan untuk ditunda hingga pelaksanaan administrative reviewpertama," katanya.
Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menyampaikan, Pemerintah Indonesia melibatkan lintas kementerian/lembaga serta Asosiasi. Pemerintah Indonesia menghimpun dukungan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum & HAM, BUMN, PLN, EximBank, dan Penjaminan Infrastruktur Indonesia.
"Produsen CTL Indonesia turut terkena imbasnya. Kami meminta banyak dokumen dan data strategis Krakatau Steel dan Krakatau Posco untuk kepentingan penyelidikan di tengah kesibukan mereka membenahi kondisi internal," ungkap Pradnyawati.
(Baca Juga: Perdagangan RI dengan AS Cetak Surplus, Namun Defisit Lawan China)
Pradnyawati menambahkan, langkah pembelaan Pemerintah Indonesia di koridor penyelidikan berakhir seiring selesainya penyelidikan USDOC. Bea masuk imbalan mulai diberlakukan berdasarkan final order yang dikeluarkan Pemerintah AS pascaputusan affirmative US International Trade Commission (USITC), yaitu adanya kerugian di industri wind tower AS akibat impor bersubsidi.
"Untuk isu munculnya upstream subsidy, saat ini jalur pembelaan lanjutan yang bisa ditempuh perusahaan adalah gugatan ke Court of International Trade di AS. Dengan besaran bea masuk imbalan tersebut, Indonesia berharap ekspor ke AS tidak terlalu terganggu," pungkas Pradnyawati.
AS merupakan pasar utama tujuan ekspor produk wind tower Indonesia dengan pangsa pasar ekspor mencapai 81% pada 2019. Pada periode Januari-Agustus 2020 terjadi peningkatan ekspor menjadi sebesar USD59,3 juta dari periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD55,9 juta. Pada 2019, Indonesia menduduki posisi ketiga sebagai negara pengekpor produk wind tower ke AS dengan jumlah 60 ribu ton setelah Korea Selatan (67 ribu ton), dan Vietnam (65 ribu ton).
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
(fai)