Investor Dikasih Karpet Merah tapi Pengawasan Lemah, KPPU: Seperti Cek Kosong
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu diperkuat agar tercipta iklim ekonomi yang sehat. Sayangnya, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan Usaha Tidak Sehat telah dikeluarkan dari program legislasi nasional (prolegnas) 2020.
“Keinginan pihak dari KPPU dan masyarakat untuk menguatkan yang belum sepenuhnya powerfull kurang mendapatkan dukungan dari beberapa pihak, sebagian pelaku usaha dan yang menentukan pembuat UU. Dalam 10 tahun terakhir, pembahasan UU berjalan lambat,” ujar Komisioner KPPU Afif Hasbullah dalam diskusi daring “Peran Persaingan Usaha dalam Ekonomi Pancasila”, Jumat (23/10/2020).
( )
Menurut Afif, seharusnya kewenangan KPPU diperkuat untuk mendukung dan mengawal program pembangunan ekonomi dan industri yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
Seperti diketahui, saat ini pemerintah berusaha menguatkan peran badan usaha milik negara (BUMN), mengundang investor asing dengan segala kemudahannya dibawah payung hukum UU Cipta Kerja (Ciptaker).
“Kebebasan mengundang investor tanpa diawasi secara seimbang dari sisi persaingan usaha dan praktek bisnis tentu menjadi cek kosong. Khawatirnya masyarakat dirugikan oleh kemudahan-kemudahan itu, regulasi yang konsisten sesuai prinsip Pancasila dan kebijakan yang tepat akan mampu mengawal pembangunan ekonomi,” tuturnya.
Keberadaan KPPU berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 itu untuk mengawal dunia usaha agar tercapai kesejahteraan rakyat dan terwujudnya iklim ekonomi yang efektif dan efisien. Namun, menurut Afif, selama 20 tahun berdiri, KPPU masih dipersepsikan sebagai produk impor.
Hal itu merujuk pada kelahiran KPPU yang merupakan bagian dari Letter of Intent antara Pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund (IMF). Namun, jika ditelusuri lebih jauh, upaya untuk memiliki instrumen dan menciptakan struktur usaha anti monopoli dicanangkan jauh sebelum itu.
( )
Afif menyebut usaha itu dalam arah ekonomi dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada 1988. Dalam GBHN itu dinyatakan mekanisme pasar harus bertumpu pada prinsip keadilan. “Tujuan dalam GBHN ini untuk menghindarkan struktur pasar dari tindakan monopolistik,” tuturnya.
Dia memberikan catatan mengenai persaingan usaha yang masih menjadi pembahasan di kalangan terbatas dan dianggap milik elit. Padahal, dampak persaingan sehat yang tidak sehat tidak jauh berbeda dari perilaku korupsi. “Akan menyebabkan kerugian nasional yang menyebabkan ekonomi menjadi tidak efisien dan berbiaya tinggi,” pungkasnya.
“Keinginan pihak dari KPPU dan masyarakat untuk menguatkan yang belum sepenuhnya powerfull kurang mendapatkan dukungan dari beberapa pihak, sebagian pelaku usaha dan yang menentukan pembuat UU. Dalam 10 tahun terakhir, pembahasan UU berjalan lambat,” ujar Komisioner KPPU Afif Hasbullah dalam diskusi daring “Peran Persaingan Usaha dalam Ekonomi Pancasila”, Jumat (23/10/2020).
( )
Menurut Afif, seharusnya kewenangan KPPU diperkuat untuk mendukung dan mengawal program pembangunan ekonomi dan industri yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
Seperti diketahui, saat ini pemerintah berusaha menguatkan peran badan usaha milik negara (BUMN), mengundang investor asing dengan segala kemudahannya dibawah payung hukum UU Cipta Kerja (Ciptaker).
“Kebebasan mengundang investor tanpa diawasi secara seimbang dari sisi persaingan usaha dan praktek bisnis tentu menjadi cek kosong. Khawatirnya masyarakat dirugikan oleh kemudahan-kemudahan itu, regulasi yang konsisten sesuai prinsip Pancasila dan kebijakan yang tepat akan mampu mengawal pembangunan ekonomi,” tuturnya.
Keberadaan KPPU berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 itu untuk mengawal dunia usaha agar tercapai kesejahteraan rakyat dan terwujudnya iklim ekonomi yang efektif dan efisien. Namun, menurut Afif, selama 20 tahun berdiri, KPPU masih dipersepsikan sebagai produk impor.
Hal itu merujuk pada kelahiran KPPU yang merupakan bagian dari Letter of Intent antara Pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund (IMF). Namun, jika ditelusuri lebih jauh, upaya untuk memiliki instrumen dan menciptakan struktur usaha anti monopoli dicanangkan jauh sebelum itu.
( )
Afif menyebut usaha itu dalam arah ekonomi dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada 1988. Dalam GBHN itu dinyatakan mekanisme pasar harus bertumpu pada prinsip keadilan. “Tujuan dalam GBHN ini untuk menghindarkan struktur pasar dari tindakan monopolistik,” tuturnya.
Dia memberikan catatan mengenai persaingan usaha yang masih menjadi pembahasan di kalangan terbatas dan dianggap milik elit. Padahal, dampak persaingan sehat yang tidak sehat tidak jauh berbeda dari perilaku korupsi. “Akan menyebabkan kerugian nasional yang menyebabkan ekonomi menjadi tidak efisien dan berbiaya tinggi,” pungkasnya.
(ind)