Industry Megashifts 2021

Sabtu, 31 Oktober 2020 - 07:35 WIB
loading...
Industry Megashifts 2021
Managing Partner Inventure Yuswohady
A A A
Yuswohady
Managing Partner Inventure

Di tahun 2021 kita akan menghadapi perubahan peta industri besar, barangkali terbesar dalam sejarah peradaban umat manusia.

Covid-19 telah meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian, industri, dan bisnis yang memaksa kita memasuki dunia yang sama sekali baru: a whole new world.

Di tahun 2021 kita akan menghadapi pergeseran industri amat dahsyat dan ekstrem, karena itu saya menyebutnya: industry megashifts. (Baca: Inilah Perkara-perkara yang Membinasakan Manusia)

Bagaimana peta pergeserannya?

Secara sederhana saya kelompokkan ke dalam 3 bagian besar yaitu pergeseran di tingkat mega (changes), macro (competition), dan micro (customer).

I. Mega: The 7 Forces of Changes

Pergeseran di tingkat mega mencakup perubahan-perubahan besar di bidang teknologi, politik, regulasi, sosial, ekonomi hingga lingkungan. Secara umum ada 7 perubahan besar yang terjadi di tingkat Mega ini.

#1. Covid-19 Propagation & Vaccine Availability

Berbeda dengan perubahan-perubahan industri sebelumnya, di tahun 2021 perubahan industri sangat ditentukan oleh penyebaran virus dan kemampuan pemerintah dalam memproduksi dan mendistribusikan vaksin kepada seluruh warga negara.

Faktor ini menjadi vital driver of change karena sejauh penyebaran virus tak bisa dihentikan dan vaksin penangkal tak urung dikembangkan, seluruh elemen perekonomian, industri, dan bisnis akan tetap lumpuh tak berdaya.

Meski begitu muncul titik terang vaksin diproduksi dan didistribusikan, sentimen konsumen akan cepat pulih, spending masyarakat (khususnya kelas menengah) mulai bangkit, dan perekonomian kembali menggeliat.

#2. Societal Anxiety

Pandemi menimbulkan luka yang akut dan kecemasan luar biasa di kalanagan konsumen dan masyarakat. Mereka takut dan cemas kehilangan nyawa (fear of death), kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin (fear of economic), dan kehilangan kehidupan sosial, harapan, kebergunaan (fear of actualization). (Baca juga: Kemenag Minta Guru Fokus Pada Pendidikan Karakter Siswa)

Ketakutan dan rasa cemas itu terjadi di tingkat individu (personal), tapi kemudian bermetamorfosis dan menjelma menjadi keresahan komunal (societal) yang berujung pada berbagai persoalan sosial seperti keputusasaan, isolasi, depresi, kejahatan, kenekatan hingga ekstremisme. Mindfulness dan well-being menjadi kelangkaan di tengah-tengah era ketakutan ini.

#3. The Rise of Coronationalism

Di era pandemi tiap negara akan semakin selfish dengan berupaya keras melindungi kepentingan masing-masing. Pembatasan dan pelarangan arus keluar-masuk orang (penerbangan), barang (ekspor-impor), kontrol perbatasan akan kian masif dengan alasan kepentingan nasional masing-masing.

Negara-negara saling menyalahkan seperti yang dilakukan Presiden Trump yang menuduh Cina sebagai biang kerok bencana Covid-19. Ketika vaksin diproduksi nanti, semua negara akan "berebut" mendapatkan vaksin demi kepentingan warga negara masing-masing. Negara juga bisa semena-mena akan melarang orang asing masuk dengan alasan perlindungan warga negara. Sebut saja ini: coronationalism.

Maka tak terhindarkan pandemi mendorong kohesi di dalam negara akan meningkat, sebaliknya friksi antarnegara akan menguat. Pandemi adalah antitesis globalisasi.

#4. Government (Mis) Leadership

Beberapa negara sukses menangani krisis pandemi seperti Selandia Baru, Taiwan, atau Korea Selatan, tetapi sebagian besar negara di dunia gagal menanganinya, termasuk Indonesia.

Bukan suatu hal yang aneh karena pandemi datang begitu cepat dan semua negara gelagapan meresponsnya: mulai dari kebijakan PSBB/lockdown, antisipasi darurat perlengkapan dan infrastruktur kesehatan, menangani krisis ekonomi hingga produksi/distribusi vaksin. (Baca juga: 5 Hal yang Wajib Dilakukan Jika Terinfeksi Flu)

Kini leadership para pemimpin negara di seluruh dunia diuji. Efektif tidaknya kepemimpinan mereka menangani krisis Covid-19 akan menentukan cepat tidaknya pemulihan ekonomi, industri, dan bisnis.

#5. Global Supply-Chain Disruption

Sebelum pandemi, sistem produksi global mengalami globalisasi di mana rantai pasok produksi tersebar di berbagai untuk memanfaatkan spesialisasi, skala ekonomi, pasok tenaga kerja, kedekatan dengan bahan baku maupun kedekatan pasar akhir.

Namun dengan adanya pandemi, kondisinya berbalik. Memiliki rantai pasok tersebar di berbagai belahan dunia membawa risiko kritis ketika arus barang melintas negara mengalami bottleneck. Dampaknya serius di sektor-sektor manufaktur seperti automotif, komputer/elektronik, garmen, farmasi, kimia hingga makanan/minuman.

Pascapandemi berbagai industri akan membangun resiliensi dengan membangun ekosistem rantai pasok yang lebih terkonsentrasi di lingkup regional atau bahkan nasional, tak lagi tersebar di berbagai belahan dunia.

#6. Accelerated Digitalization

Pandemi menjadi katalis bagi konsumen untuk bermigrasi ke ranah digital/online. Dengan munculnya stay @ home economy akibat pandemi, seluruh aktivitas konsumen kini dilakukan secara digital: berbelanja, bekerja, belajar, berobat, menikmati hiburan, bahkan beribadah. (Lihat videonya: Viral Pengendara Motor Diduga Bonceng Mayat di Boyolali)

Ketika ekonomi fisikal mandek akibat pandemi, ekonomi digital menggantikannya sehingga geliat perekonomian masih berjalan. Tak aneh jika transformasi digital menjadi agenda terpenting bagi perusahaan untuk tetap bisa survive di tengah pandemi. Semboyannya: "Go digital or die!"

(Bersambung)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1808 seconds (0.1#10.140)