Kementan Ajak Peternak Unggas Gunakan Antimikroba Secara Bijak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) ikut memperingati Pekan Kesadaran Antimikoba Dunia (WAAW) yang diselenggarakan pada 18-24 November 2020. Hal ini sekaligus menunjukkan komitmen Kementan dalam mengontrol penggunaan antimikroba atau antibiotik pada hewan ternak khususnya, untuk mencegah terjadinya resistensi antimikroba.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Nasrullah mengingatkan perlu peran segala pihak agar pencegahan resistensi antimikroba dapat optimal, khususnya peternak unggas yang bersinggungan langsung dengan antimikroba.
"Maka dari itu, secara khusus kami berharap kepada peternak unggas untuk ikut berperan dalam mengatasi resistensi antimikroba dengan menggunakan antibiotik atau antimikroba secara bijak," ujar Nasrullah.
Ia menambahkan, maka untuk memerangi laju resistensi antimikroba peternak unggas diminta bertanggung jawab dan mengurangi pemakaian antibiotik secara berlebihan pada hewan khususnya hewan ternak konsumsi. Pasalnya, hal ini bisa membahayakan dan menular ke manusia.
Dalam beberapa dekade terakhir, laporan di berbagai negara memang mencatat adanya peningkatan laju resistensi antimikroba, namun disisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik (antimikroba) baru berjalan sangat lambat.
"Dengan kata lain, pola peningkatan laju resistensi sudah berbanding terbalik dengan penemuan obat antimikroba baru," ucap Nasrullah
Hal inilah yang menyebabkan adanya perkembangan resistensi antimikroba yang menjadi isu global dan dibahas dalam berbagai forum internasional, serta dipandang sebagai salah satu ancaman yang serius untuk ditangani bersama.
Bagi sektor peternakan dan kesehatan hewan, harus dapat dipahami bahwa resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, disamping pembangunan kesehatan hewan yang berkelanjutan.
Menurut sebuah rilis Global Review pada tahun tahun 2016, kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada tahun 2050, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia.
"Maka dari itu, dunia termasuk kita, Indonesia sedang dalam merealisasikan Rencana Aksi Global dalam pengendalian Resistensi Antimikroba yang mengamanatkan agar setiap negara di dunia menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN)," ujarnya.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Nasrullah mengingatkan perlu peran segala pihak agar pencegahan resistensi antimikroba dapat optimal, khususnya peternak unggas yang bersinggungan langsung dengan antimikroba.
"Maka dari itu, secara khusus kami berharap kepada peternak unggas untuk ikut berperan dalam mengatasi resistensi antimikroba dengan menggunakan antibiotik atau antimikroba secara bijak," ujar Nasrullah.
Ia menambahkan, maka untuk memerangi laju resistensi antimikroba peternak unggas diminta bertanggung jawab dan mengurangi pemakaian antibiotik secara berlebihan pada hewan khususnya hewan ternak konsumsi. Pasalnya, hal ini bisa membahayakan dan menular ke manusia.
Dalam beberapa dekade terakhir, laporan di berbagai negara memang mencatat adanya peningkatan laju resistensi antimikroba, namun disisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik (antimikroba) baru berjalan sangat lambat.
"Dengan kata lain, pola peningkatan laju resistensi sudah berbanding terbalik dengan penemuan obat antimikroba baru," ucap Nasrullah
Hal inilah yang menyebabkan adanya perkembangan resistensi antimikroba yang menjadi isu global dan dibahas dalam berbagai forum internasional, serta dipandang sebagai salah satu ancaman yang serius untuk ditangani bersama.
Bagi sektor peternakan dan kesehatan hewan, harus dapat dipahami bahwa resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, disamping pembangunan kesehatan hewan yang berkelanjutan.
Menurut sebuah rilis Global Review pada tahun tahun 2016, kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada tahun 2050, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia.
"Maka dari itu, dunia termasuk kita, Indonesia sedang dalam merealisasikan Rencana Aksi Global dalam pengendalian Resistensi Antimikroba yang mengamanatkan agar setiap negara di dunia menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN)," ujarnya.