Investasi Rp3.461 Triliun Dibutuhkan RI untuk Pengurangan Emisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selama beberapa tahun terakhir, investor, bank dan lembaga keuangan sudah melihat manfaat nyata dari keuangan berkelanjutan dan terus mengevaluasi kinerja dan kriteria pinjaman mereka. Founder & CEO Indonesia Economic Forum Shoeb Kagda mengatakan, saat ini, semakin banyak institusi dan investor yang mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti dampak lingkungan dan sosial dari investasi mereka.
Menurut Global Sustainable Investment Alliance (GSIA), hampir 30% dari semua aset yang diinvestasikan pada tahun 2018 adalah investasi yang bertanggung jawab secara sosial yang memperhitungkan masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
"Indonesia juga sedang bergerak ke arah itu melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Diperkirakan, setiap tahunnya kebutuhan investasi tersebut mencapai USD300 miliar (setara Rp4.244 triliun/kurs Rp14,147/USD) hingga USD500 miliar," ujar Shoeb di Jakarta, Rabu (2/12/2020).
(Baca Juga: Kurangi Emisi Karbon Tak Cuma Soal BBM Oktan Tinggi, Perlu Pembenahan Transportasi )
Sebagian besar investasi ini akan dibutuhkan di sektor-sektor penting seperti infrastruktur dan sektor yang sensitif terhadap lingkungan seperti pertanian, kehutanan, energi, pertambangan, dan limbah.
Menurut dia, selama beberapa tahun terakhir, pasar keuangan Indonesia telah melihat sejumlah inovasi desain penting yang bertujuan untuk mendorong pinjaman dan investasi hijau seperti pengembangan sustainable ratings.
"Pemerintah juga telah mengambil langkah serupa untuk beberapa sistem keuangan lewat Roadmap OJK untuk mendorong keuangan berkelanjutan yang mencakup pengembangan kerangka regulasi yang mengikat untuk keuangan berkelanjutan,” kata Shoeb.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Luky Afirman mengatakan Indonesia sangat berkomitmen dan concern terhadap perubahan iklim .
Menurutnya, negara-negara lain yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim seharusnya lebih merespons secara efektif dan lebih sistematis. Pemerintah telah berkomitmen untuk mencoba mengitegrasikan keuangan berkelanjutan dalam kebijakan, strategi, dan program pembangunan.
Dia menambahkan, investasi dan pembiayaan untuk perubahan iklim cukup mahal dan nilainya cukup bervariasi. Namun, estimasi terbaru yang disajikan dalam laporan second millennial update report, dibutuhkan sekitar Rp3.461 triliun atau sekitar USD247 miliar untuk memenuhi pengurangan emisi .
Pemerintah sejauh ini sudah membiayai perubahan iklim hingga Rp370 miliar atau sekitar USD26 miliar pada periode 2016-2019 untuk mencapai target Nationally Determined Contributions (NDCs) yang diharapkan.
(Baca Juga: Indonesia Akan Tenggelam Jika Tak Serius Kurang Emisi Karbon, Nuklir Jawabannya )
Seiring dengan berkembangnya obligasi berkelanjutan di pasar global dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Keuangan melihat peluang yang besar untuk terus mengembangkan pembiayaan proyek berbasis keuangan berkelanjutan, pengembangan obligasi berkelanjutan dan kerangka kerja utama, menguji pelaksanaan proyek sesuai kriteria kelayakan serta mekanisme pelaporan obligasi berkelanjutan.
Pemerintah juga bersiap untuk menghadapi tantangan yang harus dilewati untuk dapat berhasil mencapai tujuan. Salah satunya, pemerintah harus berpacu dengan momentum pasar yang tepat ditengah timeline penyusunan framework dan report yang terbatas.
"Tentunya ini juga dibutuhkan insentif untuk pelaku pasar, respon yang cepat dan tanggap, serta kerja keras dan kolaborasi internasional," ungkap dia.
Menurut Global Sustainable Investment Alliance (GSIA), hampir 30% dari semua aset yang diinvestasikan pada tahun 2018 adalah investasi yang bertanggung jawab secara sosial yang memperhitungkan masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
"Indonesia juga sedang bergerak ke arah itu melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Diperkirakan, setiap tahunnya kebutuhan investasi tersebut mencapai USD300 miliar (setara Rp4.244 triliun/kurs Rp14,147/USD) hingga USD500 miliar," ujar Shoeb di Jakarta, Rabu (2/12/2020).
(Baca Juga: Kurangi Emisi Karbon Tak Cuma Soal BBM Oktan Tinggi, Perlu Pembenahan Transportasi )
Sebagian besar investasi ini akan dibutuhkan di sektor-sektor penting seperti infrastruktur dan sektor yang sensitif terhadap lingkungan seperti pertanian, kehutanan, energi, pertambangan, dan limbah.
Menurut dia, selama beberapa tahun terakhir, pasar keuangan Indonesia telah melihat sejumlah inovasi desain penting yang bertujuan untuk mendorong pinjaman dan investasi hijau seperti pengembangan sustainable ratings.
"Pemerintah juga telah mengambil langkah serupa untuk beberapa sistem keuangan lewat Roadmap OJK untuk mendorong keuangan berkelanjutan yang mencakup pengembangan kerangka regulasi yang mengikat untuk keuangan berkelanjutan,” kata Shoeb.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Luky Afirman mengatakan Indonesia sangat berkomitmen dan concern terhadap perubahan iklim .
Menurutnya, negara-negara lain yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim seharusnya lebih merespons secara efektif dan lebih sistematis. Pemerintah telah berkomitmen untuk mencoba mengitegrasikan keuangan berkelanjutan dalam kebijakan, strategi, dan program pembangunan.
Dia menambahkan, investasi dan pembiayaan untuk perubahan iklim cukup mahal dan nilainya cukup bervariasi. Namun, estimasi terbaru yang disajikan dalam laporan second millennial update report, dibutuhkan sekitar Rp3.461 triliun atau sekitar USD247 miliar untuk memenuhi pengurangan emisi .
Pemerintah sejauh ini sudah membiayai perubahan iklim hingga Rp370 miliar atau sekitar USD26 miliar pada periode 2016-2019 untuk mencapai target Nationally Determined Contributions (NDCs) yang diharapkan.
(Baca Juga: Indonesia Akan Tenggelam Jika Tak Serius Kurang Emisi Karbon, Nuklir Jawabannya )
Seiring dengan berkembangnya obligasi berkelanjutan di pasar global dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Keuangan melihat peluang yang besar untuk terus mengembangkan pembiayaan proyek berbasis keuangan berkelanjutan, pengembangan obligasi berkelanjutan dan kerangka kerja utama, menguji pelaksanaan proyek sesuai kriteria kelayakan serta mekanisme pelaporan obligasi berkelanjutan.
Pemerintah juga bersiap untuk menghadapi tantangan yang harus dilewati untuk dapat berhasil mencapai tujuan. Salah satunya, pemerintah harus berpacu dengan momentum pasar yang tepat ditengah timeline penyusunan framework dan report yang terbatas.
"Tentunya ini juga dibutuhkan insentif untuk pelaku pasar, respon yang cepat dan tanggap, serta kerja keras dan kolaborasi internasional," ungkap dia.
(akr)