Solidaritas dan Kerukunan Antarumat sebagai Perwujudan SDG16 Indonesia
loading...
A
A
A
Talskhow menghadirkan empat pembicara: Alissa Wahid, Duta SDGs Indonesia dan Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, Dio Ashar Wicaksana – Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society, Desiana Samosir – Executive Board Temu Kebangsaan Orang Muda, dan Lian Gogali –Institut Mosintuwu untuk Gerakan Lintas Agama di Poso.
Sebagai duta SGDs, Alissa Wahid menyampaikan, bahwa tujuan goal 16, yaitu terwujudnya perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat) merupakan PR global. Problem kerentanan yang dihadapi masyarakat saat ini tidak hanya permasalahan agama, tapi juga kemiskinan, akses pendidikan, dan kesehatan yang berkaitan dengan masalah perdamaian dan keadilan.
(Baca Juga: Pembiayaan Non-Pemerintah untuk SDGs Diperkirakan Semakin Tinggi )
Misalnya, lanjut Alissa, kerentanan yang dialami anak perempuan akan menimbulkan akses pendidikan bagi mereka berkurang. Demikian juga problem nikah di bawah usia akan berpotensi menimbulkan kesehatan ibu yang buruk, yang bisa mengakibatkan terjadinya stunting, kualitas keluarga yang buruk, dan kemiskinan.
“Di antara lima konsep pilar dalam SDGs adalah pilar perdamaian. Pilar ini harus membawa kesejahteraan (kemaslahatan) bagi manusia, dan perdamaian tidak akan terwujud tanpa adanya perdamaian dan kerjasama. Perdamaian dan keadilan tidak bisa dipisahkan. Seperti pesan Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi. Tidak mungkin bisa mendapatkan perdamaian yang berkelanjutan kalau tidak ada keadilan,” terang Alissa.
Menurutnya, kelompok minoritas agama sekarang ini mengalami tantangan yang lebih besar. Antara lain, hak konstitusi kelompok agama dan kepercayaan yang belum terlindungi atau terpenuhi secara utuh.
“Belakangan ini, Indonesia menghadapi tantangan mayoritarianisme, padahal negara ini tidak dibangun di atas teori konflik yang biasanya kelompok mayoritas sebagai pemenangnya, tapi dibangun di atas kontrak social berupa konstitusi, yang di dalamnya tedapat Pancasila sebagai nilai bersama. Karena itu, hak warga negara menjadi setara tidak memandang mayoritas atau minoritas,” tambahnya.
Desiana Samosir, Executive Board dari Temu Kebangsaan Orang Muda (Tembang Muda), dalam talkshow ini membagikan pengalamannya tentang kerjasama lintas agama dalam merespon Covid-19 melalui gerakan jaringan lintas Iman untuk Covid-19 (JIC). Tujuan gerakan ini adalah menggalang sumber daya solidaritas masyarakat dan menyalurkan bantuan bagi para warga yang terabaikan atau belum tersentuh oleh bantuan pemerintah.
“Spirit utama JIC adalah solidaritas tanpa batas dan gerakan yang inklusif untuk mengatasi ancaman Covid di masyarakat seperti kelaparan, tekanan psikologis, keresahan social, dan kemandegan roda ekonomi. Dan kolaborasi lintas agama memilki dampak baik dan luar biasa ketimbang bergerak sendiri,” jelasnya.
Sementara itu, Lian Gogali membagi pengalaman tentang peran kelompok perempuan serta anak muda akar rumput dalam mencipatakan solidaritas di masyarakat. Lian yang menceritakan pembangunan perdamaian di Poso, menjelaskan bahwa perempuan berada di posisi paling depan dalam upaya rekonsiliasi dan membangun perdamaian pasca konflik.
Sebagai duta SGDs, Alissa Wahid menyampaikan, bahwa tujuan goal 16, yaitu terwujudnya perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat) merupakan PR global. Problem kerentanan yang dihadapi masyarakat saat ini tidak hanya permasalahan agama, tapi juga kemiskinan, akses pendidikan, dan kesehatan yang berkaitan dengan masalah perdamaian dan keadilan.
(Baca Juga: Pembiayaan Non-Pemerintah untuk SDGs Diperkirakan Semakin Tinggi )
Misalnya, lanjut Alissa, kerentanan yang dialami anak perempuan akan menimbulkan akses pendidikan bagi mereka berkurang. Demikian juga problem nikah di bawah usia akan berpotensi menimbulkan kesehatan ibu yang buruk, yang bisa mengakibatkan terjadinya stunting, kualitas keluarga yang buruk, dan kemiskinan.
“Di antara lima konsep pilar dalam SDGs adalah pilar perdamaian. Pilar ini harus membawa kesejahteraan (kemaslahatan) bagi manusia, dan perdamaian tidak akan terwujud tanpa adanya perdamaian dan kerjasama. Perdamaian dan keadilan tidak bisa dipisahkan. Seperti pesan Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi. Tidak mungkin bisa mendapatkan perdamaian yang berkelanjutan kalau tidak ada keadilan,” terang Alissa.
Menurutnya, kelompok minoritas agama sekarang ini mengalami tantangan yang lebih besar. Antara lain, hak konstitusi kelompok agama dan kepercayaan yang belum terlindungi atau terpenuhi secara utuh.
“Belakangan ini, Indonesia menghadapi tantangan mayoritarianisme, padahal negara ini tidak dibangun di atas teori konflik yang biasanya kelompok mayoritas sebagai pemenangnya, tapi dibangun di atas kontrak social berupa konstitusi, yang di dalamnya tedapat Pancasila sebagai nilai bersama. Karena itu, hak warga negara menjadi setara tidak memandang mayoritas atau minoritas,” tambahnya.
Desiana Samosir, Executive Board dari Temu Kebangsaan Orang Muda (Tembang Muda), dalam talkshow ini membagikan pengalamannya tentang kerjasama lintas agama dalam merespon Covid-19 melalui gerakan jaringan lintas Iman untuk Covid-19 (JIC). Tujuan gerakan ini adalah menggalang sumber daya solidaritas masyarakat dan menyalurkan bantuan bagi para warga yang terabaikan atau belum tersentuh oleh bantuan pemerintah.
“Spirit utama JIC adalah solidaritas tanpa batas dan gerakan yang inklusif untuk mengatasi ancaman Covid di masyarakat seperti kelaparan, tekanan psikologis, keresahan social, dan kemandegan roda ekonomi. Dan kolaborasi lintas agama memilki dampak baik dan luar biasa ketimbang bergerak sendiri,” jelasnya.
Sementara itu, Lian Gogali membagi pengalaman tentang peran kelompok perempuan serta anak muda akar rumput dalam mencipatakan solidaritas di masyarakat. Lian yang menceritakan pembangunan perdamaian di Poso, menjelaskan bahwa perempuan berada di posisi paling depan dalam upaya rekonsiliasi dan membangun perdamaian pasca konflik.