Bos BKPM Mengakui, Investasi China 'Ngeri-ngeri Sedap'

Selasa, 08 Desember 2020 - 14:48 WIB
loading...
Bos BKPM Mengakui, Investasi China Ngeri-ngeri Sedap
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyebutkan bahwa investor China terbilang lebih berani mengambil risiko dibanding investor negara lainnya. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia membenarkan pernyataan mantan Wakil Ketua KPK jilid IV Laode M Syarif bahwa China merupakan negara dengan tingkat improper payment atau pembayaran tidak benar tertinggi di dunia.

Dengan status tersebut, Laode mengaku takut jika China menjadi negara nomor satu yang berinvestasi di Indonesia. Menanggapi hal itu, Bahlil menjelaskan mengenai kebijakan investasi serta langkah-langkah antisipasi pemerintah.

(Baca Juga: Investasi di Luar Jawa Nanjak Terus, Kepala BKPM Ungkap Penyebabnya)

"Bahwa benar ada data ini. China ini negara yang ngeri-ngeri sedap juga. Aku jujuran ajalah," kata Bahlil dalam seminar secara daring, Selasa (8/12/2020).

Namun, imbuh Bahlil, dalam hal investasi, China merupakan negara yang terbilang lebih berani dibandingkan negara lainnya. Hal ini menurutnya sangat dibutuhkan dalam investasi di sektor pertambangan.

"Contohnya nikel, hampir semua smelternya dari China. Tapi di satu sisi mereka yang paling berani. Kalau Jepang itu banyak ahlinya, tapi debatnya minta ampun. Nah yang agak-agak nekat seperti orang timur kita ini adalah investor dari China," jelasnya.

Meski begitu, Bahlil menyadari bahwa investor dari Negara Tirai Bambu itu banyak masalahnya. "Memang diakui ini kan spekulasi pasti ada Abunawas-nya juga. Banyak yang enggak dibayar, ngomong ini besok bikin lain," terangnya.

(Baca Juga: Luhut Sebut Investasi China di Konawe Sukses Tekan Angka Pengangguran)

Untuk mengatasi hal ini, Bahlil menegaskan, arah kebijakan pemerintah ke depan tidak boleh ada suatu negara yang mengontrol Indonesia dalam konteks investasi. Pemerintah juga akan memberikan kesamaan kepada negara lainnya.

"Nah ini yang sekarang tugas kita adalah bagaimana pada saat mereka investasi, kita harus ikat mereka dalam satu perjanjian yang clear and clean. Agar kemudian tidak menimbulkan hal-hal yang berorientasi pada kerugian," tandasnya.
(fai)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1551 seconds (0.1#10.140)