Ini Dia Sosok Industrialis Rokok Kretek di Masa Lampau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Djarum , Sampoerna , dan Gudang Garam boleh saja menahbiskan diri sebagai raja-raja di industri rokok nasional saat ini. Namun, ketiga grup raksasa di industri hasil tembakau ini ternyata bukan satu-satunya pioner dalam sejarah perkembangan rokok di Nusantara.
Jauh sebelum ketiganya eksis seperti sekarang, sosok industriawan di bisnis rokok justru bermula dari seorang M Nitisemito yang dikenal sebagai Raja Kretek tersukses pada periode awal tahun 1900 hingga sebelum kemerdekaan RI. Tepatnya antara tahun 1903-1905, Nitisemito yang bernama asli Roesdi bin Soelaiman itu merintis pabrik rokok pertamanya di Kudus, Jawa Tengah, sekaligus menandai industrialisasi rokok kretek.
(Baca juga: Sumbangan Cukai Rokok ke Penerimaan Negara Masih di Bawah 10% )
Dari berbagai literatur yang dihimpun, Roesdi lah yang pertama kali membuat konsep pabrik untuk menghasilkan produk rokok andalannya yang kemudian diberi merek Bal Tiga dengan logo tiga lingkaran saling berhimpitan. Pria yang namanya diabadikan menjadi nama salah satu ruas jalan di Kudus itu dianggap paling revolusioner karena sebelumnya rokok yang beredar di masyarakat saat itu hanya dihasilkan dari para pembuat rokok rumahan dengan skala kecil dan tersebar, tidak dalam satu kesatuan produksi.
“Di Museum Kretek Kudus diperlihatkan bahwa Nitisemito sebagai pengusaha yang paling awal membuka pabrik rokok kretek di Kudus yakni tahun 1905,” demikian seperti dikutip dari buku 'Raja Kretek M Nitisemito' yang diterbitkan pada 2015 lalu.
(Baca juga: Harga Rokok Tambah Mahal, Begini Reaksi Kocak Para Ahli Hisap )
Dalam buku yang disusun oleh Erlangga Ibrahim dan Syahrizal Budi Putranto tersebut, selain Nitisemito ada beberapa pengusaha lain yang juga membuka pabrik rokok yakni antara lain M Atmowidjoyo (rokok merek Goenoeng Kedoe, 1910), H Ali Asikin (Djangkar, 1918), HM Ashadi (Delima, 1918), dan HM Moeslich (Teboe & Tjengkeh, 1919).
Kebesaran nama Nitisemito sebelumnya juga terungkap dalam buku lain, 'Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya' yang ditulis Rudy Badil. Pada buku yang terbit tahun 2011 silam itu, diulas bagaimana peran Nitisemito dalam masa-masa awal industri rokok.
“Usaha rokok Nitisemito maju pesat pada 1916 saat dia berusia 53 tahun. Kala itu Bal Tiga resmi menjadi cap rokoknya bersamaan dengan didirikannya pabrik besar di Desa Jati di tanah seluas enam hektare. Pabrik rokok ini adalah yang terbesar di Indonesia hingga sebelum masa Perang Dunia II,” seperti dikutip dalam buku tersebut.
(Baca juga: Cukai Rokok Naik Akankah Picu PHK Besar-besaran? )
Juragan rokok Nitisemito kemudian meresmikan nama perusahannya menjadi ‘Sigariten Fabriek M Nitisemito Koedoes’ pada 1918. Pabrik yang berlokasi di Desa Jati tersebut mempekerjakan 10.000 karyawan dan sejak itulah Kudus dikenal sebagai sentra rokok kretek. Pemandangan kota berubah drastis karena setiap pagi dan sore ramai dengan hilir mudik ribuah buruh parik rokok tersebut.
Satu hal lagi yang membuat kretek buatan Nitisemito terkenal adalah karena perusahaan itu mampu menerapkan strategi pemasaran modern yang hingga kini masih dilakukan para produsen modern. Konon, pada masa kejayaannya Nitisemito sudah melakukan berbagai cara promosi seperti membuka stan pameran, mobil keliling, hingga sponsorsip pada kegiatan olahraga. Sayangnya, pabrik rokok ini terpaksa ditutup oleh Nitisemito pada 1938 karena terjadi konflik keluarga.
Tutupnya pabrik rokok ini kemudian membuka peluang perusahaan lain dari Jawa Timur seperti Sampoerna (1913) dan Bentoel (1932). Kendati perusahaan Nitisemito sempat beroperasi lagi saat pendudukan Jepang, namun produksinya tidak bertahan lama karena pasokan bahan bakunya tersendat.
Kendati Nitisemito disebut sebagai Raja Kretek, namun kehadiran rokok kretek yang hingga saat ini beredar tidak bisa lepas dari seorang Djamhari yang disebut sebagai penemu kretek. Namun, sosok pria ini belum banyak yang mengulas karena minimnya bukti dan peninggalannya. Yang pasti dalam kedua buku yang di atas disebutkan Djamhari merupakan orang yang menemukan racikan rokok kretek dengan memadukan campuran tembakau dan cengkeh. Saat itu, campuran dua bahan tersebut digunakan sebagai obat batuk dan untuk melegakan napas dan hanya dikonsumsi sendiri beserta keluarganya.
Jauh sebelum ketiganya eksis seperti sekarang, sosok industriawan di bisnis rokok justru bermula dari seorang M Nitisemito yang dikenal sebagai Raja Kretek tersukses pada periode awal tahun 1900 hingga sebelum kemerdekaan RI. Tepatnya antara tahun 1903-1905, Nitisemito yang bernama asli Roesdi bin Soelaiman itu merintis pabrik rokok pertamanya di Kudus, Jawa Tengah, sekaligus menandai industrialisasi rokok kretek.
(Baca juga: Sumbangan Cukai Rokok ke Penerimaan Negara Masih di Bawah 10% )
Dari berbagai literatur yang dihimpun, Roesdi lah yang pertama kali membuat konsep pabrik untuk menghasilkan produk rokok andalannya yang kemudian diberi merek Bal Tiga dengan logo tiga lingkaran saling berhimpitan. Pria yang namanya diabadikan menjadi nama salah satu ruas jalan di Kudus itu dianggap paling revolusioner karena sebelumnya rokok yang beredar di masyarakat saat itu hanya dihasilkan dari para pembuat rokok rumahan dengan skala kecil dan tersebar, tidak dalam satu kesatuan produksi.
“Di Museum Kretek Kudus diperlihatkan bahwa Nitisemito sebagai pengusaha yang paling awal membuka pabrik rokok kretek di Kudus yakni tahun 1905,” demikian seperti dikutip dari buku 'Raja Kretek M Nitisemito' yang diterbitkan pada 2015 lalu.
(Baca juga: Harga Rokok Tambah Mahal, Begini Reaksi Kocak Para Ahli Hisap )
Dalam buku yang disusun oleh Erlangga Ibrahim dan Syahrizal Budi Putranto tersebut, selain Nitisemito ada beberapa pengusaha lain yang juga membuka pabrik rokok yakni antara lain M Atmowidjoyo (rokok merek Goenoeng Kedoe, 1910), H Ali Asikin (Djangkar, 1918), HM Ashadi (Delima, 1918), dan HM Moeslich (Teboe & Tjengkeh, 1919).
Kebesaran nama Nitisemito sebelumnya juga terungkap dalam buku lain, 'Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya' yang ditulis Rudy Badil. Pada buku yang terbit tahun 2011 silam itu, diulas bagaimana peran Nitisemito dalam masa-masa awal industri rokok.
“Usaha rokok Nitisemito maju pesat pada 1916 saat dia berusia 53 tahun. Kala itu Bal Tiga resmi menjadi cap rokoknya bersamaan dengan didirikannya pabrik besar di Desa Jati di tanah seluas enam hektare. Pabrik rokok ini adalah yang terbesar di Indonesia hingga sebelum masa Perang Dunia II,” seperti dikutip dalam buku tersebut.
(Baca juga: Cukai Rokok Naik Akankah Picu PHK Besar-besaran? )
Juragan rokok Nitisemito kemudian meresmikan nama perusahannya menjadi ‘Sigariten Fabriek M Nitisemito Koedoes’ pada 1918. Pabrik yang berlokasi di Desa Jati tersebut mempekerjakan 10.000 karyawan dan sejak itulah Kudus dikenal sebagai sentra rokok kretek. Pemandangan kota berubah drastis karena setiap pagi dan sore ramai dengan hilir mudik ribuah buruh parik rokok tersebut.
Satu hal lagi yang membuat kretek buatan Nitisemito terkenal adalah karena perusahaan itu mampu menerapkan strategi pemasaran modern yang hingga kini masih dilakukan para produsen modern. Konon, pada masa kejayaannya Nitisemito sudah melakukan berbagai cara promosi seperti membuka stan pameran, mobil keliling, hingga sponsorsip pada kegiatan olahraga. Sayangnya, pabrik rokok ini terpaksa ditutup oleh Nitisemito pada 1938 karena terjadi konflik keluarga.
Tutupnya pabrik rokok ini kemudian membuka peluang perusahaan lain dari Jawa Timur seperti Sampoerna (1913) dan Bentoel (1932). Kendati perusahaan Nitisemito sempat beroperasi lagi saat pendudukan Jepang, namun produksinya tidak bertahan lama karena pasokan bahan bakunya tersendat.
Kendati Nitisemito disebut sebagai Raja Kretek, namun kehadiran rokok kretek yang hingga saat ini beredar tidak bisa lepas dari seorang Djamhari yang disebut sebagai penemu kretek. Namun, sosok pria ini belum banyak yang mengulas karena minimnya bukti dan peninggalannya. Yang pasti dalam kedua buku yang di atas disebutkan Djamhari merupakan orang yang menemukan racikan rokok kretek dengan memadukan campuran tembakau dan cengkeh. Saat itu, campuran dua bahan tersebut digunakan sebagai obat batuk dan untuk melegakan napas dan hanya dikonsumsi sendiri beserta keluarganya.
(ynt)