Akademisi: Aturan Pesangon di UU Cipta Kerja Buat Pekerja-Pengusaha Sama-sama Untung
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam Bab IV Ketenagakerjaan Undang-Undang (UU) No. 11/2020 tentang Cipta Kerja mengubah, menghapus dan menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam UU no. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Kurang lebih ada 68 pasal tentang ketenagakerjaan yang diubah, dihapus, bahkan ada formulasi baru yang diselipkan pada beberapa pasal,” beber Akademisi Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Walisongo Semarang M Harun dalam seminar daring bertajuk Pertanggungjawaban Pidana dalam UU Cipta Kerja yang diselenggarakan Centre of Law and Constitution Studies (CLC-Studies) UIN Walisongo Semarang dan Pusat Pengabdian untuk Masyarakat (PPM) UIN Jakarta.
(Baca Juga: Ditanya Apakah Ada Jaminan Pengusaha Patuh Bayar Pesangon Sesuai UU Ciptaker, Jawabnya? )
Lebih lanjut Ia menyimpukan berdasarkan kajiannya, pengaturan baru tersebut akan berimplikasi pada pengusaha ataupun pekerja . Ada pasal-pasal yang sama-sama menguntungkan dan ada juga pasal-pasal yang lebih menguntungkan salah satu pihak, baik pengusaha ataupun pekerja.
“Dalam pasal-pasal yang dihapus, diubah dan disisipkan itu tentu ada pihak-pihak yang sama-sama diuntungkan, yakni pihak pengusaha dan pihak pekerja. Tapi di sisi lain, ada pihak yang diuntungkan ataupun ada pihak yang dirugikan, baik pekerja ataupun sebagian kecil pengusaha,” jelas Harun.
Ia mencontohkan pengaturan baru yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak, yakni pasal 156 ayat (2) UU Cipta Kerja yang mengatur besaran uang pesangon dan ayat (3) mengatur besaran uang penghargaan masa kerja.
“Perbandingan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja tentang uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja ternyata tidak ada kelompok yang dirugikan atau sama-sama diuntungkan,” ungkap Dosen Hukum Pidana FSH UIN Walisongo Semarang itu.
Sebagai informasi, yang membedakan ketentuan pesangon dalam UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan salah satunya adalah perubahan atas pasal 185. Jika dalam UU sebelumnya tidak diatur sanksi pidana bagi pelanggar pembayara pesangon , maka UU Cipta Kerja menambahkan pelanggar ketentuan pesangon (156 ayat 2) di dalam pasal 185 UU Cipta Kerja tersebut.
(Baca Juga: Menaker: Jika Pesangon dan Upah Terlalu Tinggi, UKM Sulit Tumbuh )
Dengan demikian, bagi pelanggar Pasal 156 ayat 2 yang mengatur besaran uang pesangon yang wajib diberikan kepada pekerja, maka ia terancam sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit 100 juta dan paling banyak 400 juta.
Soal pertanggungjawaban tindak pidana, Harun melihat wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus. “Karena wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus, maka subyek hukum pidana itu berupa orang per orangan dan perkumpulan atau badan hukum, atau korporasi,” terangnya.
Lanjutnya, meskipun bunyi pasal-pasal tidak secara eksplisit mengatakan korporasi, namun korporasi tetap bisa dikenakan pertanggungjawaban atas suatu tindakan pidana. “Khususnya terkait kluster ketenagakerjaan, walaupun diformulasikan dengan frasa ‘Barang siapa’, tapi itu tetap merujuk pada dua subyek hukum. Yaitu, orang per orangan atau manusia dan badan hukum atau korporasi dan perkumpulan,” katanya.
Untuk itu, dari lima teori atau doktrin pertanggung jawaban pidana korporasi, Harun menyebut dua teori yang sesuai dengan UU Cipta Kerja atau peraturan lain yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Yakni, teori identifikasi atau direct liability doctrine dan doktrin pertanggugjawaban pidana agregasi (doctrine of aggregation).
“Teori identifikasi ini penitikberatannya pada bagaimana pertanggunjawaban pidana itu baru bisa dibebankan pada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang diidentifikasi sebagai directing mind atau otak langsung yang menjalankan seluruh aktivitas korporasi,” jelasnya.
Dijelaskan Harun lebih jauh, orang yang sebagai directing mind ini lah yang dimintai pertanggungjawaban tindakan pidana. Selanjutnya, korporasi dapat dikenakan hukuman pidana atas perbuatan orang tersebut.
Adapun doktrin pertanggugjawaban pidana agregasi, lanjutnya, itu menitikberatkan pada kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yang bertindak atas nama dan kepentingan suatu korporasi.
“Kurang lebih ada 68 pasal tentang ketenagakerjaan yang diubah, dihapus, bahkan ada formulasi baru yang diselipkan pada beberapa pasal,” beber Akademisi Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Walisongo Semarang M Harun dalam seminar daring bertajuk Pertanggungjawaban Pidana dalam UU Cipta Kerja yang diselenggarakan Centre of Law and Constitution Studies (CLC-Studies) UIN Walisongo Semarang dan Pusat Pengabdian untuk Masyarakat (PPM) UIN Jakarta.
(Baca Juga: Ditanya Apakah Ada Jaminan Pengusaha Patuh Bayar Pesangon Sesuai UU Ciptaker, Jawabnya? )
Lebih lanjut Ia menyimpukan berdasarkan kajiannya, pengaturan baru tersebut akan berimplikasi pada pengusaha ataupun pekerja . Ada pasal-pasal yang sama-sama menguntungkan dan ada juga pasal-pasal yang lebih menguntungkan salah satu pihak, baik pengusaha ataupun pekerja.
“Dalam pasal-pasal yang dihapus, diubah dan disisipkan itu tentu ada pihak-pihak yang sama-sama diuntungkan, yakni pihak pengusaha dan pihak pekerja. Tapi di sisi lain, ada pihak yang diuntungkan ataupun ada pihak yang dirugikan, baik pekerja ataupun sebagian kecil pengusaha,” jelas Harun.
Ia mencontohkan pengaturan baru yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak, yakni pasal 156 ayat (2) UU Cipta Kerja yang mengatur besaran uang pesangon dan ayat (3) mengatur besaran uang penghargaan masa kerja.
“Perbandingan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja tentang uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja ternyata tidak ada kelompok yang dirugikan atau sama-sama diuntungkan,” ungkap Dosen Hukum Pidana FSH UIN Walisongo Semarang itu.
Sebagai informasi, yang membedakan ketentuan pesangon dalam UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan salah satunya adalah perubahan atas pasal 185. Jika dalam UU sebelumnya tidak diatur sanksi pidana bagi pelanggar pembayara pesangon , maka UU Cipta Kerja menambahkan pelanggar ketentuan pesangon (156 ayat 2) di dalam pasal 185 UU Cipta Kerja tersebut.
(Baca Juga: Menaker: Jika Pesangon dan Upah Terlalu Tinggi, UKM Sulit Tumbuh )
Dengan demikian, bagi pelanggar Pasal 156 ayat 2 yang mengatur besaran uang pesangon yang wajib diberikan kepada pekerja, maka ia terancam sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit 100 juta dan paling banyak 400 juta.
Soal pertanggungjawaban tindak pidana, Harun melihat wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus. “Karena wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus, maka subyek hukum pidana itu berupa orang per orangan dan perkumpulan atau badan hukum, atau korporasi,” terangnya.
Lanjutnya, meskipun bunyi pasal-pasal tidak secara eksplisit mengatakan korporasi, namun korporasi tetap bisa dikenakan pertanggungjawaban atas suatu tindakan pidana. “Khususnya terkait kluster ketenagakerjaan, walaupun diformulasikan dengan frasa ‘Barang siapa’, tapi itu tetap merujuk pada dua subyek hukum. Yaitu, orang per orangan atau manusia dan badan hukum atau korporasi dan perkumpulan,” katanya.
Untuk itu, dari lima teori atau doktrin pertanggung jawaban pidana korporasi, Harun menyebut dua teori yang sesuai dengan UU Cipta Kerja atau peraturan lain yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Yakni, teori identifikasi atau direct liability doctrine dan doktrin pertanggugjawaban pidana agregasi (doctrine of aggregation).
“Teori identifikasi ini penitikberatannya pada bagaimana pertanggunjawaban pidana itu baru bisa dibebankan pada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang diidentifikasi sebagai directing mind atau otak langsung yang menjalankan seluruh aktivitas korporasi,” jelasnya.
Dijelaskan Harun lebih jauh, orang yang sebagai directing mind ini lah yang dimintai pertanggungjawaban tindakan pidana. Selanjutnya, korporasi dapat dikenakan hukuman pidana atas perbuatan orang tersebut.
Adapun doktrin pertanggugjawaban pidana agregasi, lanjutnya, itu menitikberatkan pada kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yang bertindak atas nama dan kepentingan suatu korporasi.
(akr)