Tren Influencer Promosikan Emiten, Pengamat: Tidak Etis!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah selebritis dan tokoh nasional merekomendasikan emiten tertentu. Tindakan ini dianggap tidak etis. Mantan Vokalis Grup Dewa 19 Ari Lasso dan Raffi Ahmad beberapa waktu lalu mengumbarkan investasi di salah satu emiten, yakni Mcash. Kemudian, Ustad Yusuf Mansur dan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep bersuara soal investasinya uangnya di emiten perusahaan plat merah. Pengamat pasar modal Riska Afriani mengatakan fenomena ini kurang layak untuk masyarakat.
“Kalau misalnya pakaian atau produk itu masih cukup common. Tapi kalau endorse saham ini merupakan sesuatu yang kurang baik. Kenapa? Ini biasanya memberikan analisa atau saran untuk masuk ke saham sudah ada core masing-masing. Misalnya, security company sudah ada analis selalu memberikan rekomendasi. Banyak advisor yang memberikan informasi seputar saham,” ujarnya saat dihubungi SINDONews, Senin malam (18/1/2020).
Para analis saham itu memiliki kemampuan yang mumpuni untuk membaca pergerakan emiten di pasar saham. Dia menyebut dalam fenomena ini bukan hanya influencer-nya yang salah. Namun, masyarakat juga kadang tidak menyaring informasi yang beredar. Literasi masyarakat mengenai pasar modal belum cukup baik.
Endorse dari influencer ini memang akan mendorong pengikutnya untuk membuka rekening efek dan membeli saham. Mereka tidak melihat sisi fundamental perusahaan dan teknikal. “Saham ini bagus, kata siapa? Kata si ini. Akhirnya harga saham turun terus. Dia tidak mampu mengambil keputusan apakah dia harus cut loss atau averaging down,” tuturnya.
Mereka yang -ikutan idolanya dikhawatirkan tidak mengetahui pembelian saham itu saat mahal atau murah. Riska menerangkan memang secara aturan penggunaan influencer tidak ada larangan. Namun, ini tidak etis.
“Merekomendasikan boleh. Jangan sampai mempengaruhi harga efek. Itu ada aturannya juga. Ketika harga sama naik terus, tentu bursa akan melakukan suspend karena tidak didasari informasi yang cukup kenapa harga saham naik, katakan emiten belum memberikan informasi. Di sini sudah ada teguran bursa kepada emiten,” tegasnya.
Di luar isu itu, Riska menjelaskan indek harga saham gabungan (IHSG) tahun ini bisa mencapai 6.800-7.000. Alasannya pasar sudah mengalami optimisme kembali. Ini berbanding terbalik dengan situasi awal-awal pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Kepercayaan ini mulai kembali dengan penyaluran bantuan pemerintah. Dana PEN sendiri meningkat dan menumbuhkan daya beli masyarakat. Walaupun PSBB ketat sekalipun, ekonomi masih bisa jalan. Retail masih tertekan. Usaha lain sudah cukup beradaptasi. Tahun 2021 adaptasi yang cukup baik untuk Indonesia,” pungkasnya.
“Kalau misalnya pakaian atau produk itu masih cukup common. Tapi kalau endorse saham ini merupakan sesuatu yang kurang baik. Kenapa? Ini biasanya memberikan analisa atau saran untuk masuk ke saham sudah ada core masing-masing. Misalnya, security company sudah ada analis selalu memberikan rekomendasi. Banyak advisor yang memberikan informasi seputar saham,” ujarnya saat dihubungi SINDONews, Senin malam (18/1/2020).
Para analis saham itu memiliki kemampuan yang mumpuni untuk membaca pergerakan emiten di pasar saham. Dia menyebut dalam fenomena ini bukan hanya influencer-nya yang salah. Namun, masyarakat juga kadang tidak menyaring informasi yang beredar. Literasi masyarakat mengenai pasar modal belum cukup baik.
Endorse dari influencer ini memang akan mendorong pengikutnya untuk membuka rekening efek dan membeli saham. Mereka tidak melihat sisi fundamental perusahaan dan teknikal. “Saham ini bagus, kata siapa? Kata si ini. Akhirnya harga saham turun terus. Dia tidak mampu mengambil keputusan apakah dia harus cut loss atau averaging down,” tuturnya.
Mereka yang -ikutan idolanya dikhawatirkan tidak mengetahui pembelian saham itu saat mahal atau murah. Riska menerangkan memang secara aturan penggunaan influencer tidak ada larangan. Namun, ini tidak etis.
“Merekomendasikan boleh. Jangan sampai mempengaruhi harga efek. Itu ada aturannya juga. Ketika harga sama naik terus, tentu bursa akan melakukan suspend karena tidak didasari informasi yang cukup kenapa harga saham naik, katakan emiten belum memberikan informasi. Di sini sudah ada teguran bursa kepada emiten,” tegasnya.
Di luar isu itu, Riska menjelaskan indek harga saham gabungan (IHSG) tahun ini bisa mencapai 6.800-7.000. Alasannya pasar sudah mengalami optimisme kembali. Ini berbanding terbalik dengan situasi awal-awal pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Kepercayaan ini mulai kembali dengan penyaluran bantuan pemerintah. Dana PEN sendiri meningkat dan menumbuhkan daya beli masyarakat. Walaupun PSBB ketat sekalipun, ekonomi masih bisa jalan. Retail masih tertekan. Usaha lain sudah cukup beradaptasi. Tahun 2021 adaptasi yang cukup baik untuk Indonesia,” pungkasnya.
(nng)