Selamat! Raih Predikat CEO Terbaik 2020, SDM & Brand jadi Jurus Sukses CEO Sasa Inti Rudolf Tjandra
loading...
A
A
A
JAKARTA - CEO Sasa Inti Rudolf Tjandra meraih predikat CEO Terbaik 2020 , SDM & Brand. Hal menjadi jurus sukses CEO Sasa Inti.
"Bekerja lebih keras dan lebih keras lagi untuk melakukan hal yang sama sekarang tidak lagi relevan ketika dunia lebih membutuhkan sesuatu yang unik, otentik, dan relevan untuk masyarakat," tulis CEO PT Sasa Inti Rudolf Tjandra lewatLinkedInpribadi, dikutip Jumat (21/1/2021).
Bisa jadi prinsip inovatif terkait SDM tersebut yang menjadikan Rudolf Tjandra mampu terus mengembangkan bisnis Sasa Inti, sehingga bisa dinobatkan sebagai pemenang The Best CEO 2020 oleh Majalah SWA.
Penobatan ini semakin mengukuhkan Rudolf Tjandra, sebagai pemimpin berkualitas yang siap untuk membawa kesuksesan yang lebih besar terhadap perusahaan yang dikendalikannya.
Pasalnya, penghargaan ini merupakan apresiasi terhadap para CEO Terbaik 2020 di Tanah Air demi kemajuan kepemimpinan bisnis di Indonesia. Bagi Rudolf Tjandra sendiri, penghargaan ini merupakan apresiasi bagi segenap Sasa Happy Family.
Terkait Sasa Happy Family tersebut, Rudolf Tjandra pernah menyitir bahwa isu yang paling penting dalam pengembangan suatu perusahaan, yaitu masalah sumber daya manusia (SDM). "Jika ada sebuah bisnis yang dulunya sukses, tapi sekarang tidak, hampir yang selalu menjadi masalah biasanya terkait isu SDM. Bukan isu pembiayaan, bukan modal, tapi karyawan, manajemen, dan pemilik," tulisnya di LinkedIn.
Masalah SDM itu tentang bagaimana orang-orang yang terlibat dalam bisnis bisa mengeksekusi visi dan misi perusahaan. Persoalannya, bisa saja orang-orang tak berani mengambil risiko atau berani melakukan sesuatu yang tidak biasa atau repetitif.
"Bekerja lebih keras dan lebih keras lagi untuk melakukan hal yang sama sekarang tidak lagi relevan ketika dunia lebih membutuhkan sesuatu yang unik, otentik, dan relevan untuk masyarakat," katanya.
Setelah SDM,isu yang bisa dievaluasi, yaitu brand. Dia menyebut, brand kerapkali tak nyambung antara apa yang ditawarkan di depan konsumen dengan pengerjaan di belakang operasional. Brand, kata dia, bukan soal nama, melainkan bagaimana bisa terkoneksi dengan psikologi konsumen.
"Bekerja lebih keras dan lebih keras lagi untuk melakukan hal yang sama sekarang tidak lagi relevan ketika dunia lebih membutuhkan sesuatu yang unik, otentik, dan relevan untuk masyarakat," tulis CEO PT Sasa Inti Rudolf Tjandra lewatLinkedInpribadi, dikutip Jumat (21/1/2021).
Bisa jadi prinsip inovatif terkait SDM tersebut yang menjadikan Rudolf Tjandra mampu terus mengembangkan bisnis Sasa Inti, sehingga bisa dinobatkan sebagai pemenang The Best CEO 2020 oleh Majalah SWA.
Penobatan ini semakin mengukuhkan Rudolf Tjandra, sebagai pemimpin berkualitas yang siap untuk membawa kesuksesan yang lebih besar terhadap perusahaan yang dikendalikannya.
Pasalnya, penghargaan ini merupakan apresiasi terhadap para CEO Terbaik 2020 di Tanah Air demi kemajuan kepemimpinan bisnis di Indonesia. Bagi Rudolf Tjandra sendiri, penghargaan ini merupakan apresiasi bagi segenap Sasa Happy Family.
Terkait Sasa Happy Family tersebut, Rudolf Tjandra pernah menyitir bahwa isu yang paling penting dalam pengembangan suatu perusahaan, yaitu masalah sumber daya manusia (SDM). "Jika ada sebuah bisnis yang dulunya sukses, tapi sekarang tidak, hampir yang selalu menjadi masalah biasanya terkait isu SDM. Bukan isu pembiayaan, bukan modal, tapi karyawan, manajemen, dan pemilik," tulisnya di LinkedIn.
Masalah SDM itu tentang bagaimana orang-orang yang terlibat dalam bisnis bisa mengeksekusi visi dan misi perusahaan. Persoalannya, bisa saja orang-orang tak berani mengambil risiko atau berani melakukan sesuatu yang tidak biasa atau repetitif.
"Bekerja lebih keras dan lebih keras lagi untuk melakukan hal yang sama sekarang tidak lagi relevan ketika dunia lebih membutuhkan sesuatu yang unik, otentik, dan relevan untuk masyarakat," katanya.
Setelah SDM,isu yang bisa dievaluasi, yaitu brand. Dia menyebut, brand kerapkali tak nyambung antara apa yang ditawarkan di depan konsumen dengan pengerjaan di belakang operasional. Brand, kata dia, bukan soal nama, melainkan bagaimana bisa terkoneksi dengan psikologi konsumen.