Neraca Dagang Surplus di Maret Jadi Momentum Jaga Ekspor

Jum'at, 17 April 2020 - 13:47 WIB
loading...
Neraca Dagang Surplus...
Pengamat ekonomi mengatakan, tren positif neraca perdagangan pada bulan Maret 2020 yang mencetak surplus menjadi momentum untuk dipertahankan. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, tren positif neraca perdagangan pada bulan Maret 2020 yang mencetak surplus menjadi momentum untuk dipertahankan. Apalagi tren perdagangan yang cukup baik seperti ekspor besi baja, mesin peralatan mekanik dan kertas karton sebenarnya adalah produk-produk olahan yang nilai tambahnya tinggi.

"Kita tidak tergantung dari komoditas yang nilai tambahnya rendah dan saya rasa momentum ini yang harus dimanfaatkan," kata Fithra di Jakarta, Jumat (16/4/2020).

Lebih lanjut Ia menerangkan, kenaikan dari sisi volume didominasi oleh produk olahan jadi pertanda bagus untuk konsistensi surplus neraca dagang ke depan. Menurutnya yang jelas pada periode ini merupakan sebuah prestasi.

"Sementara beberapa periode sebelumnya kita melihat berita tentang neraca defisit perdagangan dan ini sebuah momentum harus kita pertahankan," ujarnya

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2020 mengalami surplus USD743,4 juta dengan nilai ekspor USD14,09 miliar dan impor US13,35 miliar. Pada Maret 2020, komposisi neraca perdagangan dari sektor non-migas masih mengalami surplus USD1,7 miliar sedangkan dari sektor migas mengalami defisit USD932 juta.

Dengan demikian, neraca perdagangan selama Januari-Maret 2020 mengalami surplus USD2,62 miliar dengan nilai ekspor sebesar USD41,79 miliar dan impor USD39,17 miliar. Sambung Fithra Faisal melihat sepanjang Januari sampai Maret surplus neraca perdagangan dipicu oleh kinerja ekspor dan ini kalau secara histori jarang terjadi.

Biasanya kalau neraca perdagangan terjadi surplus, maka kinerja impor turun dalam dibanding ekspor. Namun sepanjang kuartal di tahun 2020 ini, melihat kinerja ekspor tumbuh cukup baik dan mencetak kurs neraca perdagangan terutama di bulan Februari dan Maret.

Dan juga menggembirakan, surplus perdagangan ini didominasi oleh ekspor non migas, dimana yang lebih banyak diekspor besi baja dan produk olahan. Terang dia, bahwa secara nilai tambah ekspor Indonesia bergerak pada nilai tambahnya tinggi.

"Saya masih melihat kecenderungan surplus ini baik di bulan April atau Mei karena memang ada penurunan impor barang baku, industri kita saat ini melambat, maka permintaan akan bahan baku, juga melambat. Itu sebetulnya bukan berita bagus, ini bisa menganggu eksport," jelasnya..

Pemerintah pasti sudah cukup antisipatif dengan melakukan relaksasi kebutuhan impor, terutama bahan baku kebutuhan industri yang memang dibutuhkan untuk melakukan proses produksi kemudian diimport lagi. Jadi di sisi lain dia melihat China dari negara tujuan eksport masih dominan dan kecenderungan permintaannya ekspor meningkat.

Hal ini memperlihatkan bahwa China dalam proses recovery. Sementara itu terjadi peralihan dari negara negara lain yang biasanya mengimpor dari China kemungkinan akan beralih ke Asia Tenggara dan Indonesia sebenarnya mendapatkan peluang.

"Kita lihat trendnya sepanjang Januari sampai Maret. Jadi yag kita lihat pada trend eksport import ini adalah kenaikan eksport non-migas pada Februari-Maret terjadi meskipun harga rata-rata eksport non-migas itu turun, ini kenaikan dari sisi volume," kata Fithra.

Menurutnya, pertama pemerintah harus melakukan langkah antisipatif dengan relokasi import bahan baku. Hal ini dikarenakan impor bahan baku penting untuk mendukung keberlangsungan industri. Kalau industri produksinya tinggi, biasanya akan melakukan recovery lagi, maka kecenderungan ekspor ke depan terutama ekspor produk olahan akan meningkat.

Kedua, harus mencari pasar non-tradisional, sementara saat ini pemerintah masih tergantung dari China dan Amerika Serikat. Dengan adanya wabah COVID-19, harus dapat membuka peluang ke negara di Afrika yang tidak terdampak, bahwa demand juga cukup tinggi bias menjadi salah satu target ekspor Indonesia ke depan.

"Selain membuka peluang pasar yang baru saya juga melihat ada peluang dari negara-negara yang bergantung pada China kini mulai mengalihkan negara asal impornya ke negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan," kata Fithra.

Dia menambahkan, saat ini negara seperti Jepang sudah memberikan insentif ke perusahaan-perusahaan industrinya yang berlokasi di China untuk melakukan relokasi, dengan mengumbar portopfolio dan tidak tergantung network serta mengembangkan sayap ke Asia Tenggara. Saat ini hubungan Indonesia-Jepang sudah cukup baik yang dapat dimanfaatkan.
(ant)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0678 seconds (0.1#10.140)