Lembaga Pengelola Investasi, Ikhtiar Mandiri dengan Dana Abadi

Senin, 25 Januari 2021 - 06:04 WIB
loading...
Lembaga Pengelola Investasi, Ikhtiar Mandiri dengan Dana Abadi
LPI akan menjadi andalan baru dalam pembiayaan pembangunan di Tanah Air. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Tak lama lagi, Indonesia akan memiliki Lembaga Pengelola Investasi (LPI) bernama Indonesia Investment Authority (INA). Lembaga baru penghimpun dana abadi ini diharapkan menjadi alternatif pembiayaan jangka panjang sehingga Indonesia akan lebih mandiri.

Jika lembaga baru ini benar lahir, maka Indonesia akan menyusul negara-negara maju, seperti China, Norwegia, Uni Emirat Arab (UEA), dan Singapura yang memiliki Sovereign Wealth Fund (SWF). Kehadiran SWF ini untuk mengelola dana abadi investasi dari luar dan dalam negeri. Kehadiran LPI digadang-gadang menjadi solusi baru bagi pemerintah dalam membiayai berbagai proyek pembangunan dan menawarkan aneka potensi dalam negeri kepada investor.

(Baca juga: Terungkap! Keponakan Luhut Calon Kuat Bos SWF Dana Abadi RI )

Harapan itu tak berlebihan. Selama ini, pembiayaan pembangunan biasa didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan pinjaman bilateral. Dengan LPI, pemerintah ingin membuat skema dan pola baru dalam pembiayaan. Payung hukum utamanya pun sudah ada, yakni Undang-Undang (UU) No 11/ 2020 Tentang Cipta Kerja (Ciptaker).

Beberapa beleid turunannya telah dibuat, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 73/2020 Tentang Modal Awal LPI dan PP No 74/2020 tentang LPI. Pada tahap awal, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin sudah membenamkan dana sebesar Rp15 triliun. Tahun ini ditargetkan modal pemerintah akan mencapai Rp75 triliun.

(Baca juga: Keberhasilan SWF Akan Tergantung Cara Penawarannya )

Presiden Jokowi begitu menaruh harapan besar LPI menjadi penyokong baru pembangunan nasional. Di depan para gubernur 6 Januari lalu, Jokowi menilai LPI menjadi instrumen terbaru sehingga pemerintah tak lagi hanya bergantung pada APBN. Begitu besarnya kebutuhan pembiayaan pembangunan ke depan, dalih Jokowi, menjadi alasan di balik pembentukan lembaga anyar yang direncanakan berdiri akhir Januari ini.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, hakikatnya LPI bukan hal baru di Indonesia. Lembaga serupa sebelumnya sudah ada tapi tak berfungsi maksimal, yakni Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Awalnya, PIP dibentuk untuk mengelola investasi. Kini, PIP lebih banyak mengelola dana untuk usaha ultra mikro (UMi).

Bedanya hanyalah, LPI lebih independen dan mencontoh Uni Emirat Investment Authority. Toh begitu, dia memprediksi LPI ini akan menarik investor. “Kalau kita lihat memang potensinya besar. Sekali lagi, di sini yang harus dicermati kemungkinan kebocoran dana investasi untuk digunakan secara pribadi,” ujarnya.

(Baca juga: Ngeri! Terungkap Banyak Hantu Berdasi Bikin Investasi Mangkrak Rp708 Triliun )

Pemerintah telah berkali-kali menyatakan pada tahap awal, dana-dana di LPI akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Namun bagi Nailul Huda langkah pemerintah ini kurang tepat. Dana awal dari APBN sebesar Rp75 triliun diakui jumlah yang besar untuk infrastruktur dan menarik investor. Namun menurutnya saat ini belum saatnya membangun infrastruktur terlalu berlebihan.

Kenapa jangan terlalu jor-joran di infrastruktur? Menurut Nailul Huda, Indonesia saat ini masih dilanda pandemi Covid-19. Dengan demikian, dana di LPI lebih baik dialirkan ke sektor energi baru dan terbarukan (EBT). Dia menyebut, beberapa LPI di negara maju, seperti Norway Government Pension Global Fund, itu dibenamkan di sektor EBT.

“Ketika dana abadi ini digunakan di EBT, itu bisa meningkatkan yang namanya sustainable energy. Kita tidak akan bergantung lagi pada energi fosil. Kalau mau itu, bisa sustain dan dana itu menjadi bermanfaat,” tuturnya.

Selain EBT, di luar negeri, dana LPI itu digunakan pada sektor instrumental dan lingkungan. Menurutnya, penggunaan dana abadi untuk diinvestasikan ke perusahaan dan pasar saham sebaiknya melihat kebutuhannya terlebih dahulu. LPI digaung-gaungkan akan menjadi alternatif pembiayaan, tapi belum tentu sepenuhnya menguntungkan.

“Kalau soft loan (pinjaman bilateral) biasanya lebih murah, tapi ada kepentingan di situ. Misalnya, China memang meminjamkan lebih murah, tapi (meminta) perusahaan China bisa masuk,” paparnya.

(Baca juga: Investasi Bakal Lebih Mudah, Urus Izin Andalalin Kini Bisa Online )

Anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komaruddin mengatakan LPI memiliki potensi yang besar untuk memperluas pembiayaan pada sektor-sektor lain, seperti pariwisata, teknologi, dan EBT. Tentu saja, hal tersebut dengan memperhatikan kelayakan bisnis dan profil risiko setiap proyek.

Apakah pembiayaan via LPI lebih murah dibandingkan dengan pinjaman bilateral? Menurut Puteri Anetta, besaran biaya ini tentu bergantung pada risiko yang dihadapi.

“Namun, hadirnya LPI ini diharapkan dapat memberikan alternatif sumber pembiayaan lain sehingga mengurangi ketergantungan pada utang,” ujarnya.

Berdasarkan PP No 74/2020, LPI diberikan kewenangan untuk menerima pinjaman. Puteri yang juga politisi Partai Golkar itu lebih mendorong LPI untuk menggali sumber pendanaan yang murah dan kompetitif. Kehadiran LPI tentu akan menggeser penggunaan dana APBN yang selama ini menjadi motor pembangunan.

“Tentu diharapkan dapat membantu meringankan beban APBN untuk pembangunan infrastruktur fisik yang menjadi proyek strategis nasional.,” terangnya.

Investasi akan datang jika pengelolaannya baik dan transparan. Apalagi, ada contoh LPI di luar negeri yang gagal dan diselimuti masalah korupsi, yakni IMDB milik Malaysia. Puteri Anetta menyatakan struktur organisasi dan payung hukum LPI sudah kuat untuk mendukung operasionalnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core Indonesia) Yusuf Rendy mengatakan keberadaan LPI bernama INA ini relatif mirip dengan lembaga serupa di Indonesia yang telah ada seperti BKPM. Artinya, pertimbangan yang diambil investor akan relatif sama saat berinvestasi di INA.

Hanya, masih ada pekerjaan rumah pemerintah yang dinilai bisa menjadi tantangan masuknya investasi ke INA. Misalnya, masalah ketersediaan infrastruktur yang belum merata di seluruh Indonesia. Persoalannya lain mencakup kepastian ekonomi, termasuk ketergantungan bahan baku impor, tingginya biaya logistik di dalam negeri. Belum lagi persoalan di bidang hukum maupun kondisi politik di dalam negeri ikut berpengaruh terhadap minat investor asing.

“Ini konfigurasi yang sama dilihat oleh investor ketika nanti akan masuk ke INA. Meski sudah ada kisah sukses di negara lain, pertimbangan masuk ke INA lebih pada masalah-masalah yang sudah ada di Indonesia ketika investor masuk di BKPM,” jelas Yusuf.

Dalam lima tahun terakhir, kinerja pembangunan di Indonesia tidak secemerlang yang diharapkan pemerintah. Di sisi lain, ruang di APBN untuk melakukan investasi, terutama pos pembelanjaan infrastruktur mulai terbatas. Apalagi, defisit APBN dibatasi hanya sampai 3%.

Sementara, pembiayaan melalui BUMN yang diminta membantu pembangunan infrastruktur juga terbatas. Maka itu, gencarnya pembangunan infrastruktur selama lima tahun terakhir selaras dengan meroketnya utang BUMN, khususnya di sektor konstruksi.

Yusuf belum bisa membandingkan efektivitas LPI dengan pembiayaan bilateral atau surat utang karena belum ada instrument investasinya. Namun, dirinya menilai LPI lebih beragam pilihannya dalam menawarkan investasi dan peruntukkannya juga bisa lebih spesifik.

“Dengan adanya INA, ini bisa membantu penyelesaian masalah yang tidak bisa diakomodir oleh surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah sehingga nantinya bisa lebih spesifik,” terangnya.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Tak Capai 7 Persen, Listrik Oversupply

Yusuf menekankan prinsip pengawasan harus setara dengan lembaga pemerintahan lainnya yang diawasi penuh oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), termasuk juga oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah itu demi menghindari potensi korupsi, seperti halnya kasus beberapa waktu lalu yang berkaitan dengan skandal SWF Malaysia yaitu 1MDB.

Sebagai informasi, berdasarkan data Statista pada Juli 2020, terdapat sepuluh SWF terbesar di dunia. Urutan puncak diduduki Norway Government Pension Fund Global (Norwegia) dengan dana kelolaan USD1,18 triliun. Di posisi kedua adalah China Investment Corporation (China) dengan dana kelolaan USD940,6 miliar.

Posisi ketiga ditempati Abu Dhabi Investment Authority (UEA) dengan dana kelolaan mencapai USD 579,6 miliar. Kemudian, disusul Kuwait Investment Authority dengan nilai dana USD 533,6 miliar, Hong Kong Monetary Authority KMA Investment Portofolio (China Hong Kong) sebesar USD 528 miliar, dan GIC Private Limited (Singapura) USD 453,2 miliar.

Empat lainnya secara berurutan yaitu SAFE Investment Company (China) dengan jumlah dana kelola USD417,8 miliar, Temasek Holdings (Singapura) USD 375,3 miliar, Public Investment Fund sebesar USD360 miliar dan National Council for Social Security Fund (China) USD325 miliar.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1969 seconds (0.1#10.140)