Cegah Kerugian di Pasar Modal, Pelajari Fundamental Saham

Sabtu, 30 Januari 2021 - 11:47 WIB
loading...
Cegah Kerugian di Pasar...
(Ilustrasi Sindonews/Win Cahyono)
A A A
Salah satu investasi yang semakin populer saat pandemi ini adalah investasi saham . Kesadaran masyarakat untuk mendapatkan passive income guna meningkatkan pendapatan menjadikan saham makin banyak dilirik, tidak terkecuali kalangan milenial.

Jumlah investor individu terus meningkat di masa pandemi, jauh mengalahkan investor institusi. Dana menganggur dari pesangon ataupun tabungan mulai banyak digunakan untuk berinvestasi di pasar modal . Sayangnya, literasi dari para investor baru tersebut masih rendah, sehingga banyak yang terjebak ke dalam saham-saham yang secara fundamental kurang layak dijadikan instrumen investasi.

Naima, 20, misalnya, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran ini sudah menjajal investasi di pasar modal dalam bentuk saham sejak 2019. Ketertarikan terhadap dunia investasi tumbuh ketika dia bergabung dengan Financial Market Community di kampusnya. Di komunitas itu ia mempelajari seluk beluk investasi. "Saat yang tepat untuk berinvestasi ya sekarang pas masih muda," ujar Naima, Jumat (29/01/2021).

Baginya, investasi adalah menabung untuk jangka panjang. Naima memutuskan mulai berinvestasi di pasar modal hanya berbekal uang saku yang didapatnya dari orang tua. Saham menjadi instrumen pilihan untuk menjejaki pasar modal. Ia pun memilih saham-saham bluechip, meskipun sejauh ini belum berhasil menikmati keuntungan dari portofolio sahamnya.

"Total dana ‎yang sudah aku investasikan sekitar Rp1 juta sampai Rp1,5 juta. Sejauh ini total loss (kerugian) yang aku alami ada sekitar Rp300.000 sampai Rp500.000," ujarnya.

Namun, Naima menyadari bahwa berinvestasi di pasar modal memiliki risiko tinggi seiring potensi keuntungan yang juga tinggi. Dia menganggap kerugian tersebut sebagai kursus, karena dirinya tahu betul bahwa berinvestasi selalu ada risiko kerugian. Dia pun mengaku pernah mendapatkan keuntungan dengan kisaran 5% sampai 10% setiap transaksi.

"Untungnya masih sedikit karena masih belajar dan butuh jam terbang dalam berinvestasi saham," ujarnya.

Semakin sering bertransaksi membuat Naima tidak lagi panik. Kini dia memiliki strategi mengatasi kerugiannya. "Biasa saja cut loss atau tunggu harga rebound beli sahamnya lagi biar harga average-nya turun," tegasnya.

Naima merupakan potret anak muda yang semakin membanjiri pasar modal Indonesia. Di tengah pergerakan harga yang tinggi selama pandemi korona, minat untuk berinvestasi di kalangan anak muda kelompak generasi Z ( kelahiran 1995 sampai 2010) dan milenial (kelahiran 1980 sampai 1994) semakin meningkat.

Berdasarkan data jumlah investor pasar modal Single Investor Indentification (SID) kelompok investor berusia di bawah 30 atau gen Z mendominasi di pasar modal. Meski secara jumlah investor milenial dan gen Z menguasai pasar modal, namun secara penguasaan aset masih sangat kecil dibandingkan investor yang lebih matang dan telah lebih lama menyelami seluk beluk pasar modal.Jika dilihat dari segmentasi pekerjaan, jumlah investor dari kalangan profesi mencpai 36,35%, kemudian pelajar dan mahasiswa berada di urutan kedua setelah segmen profesi pegawai dengan jumlah 27,19%.

Menurut Chief Economist BNI Sekuritas, Damhuri Nasution, pelonjakan jumlah investor dari kalangan anak muda terjadi karena semakin mudahnya proses administrasi dengan program Know Your Customer (KYC) Administrasion yang terintegrasi ‎dengan data kependudukan dan catatan sipil. Selain itu, pendapatan generasi Z dan milenial tidak terlalu terkena dampak pandemi meski ada penerapan bekerja dari rumah (work from home). Hal ini membuat pengeluaran dari kalangan milenial menurun.

"Karena pandemi mereka tidak berwisata atau yang lain. Jadi, ketika jumlah tabungan meningkat, mereka gunakan untuk berinvetasi karena potensi return-nya yang jauh lebih tinggi dibandingkan tabungan. Juga sebenarnya generasi muda ini well educated, sehingga bisa lebih cepat belajar dan terjun ke dalam investasi pasar modal," kata Damhuri.

Tidak hanya itu saja, edukasi pasar modal saat ini semakin mudah untuk didapatkan, sehingga para investor muda sudah memiliki sedikit pengetahuan dan bisa membaca market bahwa suatu saat kondisi pasar modal akan berbalik naik (rebound). "Begitu pandemi ini berakhir, ekonomi akan membaik. Pasar ekspektasinya besar dan potensi return-nya sangat tinggi, mereka, para investor muda sangat tahu itu," ujarnya.

Selain itu, banyaknya program yang ditawarkan seperti menabung saham menjadi alasan utama para investor muda mulai tertarik berinvestasi. Terlebih lagi, mereka tidak dituntut membeli saham dengan jumlah yang besar.

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengatakan, jumlah investor usia muda yang membuka rekening saham mengalami kenaikan signifikan. Dulu banyak anak muda yang tidak tertarik karena diangga berinvestasi di saham perlu dana besar. Misalnya, untuk membeli satu saham saja kita harus menyiapkan dana sekitar Rp25 juta.

"Di sinilah peran OJK dan juga BEI memberi edukasi bahwa untuk memulai berinvestasi saham tidak menyeramkan dan tidak lagi butuh dana besar. Sekarang dengan modal Rp100 ribu saja para milenial ini sudah bisa berinvestasi di saham," tambahnya.

Tirta menyarankan bagi investor pemula yang memang berniat terjun ke bursa saham harus memilih saham yang murah terlebih dahulu. Bisa juga menanam modalnya di reksadana terlebih dahulu sebelum berinvestasi saham. "Pemahaman ini kita berikan untuk para pemula belajar karakteristik instrumen saham," tambahnya.

Sementara Ketua Asosiasi Perencana Keuangan Internasional Indonesia Aidil Akbar Madjid memberikan cara mudah agar para investor tidak salah memilih investasi saham. Salah satunya mengetahui dahulu kinerja perusahaannya, apakah cenderung meraih untung ataukah perusahaan tersebut selalu rugi. Investor perlu mempelajari masalah fundamental dan teknikal saham, dari sisi fundamental pelajari laporan keuangan perusahaan yang sahamnya ingin dibeli.

Mulai dari bagaimana asetnya, laba, ekuitas, sektor bisnis perusahaan, hingga risiko dan prospek bisnis perusahaan. Bila sudah mengerti secara fundamental, maka saatnya belajar teknikal pergerakan saham.

"Ini untuk melihat kenapa hari ini harga saham naik dan turun. Jadi tidak bisa investor pemula tiba-tiba masuk ke saham bila tidak mengerti ini karena akan mudah ditipu," tambahnya.

Bagi investor pemula, sebaiknya jangan membeli saham perusahaan yang baru melakukan penawaran (Initial Public Offering/IPO). Sebab, perusahaan tersebut belum memiliki pergerakan saham yang bagus dan risikonya cukup besar. Aidil pun mengingatkan kecuali perusahaan yang baru IPO adalah perusahaan besar seperti Facebook. Tapi sebenarnya hal tersebut juga tidak menjamin. Garuda Indonesia contohnya, setelah IPO punya risiko yang besar.

Lebih baik, pilih saham perusahaan yang sudah jelas jejak bisnis dan sudah cukup lama melantai di bursa saham. Hal ini bisa memitigasi calon investor dari kerugian besar. Aidil pun mewanti-wanti agar investor tidak gampang percaya apabila ada yang mengatakan investasi tanpa risiko.

Selanjutnya, lanjut dia, apabila sudah mengerti hingga tahap fundamental dan teknikal, maka calon investor perlu tahu seberapa besar dana yang seharusnya diinvestasikan. Misalnya, Anda memiliki dana Rp 100 juta, setidaknya 30% saja dahulu yang diinvestasikan.

"Jangan semuanya dibelikan saham, apalagi saham di satu perusahaan saja. Sebaiknya disebar, misalnya sampai ketujuh perusahaan, itu pun jangan sampai sektor binisnya sama, harus bervariasi. Lalu secara teknikal, jangan mudah tergoda pada saham yang harganya naik tinggi dalam waktu sesaat, karena bisa jadi itu saham gorengan," tambahnya. (Aprilia S Andyna)
(wan)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2539 seconds (0.1#10.140)