Utang BUMN Menggunung Tembus Rp1.682 Triliun, Dana Abadi SWF Bisa Jadi Opsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pemilik saham mayoritas tengah melakukan restrukturisasi utang sejumlah BUMN . Harapannya, dengan keringanan pembayaran utang dapat membantu keuangan perseroan.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mencatat, ada skema dan pilihan bagi pemegang saham untuk melakukan restrukturisasi. Salah satunya adalah penguatan ekuitas perusahaan. Dia menilai, penguatan selisih nilai antara aset dengan liabilitas itu dapat mengurangi utang BUMN.
"Untuk mengurangi beban utang BUMN, maka harapannya agar ekuitas pemerintah di sebagian BUMN yang dapat penugasan khusus tersebut dapat diperkuat," ujar Toto saat dihubungi, Senin (1/2/2021).
Selain hak residual atas aset perseroan, ada alternatif lain yang bisa ditempuh pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas. Dimana, BUMN dapat melakukan pendanaan proyek-proyek besar ke depan melalui opsi Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Indonesia Investment Authority (INA) yang tengah digodok pemerintah.
Opsi ini bersifat ekuitas bagi BUMN, sehingga bisa mengurangi ketergantungan pada instrumen utang perseroan. "Atau alternatif lain, dimana, pendanaan buat proyek BUMN masa depan bersandar pada opsi Sovereign Wealth Fund yang sedang dikembangkan," ujar dia.
Utang BUMN telah mencapai Rp1.682 triliun hingga September 2020. Tren kenaikan utang perseroan terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Dari data Kementerian BUMN, utang perusahaan negara tercatat sebesar Rp942,9 triliun, kemudian naik pada 2018 menjadi Rp1.251,7 triliun. Sedangkan, sejak 2019, utang meningkat menjadi Rp1.393 triliun.
Pada tahun lalu, kenaikan signifikan terjadi karena BUMN kekurangan dana operasionalnya untuk menggenjot sejumlah program, salah satunya adalah anggaran BUMN Karya untuk pembangunan infrastruktur. Hingga 2020 utang BUMN mencapai Rp1.682 triliun.
Toto berpandangan, pemerintah sudah cukup memberikan modal kepada perusahaan plat merah baik melalui skema Capital Expenditure (Capex) atau nodal belanja dan Operating Expenditure (Opex) atau belanja operasional yang bersumber dari utang luar negeri.
Artinya, utang BUMN semakin besar karena adanya sejumlah Proyek Strategi Nasioanl (PSN) yang harus digarap perseroan, hal itu menyebabkan utang tidak terelakan.
"Salah satunya karena penugasan pemerintah dlm pembangunan infrastruktur. BUMN-BUMN Karya melaksanakan tugas tersebut, dimana, alternatif Capex dan Opex sebagian besar menggunakan utang luar negeri. Demikian pula PLN yang harus menjalankan tugas untuk pembangunan infrastruktur listrik 35.000 mega, dana investasi sebagian besar dengan instrumen utang," ujar dia.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mencatat, ada skema dan pilihan bagi pemegang saham untuk melakukan restrukturisasi. Salah satunya adalah penguatan ekuitas perusahaan. Dia menilai, penguatan selisih nilai antara aset dengan liabilitas itu dapat mengurangi utang BUMN.
"Untuk mengurangi beban utang BUMN, maka harapannya agar ekuitas pemerintah di sebagian BUMN yang dapat penugasan khusus tersebut dapat diperkuat," ujar Toto saat dihubungi, Senin (1/2/2021).
Selain hak residual atas aset perseroan, ada alternatif lain yang bisa ditempuh pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas. Dimana, BUMN dapat melakukan pendanaan proyek-proyek besar ke depan melalui opsi Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Indonesia Investment Authority (INA) yang tengah digodok pemerintah.
Opsi ini bersifat ekuitas bagi BUMN, sehingga bisa mengurangi ketergantungan pada instrumen utang perseroan. "Atau alternatif lain, dimana, pendanaan buat proyek BUMN masa depan bersandar pada opsi Sovereign Wealth Fund yang sedang dikembangkan," ujar dia.
Utang BUMN telah mencapai Rp1.682 triliun hingga September 2020. Tren kenaikan utang perseroan terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Dari data Kementerian BUMN, utang perusahaan negara tercatat sebesar Rp942,9 triliun, kemudian naik pada 2018 menjadi Rp1.251,7 triliun. Sedangkan, sejak 2019, utang meningkat menjadi Rp1.393 triliun.
Pada tahun lalu, kenaikan signifikan terjadi karena BUMN kekurangan dana operasionalnya untuk menggenjot sejumlah program, salah satunya adalah anggaran BUMN Karya untuk pembangunan infrastruktur. Hingga 2020 utang BUMN mencapai Rp1.682 triliun.
Toto berpandangan, pemerintah sudah cukup memberikan modal kepada perusahaan plat merah baik melalui skema Capital Expenditure (Capex) atau nodal belanja dan Operating Expenditure (Opex) atau belanja operasional yang bersumber dari utang luar negeri.
Artinya, utang BUMN semakin besar karena adanya sejumlah Proyek Strategi Nasioanl (PSN) yang harus digarap perseroan, hal itu menyebabkan utang tidak terelakan.
"Salah satunya karena penugasan pemerintah dlm pembangunan infrastruktur. BUMN-BUMN Karya melaksanakan tugas tersebut, dimana, alternatif Capex dan Opex sebagian besar menggunakan utang luar negeri. Demikian pula PLN yang harus menjalankan tugas untuk pembangunan infrastruktur listrik 35.000 mega, dana investasi sebagian besar dengan instrumen utang," ujar dia.
(akr)