12 Anak Cucu BUMN Siap Melantai di Bursa Saham
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri BUMN Erick Thohir terus mendorong peningkatan daya saing dan transparansi di tubuh perusahaan pelat merah. Salah satu yang direkomendasikan yaitu dengan melakukan initial public offering (IPO) atau mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dia memastikan, dalam Roadmap BUMN 2021-2023, setidaknya akan ada 8 hingga 12 BUMN yang akan mencatatkan sahamnya di bursa.
“Di pipeline, saya tidak mau bilang angka fix-nya nanti dicari-cari, tapi ada 8-12 yang kita akan go public, ini untuk target hingga 2023. Akan tetapi bukan sekedar go public, kembali fundamental dan sustain harus ada,” kata Erick Thohir dalam IDX Debut untuk PT Bank Syariah Indonesia Tbk di Main Hall Bursa Efek Indonesia, Jakarta, kemarin.
Dirinya menegaskan, saat ini terdapat 28 BUMN yang sahamnya tercatat di bursa. Hanya saja memang masih ada empat BUMN yang kinerja sahamnya belum sesuai harapan. Hal ini juga yang akan menjadi evaluasi Kementerian BUMN ke depannya. Untuk itu, pihaknya meminta dukungan sejumlah otoritas terkait, seperti BEI dan juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam membawa BUMN go publik dan go global. Baginya, budaya gotong royong masyarakat Indonesia, bisa membawa negara ini jauh lebih maju ke depannya.
“Insya Allah dengan kerja keras kami dan dukungan dari OJK, bursa dan seluruh penganut kebijakan ini, bisa kita jalankan sesuai dengan target yang kita canangkan. Dan Insya Allah perusahaan-perusahaan yang kita akan listing juga perusahaan-perusahaan yang baik serta punya strategi jangka panjang,” tegasnya.
Saat ini, ada beberapa BUMN yang sudah memiliki rencana bisnis jangka panjang yang cukup jelas. Seperti perbankan syariah yang kini menjadi bisnis PT Bank Syariah Indonesia Tbk. Bank Syariah Indonesia berstatus sebagai perusahaan BUMN terbuka dan tercatat sebagai emiten di Bursa Efek Indonesia dengan kode BRIS. Adapun Komposisi pemegang saham Bank Syariah Indonesia terdiri dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) 50,95%, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) 24,91%, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) 17,29%, DPLK BRI - Saham Syariah 2% dan publik 4,4%.
Optimisme di sektor keuangan syariah dan rencana bisnis Bank Syariah Indonesia yang jelas ini dibuktikan dengan melesatnya harga saham perusahaan. Harga saham BRIS pada saat IPO sebesar Rp510, sedangkan per 3 Februari 2021 harga saham BRIS mencapai Rp2.750 per lembar saham. Artinya, harga saham ini naik sekitar 5 kali lipat dibandingkan dengan posisi saat IPO. Selain itu, market capital BRIS pada saat IPO sebesar Rp4,96 triliun. Per 3 Februari 2021, market capital BRIS naik puluhan kali lipat mencapai Rp112,84 triliun.
Tidak hanya itu, prospek bisnis BUMN yang tidak kalah menjanjikan ke depannya, dikatakan Erick Thohir, yaitu industri telekomunikasi digital hingga industri EV Battery yang akan dibangun dalam waktu dekat.
Rencana Kementerian BUMN untuk mencatatkan saham 12 anak cucu perusahaan milik negara tersebut seharusnya ditinjau ulang. Pasalnya, pandemi Covid-19 menggerus perekonomian termasuk pendapatan BUMN . Sekitar 70% dari semua sektor BUMN mengalami penurunan pendapatan di 2020. Secara total, pendapatan BUMN berkurang sampai dengan 90% dampak pandemi.
Ekonom Institute for Development or Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, dari semua sektor BUMN khususnya BUMN energi, BUMN karya/konstruksi, serta BUMN sektor kesehatan mengalami penurunan pendapatan. Menurutnya, dengan mempertahankan biaya operasional tetap rendah sekaligus menarik pinjaman baru itu merupakan solusi mudah terkait utang BUMN.
“Permasalahannya kenaikkan utang untuk menutupi operasional karena pendapatan turun, ini masuk kepada BUMN yang memang sudah bermasalah bahkan sebelum pandemi Covid-19,” katanya dalam Market Review IDX Channel, kemarin.
Dia menegaskan, wajar atau tidaknya kondisi ini dapat dilihat dari kinerja perusahaan pelat merah dari sebelum masa pandemi. Sebagai contoh, Garuda Indonesia yang sudah mempunyai masalah keuangan yang cukup berat jauh sebelum pandemi, kenaikan utangnya belum tentu bisa meningkatkan kinerja dan hanya tambal sulam saja.
“Di sinilah tingkat risikonya menjadi lebih tinggi karena kinerja belum tentu membaik tetapi utang terus meningkat sementara kita belum tahu pemulihan ekonomi kapan terjadi,” tegasnya.
Perusahaan BUMN dengan performa yang sudah tidak baik dan memiliki utang yang bertambah ini akan berisiko. Padahal di sisi lain, BUMN diharapkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan berkontribusi terhadap dividen kepada pemerintah.
“Dengan adanya situasi seperti ini di mana pendapatan menurun, perusahaan BUMN-nya terlilit utang, maka ini akan menjadi beban untuk banyak pihak,” tandasnya.
Meskipun Erick Thohir tidak memaparkan secara detail ke-12 anak cucu BUMN yang akan melakukan IPO, namun sejumlah perusahaan pelat merah telah berancang-ancang untuk mencatatkan sahamnya di bursa. Salah satunya yaitu anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) yang bergerak pada bisnis menara telekomunikasi yakni PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel).
Menurut Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo, Mitratel ditargetkan akan melakukan penawaran saham perdana pada tahun 2021. “Jadi anak usaha Telkom, Mitratel, yang fokus pada bisnis tower akan menjajaki IPO tahun 2021,” ujar dia dalam telekonfrensi, Rabu (2/12/2020).
Selain itu anak usaha PT Wijaya Karya Tbk yakni PT Wika Reality yang rencanannya listing di pasar modal pada 2020 harus ditunda pada tahun ini. Manajemen perseroan menyebut rencana IPO itu masih menunggu kelanjutan Kementerian BUMN dalam membentuk subholding perhotelan.
“Rencana IPO WIKA Realty akan ditunda sampai WIKA Realty dapat induk dari sub holding perhotelan, bisa di tahun depan atau paling cepat 2023 setelah rampung proses sub holding,” kata manajamen belum lama ini.
Disisi lain, PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) juga berencana melepas tiga anak perusahaannya untuk melantai di bursa. Aksi korporasi ini masuk dalam opsi pembenahan fundamental KRAS sampai tiga tahun mendatang.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menjelaskan, tiga anak perusahaan yang dicalonkan adalah PT Krakatau Tirta Industri, PT Krakatau Bandar Samudera, dan PT Industrial Estate. “Tentunya di sini KRAS harus berkonsultasi dengan Kementerian BUMN. Masih mengkaji bagaimana jalan yang terbaik. Apakah optimalisasi sinergi dulu baru IPO atau mungkin sebaliknya,” katanya.
Pada tahun lalu, PT Adhi Karya (Persero) Tbk juga menunda melakukan IPO dua anak perusahaan, yakni PT Adhi Persada Properti dan PT Adhi Persada Gedung. Penundaan penawaran saham ini ke publik tersebut disebabkan adanya faktor eksternal.
Direktur Utama Adhi Karya Entus Asnawi Mukhson menjelaskan, aksi korporasi tersebut seharusnya dilakukan manajemen pada 2019 lalu. Namun, hal tersebut batal karena terkendala faktor eksternal berupa perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS).
Hal ini membuat manajemen Adhi Karya memikirkan ulang potensi pasar regional ASEAN dan nasional. Selain itu, kondisi sosial, ekonomi dan kesehatan dalam negeri akibat pandemi Covid-19 tahun ini pun membuat pihak Adhi Karya tidak mengambil konsekuensi kerugian.
Karena itu, rencana IPO dua anak perusahan akan dilakukan pada 2021.
“Inilah pengaruh lingkungan eksternal atau global, yang sekarang ini kita hadapi ini pun yakni pandemi Covid-19, kalau kita salah mengantisipasi bisa mengakibatkan rontoknya perusahaan untuk bisa berkembangan di tahap berikutnya. Makanya, IPO ini kita tunda ke tahun 2020, tetapi situasi seperti ini maka kita tunda ke tahun depan (2021),” ujar Entus dalam Webinar terkait masa depan BUMN pascapandemi, Jakarta, Sabtu (10/10/2020). (hafid fuad/ shelma rachmayanti)
“Di pipeline, saya tidak mau bilang angka fix-nya nanti dicari-cari, tapi ada 8-12 yang kita akan go public, ini untuk target hingga 2023. Akan tetapi bukan sekedar go public, kembali fundamental dan sustain harus ada,” kata Erick Thohir dalam IDX Debut untuk PT Bank Syariah Indonesia Tbk di Main Hall Bursa Efek Indonesia, Jakarta, kemarin.
Dirinya menegaskan, saat ini terdapat 28 BUMN yang sahamnya tercatat di bursa. Hanya saja memang masih ada empat BUMN yang kinerja sahamnya belum sesuai harapan. Hal ini juga yang akan menjadi evaluasi Kementerian BUMN ke depannya. Untuk itu, pihaknya meminta dukungan sejumlah otoritas terkait, seperti BEI dan juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam membawa BUMN go publik dan go global. Baginya, budaya gotong royong masyarakat Indonesia, bisa membawa negara ini jauh lebih maju ke depannya.
“Insya Allah dengan kerja keras kami dan dukungan dari OJK, bursa dan seluruh penganut kebijakan ini, bisa kita jalankan sesuai dengan target yang kita canangkan. Dan Insya Allah perusahaan-perusahaan yang kita akan listing juga perusahaan-perusahaan yang baik serta punya strategi jangka panjang,” tegasnya.
Saat ini, ada beberapa BUMN yang sudah memiliki rencana bisnis jangka panjang yang cukup jelas. Seperti perbankan syariah yang kini menjadi bisnis PT Bank Syariah Indonesia Tbk. Bank Syariah Indonesia berstatus sebagai perusahaan BUMN terbuka dan tercatat sebagai emiten di Bursa Efek Indonesia dengan kode BRIS. Adapun Komposisi pemegang saham Bank Syariah Indonesia terdiri dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) 50,95%, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) 24,91%, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) 17,29%, DPLK BRI - Saham Syariah 2% dan publik 4,4%.
Optimisme di sektor keuangan syariah dan rencana bisnis Bank Syariah Indonesia yang jelas ini dibuktikan dengan melesatnya harga saham perusahaan. Harga saham BRIS pada saat IPO sebesar Rp510, sedangkan per 3 Februari 2021 harga saham BRIS mencapai Rp2.750 per lembar saham. Artinya, harga saham ini naik sekitar 5 kali lipat dibandingkan dengan posisi saat IPO. Selain itu, market capital BRIS pada saat IPO sebesar Rp4,96 triliun. Per 3 Februari 2021, market capital BRIS naik puluhan kali lipat mencapai Rp112,84 triliun.
Tidak hanya itu, prospek bisnis BUMN yang tidak kalah menjanjikan ke depannya, dikatakan Erick Thohir, yaitu industri telekomunikasi digital hingga industri EV Battery yang akan dibangun dalam waktu dekat.
Rencana Kementerian BUMN untuk mencatatkan saham 12 anak cucu perusahaan milik negara tersebut seharusnya ditinjau ulang. Pasalnya, pandemi Covid-19 menggerus perekonomian termasuk pendapatan BUMN . Sekitar 70% dari semua sektor BUMN mengalami penurunan pendapatan di 2020. Secara total, pendapatan BUMN berkurang sampai dengan 90% dampak pandemi.
Ekonom Institute for Development or Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, dari semua sektor BUMN khususnya BUMN energi, BUMN karya/konstruksi, serta BUMN sektor kesehatan mengalami penurunan pendapatan. Menurutnya, dengan mempertahankan biaya operasional tetap rendah sekaligus menarik pinjaman baru itu merupakan solusi mudah terkait utang BUMN.
“Permasalahannya kenaikkan utang untuk menutupi operasional karena pendapatan turun, ini masuk kepada BUMN yang memang sudah bermasalah bahkan sebelum pandemi Covid-19,” katanya dalam Market Review IDX Channel, kemarin.
Dia menegaskan, wajar atau tidaknya kondisi ini dapat dilihat dari kinerja perusahaan pelat merah dari sebelum masa pandemi. Sebagai contoh, Garuda Indonesia yang sudah mempunyai masalah keuangan yang cukup berat jauh sebelum pandemi, kenaikan utangnya belum tentu bisa meningkatkan kinerja dan hanya tambal sulam saja.
“Di sinilah tingkat risikonya menjadi lebih tinggi karena kinerja belum tentu membaik tetapi utang terus meningkat sementara kita belum tahu pemulihan ekonomi kapan terjadi,” tegasnya.
Perusahaan BUMN dengan performa yang sudah tidak baik dan memiliki utang yang bertambah ini akan berisiko. Padahal di sisi lain, BUMN diharapkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan berkontribusi terhadap dividen kepada pemerintah.
“Dengan adanya situasi seperti ini di mana pendapatan menurun, perusahaan BUMN-nya terlilit utang, maka ini akan menjadi beban untuk banyak pihak,” tandasnya.
Meskipun Erick Thohir tidak memaparkan secara detail ke-12 anak cucu BUMN yang akan melakukan IPO, namun sejumlah perusahaan pelat merah telah berancang-ancang untuk mencatatkan sahamnya di bursa. Salah satunya yaitu anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) yang bergerak pada bisnis menara telekomunikasi yakni PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel).
Menurut Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo, Mitratel ditargetkan akan melakukan penawaran saham perdana pada tahun 2021. “Jadi anak usaha Telkom, Mitratel, yang fokus pada bisnis tower akan menjajaki IPO tahun 2021,” ujar dia dalam telekonfrensi, Rabu (2/12/2020).
Selain itu anak usaha PT Wijaya Karya Tbk yakni PT Wika Reality yang rencanannya listing di pasar modal pada 2020 harus ditunda pada tahun ini. Manajemen perseroan menyebut rencana IPO itu masih menunggu kelanjutan Kementerian BUMN dalam membentuk subholding perhotelan.
“Rencana IPO WIKA Realty akan ditunda sampai WIKA Realty dapat induk dari sub holding perhotelan, bisa di tahun depan atau paling cepat 2023 setelah rampung proses sub holding,” kata manajamen belum lama ini.
Disisi lain, PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) juga berencana melepas tiga anak perusahaannya untuk melantai di bursa. Aksi korporasi ini masuk dalam opsi pembenahan fundamental KRAS sampai tiga tahun mendatang.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menjelaskan, tiga anak perusahaan yang dicalonkan adalah PT Krakatau Tirta Industri, PT Krakatau Bandar Samudera, dan PT Industrial Estate. “Tentunya di sini KRAS harus berkonsultasi dengan Kementerian BUMN. Masih mengkaji bagaimana jalan yang terbaik. Apakah optimalisasi sinergi dulu baru IPO atau mungkin sebaliknya,” katanya.
Pada tahun lalu, PT Adhi Karya (Persero) Tbk juga menunda melakukan IPO dua anak perusahaan, yakni PT Adhi Persada Properti dan PT Adhi Persada Gedung. Penundaan penawaran saham ini ke publik tersebut disebabkan adanya faktor eksternal.
Direktur Utama Adhi Karya Entus Asnawi Mukhson menjelaskan, aksi korporasi tersebut seharusnya dilakukan manajemen pada 2019 lalu. Namun, hal tersebut batal karena terkendala faktor eksternal berupa perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS).
Hal ini membuat manajemen Adhi Karya memikirkan ulang potensi pasar regional ASEAN dan nasional. Selain itu, kondisi sosial, ekonomi dan kesehatan dalam negeri akibat pandemi Covid-19 tahun ini pun membuat pihak Adhi Karya tidak mengambil konsekuensi kerugian.
Karena itu, rencana IPO dua anak perusahan akan dilakukan pada 2021.
“Inilah pengaruh lingkungan eksternal atau global, yang sekarang ini kita hadapi ini pun yakni pandemi Covid-19, kalau kita salah mengantisipasi bisa mengakibatkan rontoknya perusahaan untuk bisa berkembangan di tahap berikutnya. Makanya, IPO ini kita tunda ke tahun 2020, tetapi situasi seperti ini maka kita tunda ke tahun depan (2021),” ujar Entus dalam Webinar terkait masa depan BUMN pascapandemi, Jakarta, Sabtu (10/10/2020). (hafid fuad/ shelma rachmayanti)
(her)