Gurita Bisnis Keluarga
loading...
A
A
A
MENGURUSI bisnis keluarga atau turun temurun tidak semudah yang dibayangkan. Ada yang bisa bertahan hingga beberapa generasi , ada pula yang akhirnya dipailitkan.
Tak hanya di Indonesia, perusahaan generasi ketiga juga banyak berkembang di luar negeri. Misalnya, Toyota Motor Corporation (TMC) bertahan hingga beberapa generasi. Bahkan, yang menarik, Toyota yang kini menjadi industri mobil terbesar di dunia, semula justru hanya industri mesin tenun otomatis yang didirikan Sakichi Toyoda. Salah satu produk yang terkenal saat itu adalah Toyoda Wooden Handloom yang diproduksi pada 1890. Mesin tenun otomatis itu pula yang kemudian menjadi cikal bakal perakitan Toyota, yakni Toyoda Automatic Loom Works, Ltd. pada November 1926.
TMC kemudian didirikan pada September 1933 sebagai divisi mobil dari Pabrik Tenun Otomatis Toyoda. Divisi mobil perusahaan itu lalu memisahkan diri pada 27 Agustus 1937 dan menciptakan Toyota Motor Corporation yang dibangun oleh putra Sakichi, yaitu Kiichiro Toyoda. Kini Toyota sudah menjadi gurita bisnis keluarga yang sejak 2009 dipegang generasi ketiga, yakni Akio Toyoda.
Berbeda dengan perusahaan kamera asal Amerika Serikat, Kodak, justru tidak bisa bertahan hidup. Perusahaan yang dibangun George Eastman dan Henry Strong pada 1892 itu bangkrut pada 2012. Salah satu penyebabnya adalah perusahan tersebut tidak mengikuti teknologi digital fotografi. Bahkan, belakangan perusahaan itu mengubah bidang bisnisnya menjadi farmasi lewat Kodak Pharmaceuticals.
Pengamat manajemen Temy Setiawan menilai, ada tiga kunci yang harus dimiliki dan dijalankan perusahaan agar dapat bertahan sampai beberapa generasi. Pertama, memiliki sistem pengendalian yang baik dan siap dibawa dari generasi ke generasi. Kedua, sejauh mana produk dan jasa yang dihasilkan masih relevan dengan kebutuhan masyarakat atau pasar yang begitu dinamis. Ketiga, memiliki pemikiran yang mau maju dan berubah.
“Ini sudah dijalankan perusahaan besar. Di luar negeri, ada Toyota dan beberapa perusahaan besar lainnya. Di Indonesia seperti Ciputra, Djarum, Indofood, Grup Salim, dan lainnya yang sudah sampai generasi ketiga hingga keempat. Tapi, tidak hanya perusahaan besar, banyak juga usaha kecil menengah yang sebenarnya masih bertahan sampai sekarang, lebih dari generasi ketiga. Jadi, tergantung dari tiga kunci tersebut,” kata Temy, Jumat (05/02/2021).
Terkait sistem pengendalian, Temy menjelaskan siapa pun yang memimpin atau melanjutkan perusahaan, tinggal menjalankan sistem yang sudah terbangun hingga puluhan tahun. Namun, bukan berarti sistem tersebut tidak berubah, melainkan bisa dinamis mengikuti perkembangan zaman.
“Tidak begitu saja. Jadi, perlu dinamis juga karena sistem ini dimulai dari visi perusahaan, strategi yang diambil, bagaimana sistem itu mengendalikan karyawan dan hasil yang diharapkan. Begitu juga culture (budaya) yang dibuat dari generasi pertama dan diturunkan temurun ke generasi berikutnya,” jelasnya.
Ketika sistem berjalan, produk dan jasa juga harus relevan dengan kebutuhan konsumen. Temy melihat Kodak sukses dan terkenal dengan produk kameranya hingga dikenal sampai era 90-an. Setelah era 2000-an hingga 2010, kamera film tersebut sudah mulai ditinggalkan hingga akhirnya perusahaan menjadi bangkrut.
“Artinya, produk dan jasa yang diberikan harus adaptif, bisa menyelaraskan dengan konsumen. Indomie misalnya, sudah ada produk Mieghetti seperti spaghetti ala makanan Barat. Bahkan, produk mienya sudah mendunia. Artinya, research and development (RnD) mereka berjalan,” terang konsultan bisnis di beberapa perusahaan itu.
Di sisi lain, dosen Universitas Bunda Mulia itu menekankan kegagalan sebuah perusahaan ditengarai karena tidak ada keinginan atau pemikiran inovasi untuk berubah. Mereka kerap mempertahankan filosofi seperti masa lalu ketika usaha tersebut mulai dibentuk.
“Perkembangan itu harus bisa diadaptasi. Misalnya, pendirinya itu membangun bisnis ketika usia 25 tahun. Lalu, dia menyerahkan bisnis saat anaknya di usia 25 tahun. Artinya sudah 50 tahun. Masih mau pakai filosofi yang sama? Makanya, adaptif itu dimulai dari pola pikir antargenerasi, apakah mau beradaptasi mengikuti perkembangan budaya, peradaban manusia, dan perkembangan teknologi, serta memiliki keyakinan atau trust bahwa kemajuan itu menuju pada hal yang positif,” ujarnya.
Jika tidak memiliki keinginan itu, wajar bila banyak anak pengusaha yang akhirnya tidak mau melanjutkan bisnis keluarganya. Hal itu menyebabkan munculnya misteri generasi ketiga, usaha gagal, dan lainnya.
Padahal, lanjut Temy, bisnis keluarga tidak harus selalu memberikan tongkat estafet itu langsung kepada anaknya dengan menjadikan sebagai pemimpin atau jajaran direksi. Cara lainnya untuk tetap maju yaitu dengan menempatkan tokoh profesional. Sementara, anak atau cucu penerus bisa menjadi penentu kebijakan atau strategi perusahaan.
“Yang penting bisa menciptakan satu sistem pengendalian yang baik. Anak bisa saja hanya sebagai penyandang dana atau shareholders. Bukan dipaksakan untuk menjadi direksi atau involve dalam menjalankan bisnis tersebut kalau ternyata dia tidak suka di bidang itu. Peran si pendiri atau pemilik hanya mewariskan shareholders, kepentingan dari para pemegang saham atau pemilik dana,” tegas praktisi yang mengembangkan TS Consultant itu.
Selain ketiga faktor eksternal itu, ada juga faktor internal yang harus dimiliki agar bisnis bisa berjalan terus. Salah satunya yaitu ego dari pendiri atau generasi sebelumnya terhadap strategi atau kebijakan yang dibuat oleh pemimpin di generasi sekarang.
“Kadang yang membuat bisnis itu tidak berjalan karena rasa ego, tidak ikhlas, selalu melihat sisi negatif, dan terkesan meremehkan atau underestimate terhadap kemampuan penerusnya. Padahal, kalau itu dipikirkan dan diikhlaskan, bisnis pasti bisa running,” tandasnya. (Faorick Pakpahan)
Tak hanya di Indonesia, perusahaan generasi ketiga juga banyak berkembang di luar negeri. Misalnya, Toyota Motor Corporation (TMC) bertahan hingga beberapa generasi. Bahkan, yang menarik, Toyota yang kini menjadi industri mobil terbesar di dunia, semula justru hanya industri mesin tenun otomatis yang didirikan Sakichi Toyoda. Salah satu produk yang terkenal saat itu adalah Toyoda Wooden Handloom yang diproduksi pada 1890. Mesin tenun otomatis itu pula yang kemudian menjadi cikal bakal perakitan Toyota, yakni Toyoda Automatic Loom Works, Ltd. pada November 1926.
TMC kemudian didirikan pada September 1933 sebagai divisi mobil dari Pabrik Tenun Otomatis Toyoda. Divisi mobil perusahaan itu lalu memisahkan diri pada 27 Agustus 1937 dan menciptakan Toyota Motor Corporation yang dibangun oleh putra Sakichi, yaitu Kiichiro Toyoda. Kini Toyota sudah menjadi gurita bisnis keluarga yang sejak 2009 dipegang generasi ketiga, yakni Akio Toyoda.
Berbeda dengan perusahaan kamera asal Amerika Serikat, Kodak, justru tidak bisa bertahan hidup. Perusahaan yang dibangun George Eastman dan Henry Strong pada 1892 itu bangkrut pada 2012. Salah satu penyebabnya adalah perusahan tersebut tidak mengikuti teknologi digital fotografi. Bahkan, belakangan perusahaan itu mengubah bidang bisnisnya menjadi farmasi lewat Kodak Pharmaceuticals.
Pengamat manajemen Temy Setiawan menilai, ada tiga kunci yang harus dimiliki dan dijalankan perusahaan agar dapat bertahan sampai beberapa generasi. Pertama, memiliki sistem pengendalian yang baik dan siap dibawa dari generasi ke generasi. Kedua, sejauh mana produk dan jasa yang dihasilkan masih relevan dengan kebutuhan masyarakat atau pasar yang begitu dinamis. Ketiga, memiliki pemikiran yang mau maju dan berubah.
“Ini sudah dijalankan perusahaan besar. Di luar negeri, ada Toyota dan beberapa perusahaan besar lainnya. Di Indonesia seperti Ciputra, Djarum, Indofood, Grup Salim, dan lainnya yang sudah sampai generasi ketiga hingga keempat. Tapi, tidak hanya perusahaan besar, banyak juga usaha kecil menengah yang sebenarnya masih bertahan sampai sekarang, lebih dari generasi ketiga. Jadi, tergantung dari tiga kunci tersebut,” kata Temy, Jumat (05/02/2021).
Terkait sistem pengendalian, Temy menjelaskan siapa pun yang memimpin atau melanjutkan perusahaan, tinggal menjalankan sistem yang sudah terbangun hingga puluhan tahun. Namun, bukan berarti sistem tersebut tidak berubah, melainkan bisa dinamis mengikuti perkembangan zaman.
“Tidak begitu saja. Jadi, perlu dinamis juga karena sistem ini dimulai dari visi perusahaan, strategi yang diambil, bagaimana sistem itu mengendalikan karyawan dan hasil yang diharapkan. Begitu juga culture (budaya) yang dibuat dari generasi pertama dan diturunkan temurun ke generasi berikutnya,” jelasnya.
Ketika sistem berjalan, produk dan jasa juga harus relevan dengan kebutuhan konsumen. Temy melihat Kodak sukses dan terkenal dengan produk kameranya hingga dikenal sampai era 90-an. Setelah era 2000-an hingga 2010, kamera film tersebut sudah mulai ditinggalkan hingga akhirnya perusahaan menjadi bangkrut.
“Artinya, produk dan jasa yang diberikan harus adaptif, bisa menyelaraskan dengan konsumen. Indomie misalnya, sudah ada produk Mieghetti seperti spaghetti ala makanan Barat. Bahkan, produk mienya sudah mendunia. Artinya, research and development (RnD) mereka berjalan,” terang konsultan bisnis di beberapa perusahaan itu.
Di sisi lain, dosen Universitas Bunda Mulia itu menekankan kegagalan sebuah perusahaan ditengarai karena tidak ada keinginan atau pemikiran inovasi untuk berubah. Mereka kerap mempertahankan filosofi seperti masa lalu ketika usaha tersebut mulai dibentuk.
“Perkembangan itu harus bisa diadaptasi. Misalnya, pendirinya itu membangun bisnis ketika usia 25 tahun. Lalu, dia menyerahkan bisnis saat anaknya di usia 25 tahun. Artinya sudah 50 tahun. Masih mau pakai filosofi yang sama? Makanya, adaptif itu dimulai dari pola pikir antargenerasi, apakah mau beradaptasi mengikuti perkembangan budaya, peradaban manusia, dan perkembangan teknologi, serta memiliki keyakinan atau trust bahwa kemajuan itu menuju pada hal yang positif,” ujarnya.
Jika tidak memiliki keinginan itu, wajar bila banyak anak pengusaha yang akhirnya tidak mau melanjutkan bisnis keluarganya. Hal itu menyebabkan munculnya misteri generasi ketiga, usaha gagal, dan lainnya.
Padahal, lanjut Temy, bisnis keluarga tidak harus selalu memberikan tongkat estafet itu langsung kepada anaknya dengan menjadikan sebagai pemimpin atau jajaran direksi. Cara lainnya untuk tetap maju yaitu dengan menempatkan tokoh profesional. Sementara, anak atau cucu penerus bisa menjadi penentu kebijakan atau strategi perusahaan.
“Yang penting bisa menciptakan satu sistem pengendalian yang baik. Anak bisa saja hanya sebagai penyandang dana atau shareholders. Bukan dipaksakan untuk menjadi direksi atau involve dalam menjalankan bisnis tersebut kalau ternyata dia tidak suka di bidang itu. Peran si pendiri atau pemilik hanya mewariskan shareholders, kepentingan dari para pemegang saham atau pemilik dana,” tegas praktisi yang mengembangkan TS Consultant itu.
Selain ketiga faktor eksternal itu, ada juga faktor internal yang harus dimiliki agar bisnis bisa berjalan terus. Salah satunya yaitu ego dari pendiri atau generasi sebelumnya terhadap strategi atau kebijakan yang dibuat oleh pemimpin di generasi sekarang.
“Kadang yang membuat bisnis itu tidak berjalan karena rasa ego, tidak ikhlas, selalu melihat sisi negatif, dan terkesan meremehkan atau underestimate terhadap kemampuan penerusnya. Padahal, kalau itu dipikirkan dan diikhlaskan, bisnis pasti bisa running,” tandasnya. (Faorick Pakpahan)
(wan)