Kreatif dan Produktif di Masa Sulit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wabah corona memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap sektor ekonomi baik global maupun nasional. Tak heran bila kecemasan terhadap lahirnya krisis yang berujung pemecatan masif pun muncul di berbagai sektor usaha. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sampai saat ini sudah ada 5,2 juta pekerja yang dirumahkan atau menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat semakin panjangnya wabah corona atau Covid-19 di Indonesia.
“Semua berhenti, ibarat listrik ini seperti blackout. Dengan adanya Covid-19 membuat aliran atau perputaran uang tersumbat,” ujar Managing Partner Inventure Yuswohady. Dia melanjutkan, pandemi Covid-19 juga mulai menggeser prilaku konsumen yang sangat mendasar. Ketika konsumen dirumahkan dan diberlakukan pembatasan sosial maka terjadi pola baru dalam beraktivitas.
“Begitu pula dengan bisnis. Bisnis yang bisa hidup sekarang adalah bisnis yang bisa stay at home. Pembatasan sosial membuat perilaku konsumen berubah. Dari awalnya bisa seenaknya ke mana saja, sekarang semua harus di rumah. Maka lahirlah stay at home economy seperti berbelanja secara online, food delivery, home entertainment, itu yang akan mengubah kebiasaan,” tutur dia.
Menurut dia, di tengah pandemi Covid-19 ini banyak pula bisnis yang harus berjatuhan. Namun, di sisi lain banyak pula bisnis yang potensial akibat perubahan perilaku konsumen. “Dengan pelarangan orang bepergian dan keluar rumah, pariwisata menjadi sektor yang paling terdampak oleh Covid-19. Sementara restoran mulai beralih ke online delivery. Kemudian orang yang mencari hiburan itu dengan menonton di rumah melalui Netflix. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir Netflix justru panen dan sahamnya melonjak tajam,” jelas Yuswohady.
Sementara bisnis yang mengalami peningkatan akibat Covid-19 antara lain e-commerce, logistik, food delivery, remote working, streaming services, media dan telekomunikasi, online learning, cloud services, farmasi, cleaning services, dan home fitness.
“Semakin pembatasan sosial diperketat maka semua akan beralih ke online. Produsen alat kesehatan, suplemen daya tahan tubuh, itu melonjak permintaannya. Kemudian anak-anak dipaksa untuk belajar secara online menjadi kebiasaan baru yang sebelumnya sulit dikembangkan,” kata Yuswohady.
Di sisi lain, Sekjen Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin mengatakan bahwa saat ini ritel dalam kondisi terjepit akibat wabah corona. Karena itu, banyak para pengusaha yang mengambil jalan ekstrem sebagai upaya untuk bertahan. Jika dilihat dari segi pendapatan, tentunya menurun.
“Jangan harap penjualan meningkat menjelang puasa, berjualan saja sekarang sudah tidak bisa karena malnya di tutup kan. Kalau ditanya kerugiannya sampai berapa persen, yang jelas di atas 70% sampai 80%, bahkan jika berkepanjangan bisa lebih,” jelas Solihin.
Tentunya hal tersebut sangat menimbulkan kekhawatiran, bukan tidak mungkin banyak ritel yang terpaksa harus menutup gerainya di beberapa mal tertentu demi menyelamatkan yang lain dan karena tidak mampu membayar biaya operasional.
“Sekarang saja kita liat sudah ada ritel pakaian yang terpaksa menutup gerainya di beberapa mal dan merumahkan sebagian karyawannya. Dengan adanya pandemi korona ini penjualan perusahaan bisnis seperti ritel pakaian bisa turun 80 sampai 90%,” tegas dia.
Masalah kerugian ini pun tidak hanya dialami di Indonesia saja, Solihin pun melihat hal ini juga terjadi di banyak negara. Para pengusaha tertekan, antara tanggung jawab kelangsungan usaha dan mempertahankan pekerja.
Tidak hanya pada bidang ritel, di bidang perhotelan dan restoran pun turut merasakan hal yang sama. Mereka terpaksa mengurangi sebagian tenaga kerja karena penurunan okupansi perhotelan mencapai 50% dalam tiga bulan pertama 2020.
“Penurunan okupansi dalam hotel dan restoran di Jakarta bergantung pada kondisi bisnis di dunia dan di Jakarta itu sendiri,” ungkap anggota Perhimpunan Hotel Dan Restoran Indonesia (PHRI) Johnnie Sugiarto.
Beberapa pengusaha hotel terpaksa harus melakukan efisiensi, mulai dari mengurangi biaya operasional hingga memangkas jumlah karyawan. “Kita sudah ada yang memang terpaksa mengurangi, dan ada juga sebagian hotel sudah memberlakukan program cuti tanpa gaji,” tambah dia.
Di berbagai daerah tingkat keterhunian hotel hanya tersisa 20%. Padahal, di saat low season, okupansi bisa mencapai 30%-40%. ?”Penurunan okupansi di bulan April ini tentunya akan semakin besar lagi,” jelas dia.
Johnnie menilai pemerintah perlu segera mengambil langkah dan tentu mengajak pelaku usaha duduk bersama. Ia pun melihat dalam dua bulan ke depan harus ada stimulus yang benar-benar bisa menjawab persoalan ini. “Bayangkan saja, para pengusaha ini ada gaji ke-13, apakah nantinya mereka akan sanggup membayarkan ini apabila tidak ada stimulus sama sekali dari pemerintah,” tegas dia.
Sementara itu, pengamat ekonomi Didik J Rachbini menilai, fenomena pengurangan tenaga kerja ini merupakan puncak dari lemahnya ekonomi selama beberapa waktu terakhir, ditambah lagi dengan merebaknya wabah virus corona. “Kalau melihat turunnya penjualan ritel, sebenarnya hal ini sudah terjadi sejak Agustus 2019, di mana indeks penjualan ritel Indonesia terlihat konsisten di level mengkhawatirkan,” jelas Didik.
Didik menambahkan, yang terburuk tercatat pada Agustus 2019 sebesar minus 1,8% dan Februari 2020 minus 0,5%. Desember yang menjadi bulan surga belanja pun tidak berhasil mengangkat penjualan ritel karena hanya mencatatkan pertumbuhan 3,6%.
“Indikator Purchasing Manager Index (PMI) terus turun, kemarin memang sempat mengalami kenaikan, tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan di tengah memuncaknya virus corona,” ungkap dia.
Meski begitu, Didik tidak menampik bila merebaknya wabah ini menambah beban ekonomi. Kekhawatiran terhadap virus corona membuat aktivitas industri hingga pariwisata terganggu. Hal ini membuat sejumlah perusahaan mengurangi jumlah pegawai. “Apabila pandemi Covid-19 bisa terselesaikan dengan baik pada kuartal III/2020, setidaknya akan ada pemasukan mulai kuartal I/2021 dan diharapkan para pelaku usaha ini bisa kembali normal pada 2021,” tegas dia.
Namun, di balik banyak gempuran dalam bidang usaha yang mengalami penurunan akibat wabah korona ini, perencana keuangan dari May Institute, Ellen May mengatakan, saat krisis terjadi justru masyarakat harus tetap optimistis.
"Jika berada dalam situasi yang besar seperti pemberhentian kerja, kita tidak boleh selalu terfokus pada masalah, tetapi kita harus terus berjuang. Berfokus pada solusi, berpikir bahwa saya bisa," ungkap dia.
Melalui bisnis online dari rumah, masyarakat bisa menawarkan berbagai macam produk. Saat ini produk kesehatan seperti masker dan hand sanitizer paling banyak diburu. Masyarakat juga mencari barang konsumsi, kebutuhan sehari-hari, dan peralatan untuk bekerja di rumah.
“Bangkit dari keterpurukan lewat bisnis itu adalah strategi yang cerdas. Selain bisa menolong orang dengan menjual solusi, kita juga membarter solusi tersebut dengan uang. Meskipun berada di rumah, tetap bisa menghasilkan,” jelas Ellen.
Selain membuka usaha lewat berjualan online, Anda juga bisa memanfaatkan situasi lewat sektor jasa seperti menjadi guru les online. Aktivitas sekolah online bisa jadi peluang karena banyak orang tua yang justru pusing membatu menyelesaikan tugas sekolah anaknya.
“Banyak yang bisa dilakukan, putar otak sedikit, kasih harga yang manusiawi. Kita sudah bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang baik untuk diri kita sendiri. Bila berkembang dengan baik, kita bisa mempekerjakan orang lain dan membantu perekonomian orang lain juga,” tutur dia. (Aprilia S Andyna/Oktiani Endarwati)
“Semua berhenti, ibarat listrik ini seperti blackout. Dengan adanya Covid-19 membuat aliran atau perputaran uang tersumbat,” ujar Managing Partner Inventure Yuswohady. Dia melanjutkan, pandemi Covid-19 juga mulai menggeser prilaku konsumen yang sangat mendasar. Ketika konsumen dirumahkan dan diberlakukan pembatasan sosial maka terjadi pola baru dalam beraktivitas.
“Begitu pula dengan bisnis. Bisnis yang bisa hidup sekarang adalah bisnis yang bisa stay at home. Pembatasan sosial membuat perilaku konsumen berubah. Dari awalnya bisa seenaknya ke mana saja, sekarang semua harus di rumah. Maka lahirlah stay at home economy seperti berbelanja secara online, food delivery, home entertainment, itu yang akan mengubah kebiasaan,” tutur dia.
Menurut dia, di tengah pandemi Covid-19 ini banyak pula bisnis yang harus berjatuhan. Namun, di sisi lain banyak pula bisnis yang potensial akibat perubahan perilaku konsumen. “Dengan pelarangan orang bepergian dan keluar rumah, pariwisata menjadi sektor yang paling terdampak oleh Covid-19. Sementara restoran mulai beralih ke online delivery. Kemudian orang yang mencari hiburan itu dengan menonton di rumah melalui Netflix. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir Netflix justru panen dan sahamnya melonjak tajam,” jelas Yuswohady.
Sementara bisnis yang mengalami peningkatan akibat Covid-19 antara lain e-commerce, logistik, food delivery, remote working, streaming services, media dan telekomunikasi, online learning, cloud services, farmasi, cleaning services, dan home fitness.
“Semakin pembatasan sosial diperketat maka semua akan beralih ke online. Produsen alat kesehatan, suplemen daya tahan tubuh, itu melonjak permintaannya. Kemudian anak-anak dipaksa untuk belajar secara online menjadi kebiasaan baru yang sebelumnya sulit dikembangkan,” kata Yuswohady.
Di sisi lain, Sekjen Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin mengatakan bahwa saat ini ritel dalam kondisi terjepit akibat wabah corona. Karena itu, banyak para pengusaha yang mengambil jalan ekstrem sebagai upaya untuk bertahan. Jika dilihat dari segi pendapatan, tentunya menurun.
“Jangan harap penjualan meningkat menjelang puasa, berjualan saja sekarang sudah tidak bisa karena malnya di tutup kan. Kalau ditanya kerugiannya sampai berapa persen, yang jelas di atas 70% sampai 80%, bahkan jika berkepanjangan bisa lebih,” jelas Solihin.
Tentunya hal tersebut sangat menimbulkan kekhawatiran, bukan tidak mungkin banyak ritel yang terpaksa harus menutup gerainya di beberapa mal tertentu demi menyelamatkan yang lain dan karena tidak mampu membayar biaya operasional.
“Sekarang saja kita liat sudah ada ritel pakaian yang terpaksa menutup gerainya di beberapa mal dan merumahkan sebagian karyawannya. Dengan adanya pandemi korona ini penjualan perusahaan bisnis seperti ritel pakaian bisa turun 80 sampai 90%,” tegas dia.
Masalah kerugian ini pun tidak hanya dialami di Indonesia saja, Solihin pun melihat hal ini juga terjadi di banyak negara. Para pengusaha tertekan, antara tanggung jawab kelangsungan usaha dan mempertahankan pekerja.
Tidak hanya pada bidang ritel, di bidang perhotelan dan restoran pun turut merasakan hal yang sama. Mereka terpaksa mengurangi sebagian tenaga kerja karena penurunan okupansi perhotelan mencapai 50% dalam tiga bulan pertama 2020.
“Penurunan okupansi dalam hotel dan restoran di Jakarta bergantung pada kondisi bisnis di dunia dan di Jakarta itu sendiri,” ungkap anggota Perhimpunan Hotel Dan Restoran Indonesia (PHRI) Johnnie Sugiarto.
Beberapa pengusaha hotel terpaksa harus melakukan efisiensi, mulai dari mengurangi biaya operasional hingga memangkas jumlah karyawan. “Kita sudah ada yang memang terpaksa mengurangi, dan ada juga sebagian hotel sudah memberlakukan program cuti tanpa gaji,” tambah dia.
Di berbagai daerah tingkat keterhunian hotel hanya tersisa 20%. Padahal, di saat low season, okupansi bisa mencapai 30%-40%. ?”Penurunan okupansi di bulan April ini tentunya akan semakin besar lagi,” jelas dia.
Johnnie menilai pemerintah perlu segera mengambil langkah dan tentu mengajak pelaku usaha duduk bersama. Ia pun melihat dalam dua bulan ke depan harus ada stimulus yang benar-benar bisa menjawab persoalan ini. “Bayangkan saja, para pengusaha ini ada gaji ke-13, apakah nantinya mereka akan sanggup membayarkan ini apabila tidak ada stimulus sama sekali dari pemerintah,” tegas dia.
Sementara itu, pengamat ekonomi Didik J Rachbini menilai, fenomena pengurangan tenaga kerja ini merupakan puncak dari lemahnya ekonomi selama beberapa waktu terakhir, ditambah lagi dengan merebaknya wabah virus corona. “Kalau melihat turunnya penjualan ritel, sebenarnya hal ini sudah terjadi sejak Agustus 2019, di mana indeks penjualan ritel Indonesia terlihat konsisten di level mengkhawatirkan,” jelas Didik.
Didik menambahkan, yang terburuk tercatat pada Agustus 2019 sebesar minus 1,8% dan Februari 2020 minus 0,5%. Desember yang menjadi bulan surga belanja pun tidak berhasil mengangkat penjualan ritel karena hanya mencatatkan pertumbuhan 3,6%.
“Indikator Purchasing Manager Index (PMI) terus turun, kemarin memang sempat mengalami kenaikan, tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan di tengah memuncaknya virus corona,” ungkap dia.
Meski begitu, Didik tidak menampik bila merebaknya wabah ini menambah beban ekonomi. Kekhawatiran terhadap virus corona membuat aktivitas industri hingga pariwisata terganggu. Hal ini membuat sejumlah perusahaan mengurangi jumlah pegawai. “Apabila pandemi Covid-19 bisa terselesaikan dengan baik pada kuartal III/2020, setidaknya akan ada pemasukan mulai kuartal I/2021 dan diharapkan para pelaku usaha ini bisa kembali normal pada 2021,” tegas dia.
Namun, di balik banyak gempuran dalam bidang usaha yang mengalami penurunan akibat wabah korona ini, perencana keuangan dari May Institute, Ellen May mengatakan, saat krisis terjadi justru masyarakat harus tetap optimistis.
"Jika berada dalam situasi yang besar seperti pemberhentian kerja, kita tidak boleh selalu terfokus pada masalah, tetapi kita harus terus berjuang. Berfokus pada solusi, berpikir bahwa saya bisa," ungkap dia.
Melalui bisnis online dari rumah, masyarakat bisa menawarkan berbagai macam produk. Saat ini produk kesehatan seperti masker dan hand sanitizer paling banyak diburu. Masyarakat juga mencari barang konsumsi, kebutuhan sehari-hari, dan peralatan untuk bekerja di rumah.
“Bangkit dari keterpurukan lewat bisnis itu adalah strategi yang cerdas. Selain bisa menolong orang dengan menjual solusi, kita juga membarter solusi tersebut dengan uang. Meskipun berada di rumah, tetap bisa menghasilkan,” jelas Ellen.
Selain membuka usaha lewat berjualan online, Anda juga bisa memanfaatkan situasi lewat sektor jasa seperti menjadi guru les online. Aktivitas sekolah online bisa jadi peluang karena banyak orang tua yang justru pusing membatu menyelesaikan tugas sekolah anaknya.
“Banyak yang bisa dilakukan, putar otak sedikit, kasih harga yang manusiawi. Kita sudah bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang baik untuk diri kita sendiri. Bila berkembang dengan baik, kita bisa mempekerjakan orang lain dan membantu perekonomian orang lain juga,” tutur dia. (Aprilia S Andyna/Oktiani Endarwati)
(ysw)