Demi Efisiensi, Sektor Usaha Perlu Berubah

Selasa, 16 Maret 2021 - 06:17 WIB
loading...
Demi Efisiensi, Sektor Usaha Perlu Berubah
Ruang perkantoran. Foto/Dok SINDOphoto/Ali Masduki
A A A
JAKARTA-Penerapan era bekerja tanpa kantor di masa pandemic Covid-19 ini tidak bisa diperuntukkan bagi semua sektor usaha. Pasalnya jika kebijakan ini diterapkan secara umum bisa merugikan bagi beberapa sektor industri.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamandani menilai penerapan era tanpa kantor atau officeless tidak bisa diadopsi dalam semua sektor seperti pada dunia usaha. Karena nantinya kebijakan ini bisa saja memberikan efek kerugian bagi industri tersebut. Pengaruh kondisi kerja jarak jauh terhadap produktivitas perusahaan tergantung pada jenis usaha dan fungsi pekerjaan yang dilakukan.

"Misalnya saja perusahaan teknologi mungkin cocok dengan cara ini, tapi untuk jenis usaha lain, bahkan yang sama-sama jasa akan sulit dilakukan karena level adopsi teknologi di tiap sektor industri berbeda tidak bisa disamakan," jelas Shinta.

Baca juga:Ini Aturan Main Sektor Usaha Pariwisata saat Pengetatan PSBB Jakarta

Bisa dikatakan, lanjut dia, tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari jarak jauh. Menurut Shinta banyak kegiatan usaha dan pekerjaan yang masih membutuhkan interaksi langsung antar manusia atau menuntut pekerjaan tersebut dilkaukan ditempat tertentu. Dengan begitu, tanpa adanya interaksi atau tidak berada ditempat terebut, pekerjaan atau produktivitas tidak akan terjadi dengan baik. "Kalau tidak ada produktivitas sudah pasti perusahaan akan rugi," katanya.

Besaran kerugian yang didapat, tutur Shinta, belum bisa dihitung, karena tergantung jenis usaha dan seberapa banyak porsi pekerjaan atau produktivitas yang bisa dipertahankan dalam kondisi bekerja di rumah. Karena, semakin besar perusahaan, tergantung pada interaksi langsung tentu saja bakal semakin tinggi hambatan terhadap produktivitasnya. Alhasil kerugiannya akan besar.

"Kerugian yang dimaksud tidak hanya masalah perusahaan yang tidak mampu menciptkan keuntungan saja, tapi juga kerugian. Maksudnya, peruahaan harus membayar pengeluaran dengan besaran yang sama (fixed cost) sedangkan output produktivitas turun secara dratis," tutur Shinta.

Baca juga:Meneruskan WFH Menjadi FWA

Idealnya, kata dia, harus ada kriteria tertentu jika suatu perusahaan tidak membuka cabang salah satunya menurut Shinta harus diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya (SDM). "SDM sangat penting bagi kelanjutan perusahaan. Karena dari kualitas SDM akan meningkatkan produktivitas perusahaan. Karena perusahaan yang menerapkan sistem officeless ini tentu juga melakukan perubahan terhadap berbagai sistem dan teknologi," tambahnya.

Dia mengungkapkan, peningkatan kualitas SDM tersebut bisa dilakukan perusahaan dengan berbagai cara. Termasuk di antaranya melalui pendidikan, pelatihan, bahkan budaya kerja. Terlebih menghadapi era revolusi indutri 4.0 ketika SDM harus memiliki kemampuan terhadap teknologi.

"Sebagai contoh, nilai akuntabilitas perusahaan tentu tumbuh juga dari SDM-nya. Jangan sampai dengan menutup beberapa kantor cabang tapi tidak diimbangi dengan skill SDM menurunkan performa perusahaan. Jadi, SDM juga menentukan strategi perusahaan ke depannya," tuturnya.

Meskipun tidak bisa diterapkan pada semua sektor usaha, namun Shinta melihat officeless bisa memberikan keuntungan ‎salah satunya menghemat biaya pengeluaran seperti biaya tagihan listrik, air dan lainnya yang memang bisa lebih ditekan. Selin itu, bagi karyawan cenderung lebih fleksibel dalam hal kerja. Mereka tidak lagi terpaku pada aturan 8-5 atau 9-6.

"Tanggung jawab pekerjaan berupa laporan harus tetap berjalan. Sehingga meski bekerja dari jarak jauh tetap harus tanggung jawab terhadap pekerjaan," katanya.

Tidak Ada Jam Kerja

Dihubungi terpisah, Dosen Administrasi Perkantoran Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI), Mila Viendyasari mengatakan era officeless sudah banyak dilakukan sejumlah perusahaan di luar negeri. Sebut saja Amerika, Eropa dan Jepang. Dulu, sistem kerja seperti ini sering disebut dengan flexy work dimana pekerja bisa bekerja tanpa harus datang ke kantor.

“Kalau dilihat dari data, negara yang sangat tinggi menerapkan ini contohnya yaitu Belgia, Finlandia lebih dari 20%. Dari tahun 2010 keatas mereka sudah terapkan sistem kerja flexy work. Amerika juga lumayan tinggi, Swedia paling tinggi,” katanya.

Menurut dia, negara-negara tersebut mampu menerapkan sistem officeless karena budaya disiplin pekerja sudah tinggi. Sehingga walaupun tidak datang ke kantor namun mereka sudah otomatis mengerjakan tugas sesuai kewajiban. Jika ditelisik lebih lanjut, masih ada hal-hal pemicu yang harus diterapkan untuk sistem kerja disini. Misalnya untuk karyawan yang datang on time akan mendapat penghargaan. Atau sebaliknya, pekerja yang datang telat akan diberikan sanksi.

Baca juga:Efek WFH, Perusahaan Pangkas Luas Kantor Sampai 30%

Dia mengungkapkan, penerapan work from home (WFH) yang paling penting adalah budaya kerjanya. Di Indonesia agak syok culture, karena biasanya untuk datang ke kantor tepat waktu harus ada iming-iming atau ada sanksi kalau terlambat.

“Bayangkan mental masih begitu terus sekarang diterapkan WFH, bisa jadi bermalas-malas. Memang budaya ini PR- nya bersama terutama untuk perusahaan harus pintar bagaimana menerapkan karyawan agar disiplin tapi dengsn sistem WFH. Perusahaan harus punya sistem yang baik untuk pengontrolan pekerjaan karyawan,” paparnya.

Mila menuturkan, siap tidak siap sebenarnya kedepan memang officeless akan diterapkan di berbagai bidang bahkan di pemerintahan. Namun dengan kondisi pandemi ini seakan kita jadi terpaksa lebih cepat menerapkannya.

Jadi kalau dilihat dari berbagai referensi di luar negeri tahun 1980an sudah banyak pengusahan sudah banyak yang menerapkan bekerja dari rumah. Lalu bagaimana di Indonesia? Mila menuturkan mungkin banyak yang belum siap. Tapi, mau tidak mau harus siap karena dengan kondisi new normal ini. “Kalaupun Covid sudah selesai, banyak perusahaan yang mau menerapkan hybrid. Ngga kayak dulu lagi tiap hari ke kantor, jadi banyak yang ingin menerapkan dan memang ternyata ada hal-hal yang ternyata membuat efisian secara di kantor operasional kantor,” ungkapnya.

Mila menjelaskan, beberapa perusahaan yang sudah disurvei semisal Google bahkan mereka tidak lagi menerapkan jam kerja. Karyawan lebih bebas, tapi memang secara mental karyawan sudah terbentuk dengan baik. Jadi memang sudah disiplin, dimanapun mereka berada bahkan di kantor mereka tidak harus duduk di mejanya, karena disana banyak cafe tapi mereka tetap kerja.

Lebih lanjut dia menjelaskan, jika dilihat dari operasional bulanan officeless lebih efisien. Di sisi lain, harus diperhatikan juga perangkat kerja yang digunakan untuk membangun sistem IT yang baik. Kemudian setiap orang harus dibekali dengan perangkat kerja yang mumpuni.

“Bisa efisian, tapi juga harus investasi besar di sisi lain terutama untuk mendukung perangkat kerja. Belum lagi sistem yang berhubungan dengan HRD, semisal seperti apa absennya, laporannya. Secara daily sudah pasti operasional turun, tapi harus investasi di bidang lain,” paparnya.

Jika sistem tersebut diterapkan di pemerintahan maka yang harus disiapkan adalah komitmen dan juga dukungan tentang regulasinya. Kalau di luar negeri seperti Amerika sudah ada aturan hal tersebut.

“Kita harus mulai diterapkan terutama untuk aparatur sipil negara (ASN). Kalau sudah ada regulasi yang jelas, nanti perusahaan dapat mengikuti. Dari kebijakan organisasi juga harus disusun kebijakan perusahaan harus mempunyai beberapa isu mendasar tentang kelayakannya seperti apa. Karena yang dikeluhkan oleh orang saat WFH ternyata jam kerja malah nggak karuan. Kalau dulu ke kantor 9-5. Kalau WFH malah jadi ngga jelas sampai malam. Hal itu perlu kebijakan ditetapkan,” ungkapnya.

Dalam hal ini, pengaturan sistem harus diatur dengan tepat sehingga jangan sampai yang produktif dan tidak tapi mendapat gaji yang sama. Sehingga harus ada ukuran produktivitas. Dan hal tersebut menjadi tantangan untuk perusahaan. Yang juga tidak kalah penting adalah lingkungan fisik, misal bagaimana bekerja di rumah dengan tetap sehat. Artinya, untuk keperluan bekerja seperti meja kursi dan perangkat lainnya juga harus diperhatikan. "Karena kadang ada hal yang sudah setahun (WFH) baru kepikiran mau beli meja. Jadi sosialisasi itu perlu. Karena sebetulnya duduk di kursi makan itu ngga bagus. Kursi kerja sudah dirancang sedemikian rupa sehingga tidak mudah lelah. Kemudian juga soal big data perusahaan harus diperhatikan karena menyangkut file rahasia," jelasnya.

Jika memang sistem kerja WFH dirasa lebih baik maka yang perlu dilakukan pemerintah adalah adanya komitmen dari pemangku kepentingan. Dimulai dari pemerintah pusat, komitmen didukung oleh legislatif, swasta dan masyarakat. Bahkan mungkin juga dibentuk wadah diskusi sehingga apa yang menjadi kebijakan dapat dilakukan dengan baik. "Jadi karena memang kita ke depan harus punya kebijakan yang baik jadi semua harus kolaborasi, ngga bisa perusahaan menerapkan kebijakannya sendiri tapi kebijakan payung besarnya dari pemerintah. Regulasi yang mendukung lainnya misal penetapan definisi bekerja dari jauh itu seperti apa, kelayakannya seperti apa, hak dan kewajiban karyawan dan perusahaan seperti apa. Itu ranahnya pemerintah untuk membuat kolaborasi sebagai pemangku kepentingan sehingga muncul aturan pedoman pelaksanaan. Semua bisa seragam dan
bisa diterapkan dengan baik,” katanya.

Butuh Waktu Lima Tahun

Pengamat manajemen Wahyu T Setyobudi menilai perilaku digital banking di Indonesia belum terbentuk sempurna. Butuh waktu lima tahun untuk dapat mencapai titik optimal sehingga secara ekonomis dapat mencukupi. Sekarang ini, menurutnya, skema daur hidup produk masih dalam introduction menuju growth yang membutuhkan biaya besar untuk mengedukasi masyarakat.

Terkait kesiapan masyarakat, Wahyu menuturkan, nasabah Indonesia sangat potensial untuk mengadopsi layanan perbankan digital. Indikatornya, jumlah penduduk yang besar, penetrasi internet yang telah mencapai 73,7%, bonus demografi, dan kelas menengah yang besar.

“Tinggal perusahaan dan pemerintah melakukan edukasi yang intensif kepada masyarakat jika ingin mendapatkan keuntungan dari potensi yang ada. Hal itu untuk membangun budaya transaksi digital yang cerdas dan positif,” katanya.

Transformasi digital diyakini tidak hanya terjadi pada sektor jasa keuangan. Wahyu memaparkan perusahaan harus merasionalisasi jumlah cabang fisik dan menggantinya dengan channel digital. metode memperkaya jangkauan kepada pelanggan ini disebut omni channeling.

Dia mengutarakan perusahaan dapat mengidentifikasi customer journey melalui kebutuhan dan pembelian. Bahkan pasca pembelian masih bisa terhubung dengan customer.

“Kemudian merancang saluran yang tepat untuk menjangkaunya dengan pesan yang tepat melalui channel online dan offline (digital dan fisik). Agar strategi ini berhasil tentu banyak sekali prasyarat internal yang harus dibangun, salah satunya adalah sumberdaya digital perusahaan yang antara lain kesatuan data, infrastruktur teknologi digital, dan kompetensi digital karyawan perusahaan tersebut,” pungkasnya. fw Bahtiar/r ratna purnama/aprilia s andyna
(bai)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1374 seconds (0.1#10.140)